Paradoks, Gim, dan Pesan Orangtua di Masa Depan
JAKARTA, iNews.id - Di waktu istirahat dan libur, banyak orang memanfaatkan waktu untuk melakukan aktivitas di luar pekerjaan dan belajar. Ada yang memilih berwisata, berkumpul dengan keluarga, dan bermain gim.
Gim amat digandrungi oleh berbagai kalangan di Indonesia, termasuk anak-anak. Di wilayah yang terbentang dari Sabang hingga Merauke ini, terdapat banyak permainan tradisional yang mengajarkan anak untuk melatih ketangkasan fisik seperti benteng dan galasin.
Selain itu, ada permainan tradisional yang melatih kecermatan seperti congklak. Ada juga permainan tarik tambang yang mengutamakan kerja sama tim. Namun, permainan-permainan ini semakin ditinggalkan karena perkembangan teknologi.
Kini, anak-anak Indonesia banyak yang memainkan permainan melalui banyak wadah, mulai dari komputer, gawai, dan konsol. Tak jarang mereka lupa waktu ketika bermain, sehingga banyak orangtua khawatir akan perkembangan buah hatinya.
Para orangtua menghawatirkan perkembangan sosial anaknya. Mereka cenderung menganggap buah hatinya akan kesulitan bersosialisasi di masyarakat karena terlalu kecanduan akan gim.
Namun, ada paradoks antara kalangan orangtua dan anak tentang gawai dan gim. Mereka memperbolehkan anaknya yang masih kecil untuk mengenal, bahkan bermain gim di gawai.
Ketika sang anak menginjak usia remaja, tingkat ketergantungan terhadap gim dan gawai akan makin tinggi. Dan, ketakutan orangtua akan bahaya gim akan berulang.
Dilansir dari Webmd, dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Dr Yesus Pujol di Spanyol menemukan bahwa anak berusia tujuh hingga 11 tahun hanya diperbolehkan bermain gim maksimal delapan jam seminggu. Jika lebih, kemungkinan besar mereka memiliki kecenderungan bermasalah dalam kehidupan sosial dan perilaku.
Penelitian ini juga menunjukkan semakin banyak waktu untuk bermain gim, membuat waktu tidur berkurang. Jika lebih dari sembilan jam, para peneliti menemukan beberapa bahaya seperti konflik dengan anak-anak lain, terlibat dalam perilaku bermasalah, dan umumnya miskin keterampilan sosial.
Namun, sebenarnya gim tak melulu membuat masalah jika ditangani dan didampingi orangtua. Dari penelitian Cheryl Olson, Sc.D yang dilansir dari Parents, gim dapat membantu proses belajar mengajar.
Banyak gim yang menceritakan soal sejarah maupun geografi, sehingga anak akan mengenal dua hal ini. Bahkan, ada beberapa gim yang dapat disesuaikan dengan karakter pemainnya, sehingga dapat mengekspresikan kepribadian anak.
Bahkan dalam makalah yang dia buat berjudul “Children's Motivations for Video Game Play in the Context of Normal Development", secara spesifik menyebutkan gim seperti Age of Mythology dan Age of Empires dapat memicu minat anak dalam dunia sejarah, geografi, budaya kuno, dan hubungan internasional, terutama jika orangtua jeli untuk mengajari anak di sela permainan.
Gim kini mulai mendapat perhatian lebih dan membuat bangga para penggemarnya. Pasalnya, Electronic Sport (eSport) akan dijadikan cabang eksibisi di Asian Games 2018, serta resmi masuk dalam agenda Olimpiade 2019.
Bila diarahkan, anak-anak bukan sekadar penikmat tapi dapat belajar, meraup uang, dan menjadi bintang yang mengharumkan nama Indonesia di masa depan. Apakah dengan beberapa penelitian dan diakuinya eSport masih membuat Anda kesal dengan pola tingkah buah hati di rumah karena gim?
Lalu, sebenarnya apa pesan yang hendak Anda utarakan untuk sang anak di masa depan? Jawabannya dapat diutarakan melalui inewstvmobile.com karena hadiah menarik dari kami menanti Anda.
Editor: Tuty Ocktaviany