Get iNews App with new looks!
inews
Advertisement
Aa Text
Share:
Read Next : 17 Penyakit yang Tidak Memenuhi Syarat Berangkat Haji, Ini Daftarnya!
Advertisement . Scroll to see content

Ketersediaan Obat Baru di Indonesia Masih Rendah, Penanganan Penyakit Katastropik Terkendala 

Rabu, 15 November 2023 - 22:30:00 WIB
Ketersediaan Obat Baru di Indonesia Masih Rendah, Penanganan Penyakit Katastropik Terkendala 
Ketersediaan Obat Baru di Indonesia Masih Rendah (Foto: Ist)
Advertisement . Scroll to see content

JAKARTA, iNews.id - Penyakit katastropik masih banyak dialami masyarakat Indonesia. Sepanjang 2022, kasus penyakit katastropik yang paling banyak ditemukan di Indonesia adalah penyakit jantung, kanker, stroke, dan gagal ginjal.

Untuk menangani penyakit ini dibutuhkan intervensi obat. Namun sayangnya, ketersediaan obat baru di Indonesia masih rendah.

The Pharmaceutical Research and Manufacturers of America (PhRMA) melalui penelitiannya menemukan, Indonesia merupakan salah satu negara terendah dalam hal ketersediaan obat-obatan inovatif. Studi tersebut menemukan hanya sembilan persen obat-obatan baru yang tersedia di Indonesia, jauh di bawah rata-rata kawasan Asia Pasifik yang mencapai 20 persen. 

Hal ini menempatkan Indonesia di posisi ketiga terendah bersama dengan Bangladesh yang juga hanya sembilan persen setelah Sri Lanka (1 persen) dan Pakistan (5 persen). Studi ini juga menemukan, hanya satu persen obat-obatan baru yang tersedia di Indonesia dalam waktu satu tahun setelah peluncuran pertama kali secara global. 

Staf Khusus Menteri bidang Pelayanan Kesehatan Masyarakat, Kementerian Kesehatan, Prastuti Soewondo mengungkapkan, berdasarkan data BPJS Kesehatan dan klaim pasien di rumah sakit, kebanyakan kematian tertinggi berasal dari penyakit katastropik seperti kanker, jantung, stroke dan nefrologi, kemudian juga kesehatan ibu dan anak (KIA).

"Penyakit-penyakit ini merupakan penyakit tidak menular yang dapat menimbulkan komplikasi yang mengancam jiwa dan membutuhkan biaya tinggi," ujar Prastuti Soewondo, melalui keterangannya belum lama ini.

Dia menambahkan, untuk penyakit-penyakit ini, adopsi obat inovatif yang dapat membantu mengurangi beban pasien, dilakukan secara bertahap dan sesuai kemampuan. Semua obat inovatif yang akan masuk ke JKN harus masuk di Fornas dan ada rekomendasi dari health technology assesment (HTA). 

Selain itu, lanjut dia, HTA sudah mempunyai strategi perbaikan pelaksanaan kajian HTA untuk meningkatkan jumlah kajian HTA, sehingga lebih banyak rekomendasi yang bisa dihasilkan. Metode analisisnya menggunakan adaptive HTA dan dalam prosesnya akan memperbanyak kerjasama dengan universitas dan pusat studi sebagai agen HTA tentunya melalui MOU.

Lebih lanjut Prastuti menyampaikan, akses pasien terhadap obat-obatan inovatif ini dapat ditingkatkan melalui mekanisme koordinasi manfaat yang saat ini konsepnya tengah digodok bersama oleh seluruh pemangku kepentingan lintas lembaga termasuk pihak swasta. 

Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti mengatakan Cakupan Kesehatan Semesta (Universal Health Coverage/UHC) penting sebagai fondasi dari sistem layanan kesehatan yang kuat dan berketahanan.

"Dibutuhkan mekanisme pembiayaan yang berkelanjutan, untuk memastikan aksesibilitas pelayanan kesehatan termasuk akses terhadap obat-obatan inovatif yang efektif bagi peserta BPJS Kesehatan,” katanya. 

Menurutnya, ketersediaan obat inovatif, obat baru yang berkualitas tinggi, berkhasiat, dan aman, merupakan aspek penting dalam menyediakan layanan kesehatan yang komprehensif dan berkualitas bagi masyarakat. 

Komitmen ini tertuang dalam Undang-Undang Kesehatan No. 17 tahun 2023, yang menekankan perlunya meningkatkan kualitas layanan kesehatan dan memastikan keterjangkauan bagi seluruh masyarakat Indonesia, termasuk peningkatan akses terhadap obat-obatan.

Ani Rahardjo, Direktur Eksekutif Indonesian Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG) mengatakan, IPMG memiliki komitmen memperkuat lanskap kesehatan untuk mempromosikan layanan kesehatan yang berkelanjutan dan nilai inovasi.

"IPMG berdiri sebagai mitra yang berkomitmen untuk pemerintah Indonesia, secara aktif bekerja untuk memajukan kebijakan pro-pertumbuhan dan pro-inovasi demi mencapai Universal Health Coverage dan meningkatkan kualitas layanan kesehatan bagi pasien Indonesia," ujar Ani Rahardjo.

Dia menjelaskan, untuk memberikan obat-obatan inovatif kepada pasien dengan cara yang aman dan tepat waktu, IPMG membuat beberapa rekomendasi, yaitu mengadopsi pendekatan yang berpusat pada pasien untuk mendorong hasil kesehatan (health outcome) yang lebih baik, serta penghematan biaya langsung dan tidak langsung.

Selain itu, memperkuat sistem Fornas untuk menilai obat-obatan (Health technology assessments/HTAs) agar dapat menangkap manfaat penuh dari terapi inovatif saat menilai harganya dan memastikan hasil kesehatan tidak terganggu.

IPMG percaya industri yang inovatif siap untuk bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan untuk memastikan HTA memainkan peran penting dalam desain daftar penggantian biaya dan paket manfaat, dan telah berjanji untuk berpartisipasi dalam pengembangan kapabilitas dan kapasitas HTA.

”IPMG terus mendorong agar dalam rangkaian proses pendapatan izin edar obat inovatif hingga dapat mengikuti proses seleksi Fornas untuk dapat dilakukan percepatan dan dapat berjalan semakin efisien dengan mengedepankan kebutuhan pasien,” tutur Ani.

Editor: Vien Dimyati

Follow WhatsApp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut