Fakta Terbaru Penyakit Celiac yang Dipicu Makanan dan Minuman Mengandung Gluten

JAKARTA, iNews.id - Penyakit Celiac belakangan ini menjadi perbincangan hangat. Sebab, tim peneliti Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) berhasil mengungkap fakta terbaru tentang penyakit ini di Indonesia.
Celiac merupakan penyakit autoimun yang memengaruhi usus kecil dan dipicu oleh konsumsi makanan mengandung gluten, seperti roti, gandum, pasta, dan mi instan. Penyakit ini berisiko bagi individu dengan kerentanan genetik.
Tim FKUI menemukan fakta, dalam beberapa dekade terakhir, prevalensi penyakit celiac secara global memperlihatkan tren kenaikan, dari 0,03 persen menjadi 0,7 persen pada populasi. Bagaimana dengan data di Indonesia? Apakah kasus penyakit celiac juga memperlihatkan tren kenaikan?
Berdasarkan penelitian terbaru yang dilaporkan oleh Prof Ari Fahrial Syam dan tim dari FKUI - RSUPN Dr Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM), telah terungkap data penting tentang prevalensi penyakit celiac (CD) pada pasien berisiko tinggi dengan gangguan gastrointestinal fungsional atau irritable bowel syndrome (IBS) di Indonesia.
Penelitian tersebut dipublikasikan pada Jurnal PLoS ONE dengan judul 'Prevalence and factors associated with celiac disease in high-risk patients with functional gastrointestinal disorders' pada Juni 2024.
Data penting tersebut menjelaskan, penyakit celiac yang sebelumnya dianggap jarang terjadi di Indonesia, kini angka prevalensinya menunjukkan kenaikan yang signifikan di kalangan populasi berisiko tinggi. Pasien IBS dipilih sebagai populasi subjek, karena memiliki gejala yang mirip dengan pasien yang sudah diketahui terdiagnosis penyakit celiac.
"Berdasarkan salah satu studi di Mesir, 8 dari 100 pasien IBS itu memenuhi kriteria penyakit celiac setelah dilakukan pemeriksaan penunjang," kata Prof Ari
Dia melanjutkan, penelitian observasional dengan metode potong lintang ini melibatkan 283 pasien yang direkrut dari poliklinik gastroenterologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.
Pasien-pasien ini dipilih berdasarkan kriteria risiko tinggi dan memberikan persetujuan tertulis untuk berpartisipasi dalam studi ini. Mereka diminta untuk mengisi kuesioner terkait penyakit celiac, kemudian dilakukan pengukuran antropometri dan pemeriksaan serologis dengan metode ELISA untuk mendeteksi antibodi IgA anti-transglutaminase jaringan (anti-TTG) dan IgG anti-peptida deaminasi gliadin (anti-DGP) sebagai pemeriksaan penunjang untuk penyakit celiac.
"Hasil penelitian menunjukkan 8 dari 283 pasien (2,83 persen) secara serologis terkonfirmasi menderita penyakit celiac," kata Prof Ari, penulis utama dalam penelitian ini.
Lebih lanjut, analisis bivariat mengungkapkan, variabel usia 40-60 tahun, keluhan sulit BAB, dan riwayat penyakit autoimun memiliki hubungan signifikan (p < 0,05) dengan penyakit celiac. Namun, pada analisis multivariat, hanya riwayat penyakit autoimun yang tetap menunjukkan hubungan signifikan (p < 0,05) dengan penyakit ini.
"Dapat ditafsirkan, berdasarkan hasil ini pasien-pasien IBS yang memiliki karakteristik usia 40-60 tahun, keluhan sulit BAB, dan terutama riwayat penyakit autoimun sebelumnya perlu lebih waspada kemungkinan memiliki penyakit celiac," kata Prof Ari.
Prof menerangkan, penelitian ini memberikan wawasan baru mengenai prevalensi penyakit celiac pada populasi berisiko tinggi di Indonesia.
"Temuan kami menunjukkan meskipun prevalensi secara keseluruhan tampak rendah, namun angka 2,83 persen pada populasi berisiko tinggi di RSCM tergolong tinggi jika dibandingkan dengan studi serupa sebelumnya yang menunjukkan angka 0,61%," ujar dia.
"Hal ini memperlihatkan perlunya perhatian lebih dalam deteksi dini dan diagnosis penyakit celiac," katanya l.
Lebih lanjut, penelitian ini juga menyoroti peningkatan konsumsi produk makanan yang mengandung gluten di Indonesia, seperti gandum, roti, pasta, dan mie instan, yang dapat berkontribusi pada peningkatan prevalensi penyakit celiac.
Menurut laporan Indonesia Grain and Feed 2018, konsumsi gandum tahunan meningkat dari 22,4 kg per kapita pada 2015/2016 menjadi 23 kg per kapita pada 2016/2017.
Studi ini juga menggarisbawahi pentingnya deteksi dini dan penanganan penyakit celiac untuk mencegah komplikasi lebih lanjut dan mengurangi beban ekonomi baik pada tingkat individu maupun nasional.
"Dengan memahami prevalensi dan faktor-faktor yang berhubungan dengan penyakit celiac di Indonesia, kami berharap dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dan profesional kesehatan mengenai penyakit ini," kata Prof Ari yang juga Dekan FKUI.
Temuan ini, lanjutnya, diharapkan dapat menjadi dasar bagi kebijakan kesehatan yang lebih baik dalam penanganan penyakit celiac di Indonesia.
Sebagai informasi, Prof Ari dan tim peneliti juga merencanakan untuk membuat penelitian yang melibatkan subjek dan fasilitas lebih besar untuk memperdalam dampak dari konsumsi gluten yang tinggi di masyarakat Indonesia.
Editor: Vien Dimyati