Jumlah Dokter di Indonesia Belum Penuhi Standar WHO
JAKARTA, iNews.id - Pelayanan kesehatan menjadi garda terdepan dalam melayani masyarakat. Maka itu, peran tenaga kesehatan di berbagai daerah sangat penting.
Namun sayangnya jumlah tenaga kesehatan di Indonesia masih jauh dari standar World Health Organization (WHO).
Kepala BKKBN dr. Hasto Wardoyo mengatakan, tidak bisa dipungkiri saat ini lulusan kedokteran memiliki kualifikasi beragam, yang pada akhirnya mendilusi kualitas pelayanan kesehatan primer.
"Dokter yang tekun dan mau melayani masyarakat sepenuhnya sebagai seorang provider sekaligus manajer di Puskesmas tidak lebih dari 10%. Ini tantangan kita untuk memajukan layanan primer," kata dr. Hasto Wardoyo, belum lama ini.
Dilema ini menurut Hasto harus menjadi perhatian pemerintah karena ada kegentingan dalam pemerataan pelayanan, dengan jumlah tenaga dokter yang tidak mencukupi. Dikatakan Hasto, dibutuhkan kesadaran, empati, dan idealisme pelayanan sebagai sikap nasionalisme para dokter sejak awal.
Perihal pentingnya pemenuhan kuota dokter sebagai provider kesehatan, beberapa waktu lalu Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin yang mengutip data Kemenkes 2022, menyebutkan perbandingan jumlah tenaga kesehatan termasuk spesialis dengan populasi di Indonesia adalah 0,68 per 1.000 populasi.
Bandingkan dengan standar yang ditetapkan World Health Organization, yakni 1 tenaga kesehatan untuk 1.000 populasi. Angka ketersediaan tenaga kesehatan Indonesia juga masih di
bawah standar negara-negara Asia yang 1,2 per 1.000, atau bahkan negara-negara OECD atau Eropa yang jauh lebih baik di angka 3,2 per 1.000 populasi.
Menurut dr Hasto, hingga saat ini sebagian besar publik masih meyakini dokter adalah profesi yang mulia dan terhormat. “Animo masyarakat dan para orang tua terhadap pendidikan kedokteran pun masih sangat tinggi, sehingga dorongan untuk menggeluti profesi bidang kesehatan masih sangat besar. Situasi ini tentu bisa menjadi momentum yang bisa dimanfaatkan pemerintah untuk mencetak lulusan dokter terbaik," ujarnya.
Harapannya, kata Hasto, pada akhirnya pemerintah tak hanya mampu memenuhi kuota dokter sebagai provider kesehatan, tapi juga memastikan kesamaan kualitas setiap dokter yang dicetak.
dr Hasto menambahkan, masih ada titik lemah di awal pendidikan dokter, yang bisa dijadikan momentum bagi pemerintah untuk meneguhkan loyalitas mereka dalam memberikan pelayanan kesehatan.
“Bentuknya adalah mengatur alur karier dokter sejak awal proses pendidikan. Ini bisa menjadi solusi persoalan etos kerja, dedikasi hingga persoalan distribusi provider yankes. Perlu juga dibuat
regulasi yang mengatur periode para dokter bertugas di Puskesmas minimal selama tiga tahun, dengan dilengkapi penandatanganan pakta integritas para dokter,” ujarnya.
Periode minimal tiga tahun di Puskesmas ini dianggap Hasto bisa membentuk karakter para dokter yang bertanggung jawab sekaligus memiliki empati tinggi terhadap masyarakat, dan menumbuhkan sikap melayani dari dalam.
“Di dalam mindset para dokter ketika sekolah di kedokteran, mereka tahu kelak akan bekerja selama tiga tahun di Puskesmas dan memiliki basic salary yang bisa membuka peluang mereka untuk memiliki ruang praktik sendiri. Dengan demikian tetap punya optimisme mereka bisa 'hidup' di masa depan,” kata dia.
Di sisi lain, Hasto berpendapat pemerintah daerah juga berperan penting dalam mendorong terbentuknya layanan kesehatan yang prima bagi masyarakat, dengan membuka akses masyarakat sebesar-besarnya pada layanan kesehatan. Harapannya hal ini bisa berdampak pada peningkatan kepuasan masyarakat kepada layanan kesehatan dari pemerintah.
Editor: Vien Dimyati