Pendidikan Karakter Tak Bisa Hanya Teori: Pembiasaan dan Keteladanan Jadi Kunci yang Terabaikan
JAKARTA, iNews.id – Pendidikan karakter kembali menjadi sorotan di tengah krisis nilai yang dihadapi generasi muda saat ini. Meski hampir semua sekolah mencantumkan nilai-nilai moral dan akhlak dalam kurikulum mereka, implementasinya dinilai masih lemah. Hal ini disampaikan oleh Ustaz Abu Asadullah Umar atau yang lebih dikenal dengan sebutan Kak Odja seorang pakar parenting.
Menurutnya, banyak lembaga pendidikan belum benar-benar paham bagaimana menerapkan pendidikan karakter secara efektif. “Bentuk karakter itu tidak cukup hanya lewat teori. Harus ada pelatihan dan penerapan yang nyata,” tegas Kak Odja saat diwawancarai iNews pada Selasa (15/7/2025).
Ia mengungkapkan bahwa saat ini banyak sekolah masih terjebak pada metode hafalan dan ceramah, yang hanya menyentuh lapisan pengetahuan, bukan perilaku. “Karakter tidak akan tumbuh dari hafalan nilai-nilai. Anak-anak butuh contoh nyata dan pembiasaan terus-menerus,” tambahnya.
Dalam pandangan Kak Odja, salah satu kesalahan umum dalam sistem pendidikan kita adalah terlalu cepat menghakimi perilaku anak, terutama ketika mereka melakukan kesalahan verbal seperti berkata kasar.
“Anak yang berkata kasar misalnya, kita langsung menyalahkan mereka. Padahal bisa jadi mereka tidak pernah diajarkan bagaimana berbicara yang baik itu seperti apa,” ujarnya. Ia menekankan pentingnya pendekatan edukatif daripada pendekatan hukuman dalam membentuk karakter.
Alih-alih dimarahi atau dihukum, anak-anak seharusnya diberi ruang untuk belajar membedakan mana ucapan yang santun dan mana yang tidak pantas. Sayangnya, menurut Kak Odja, hal ini sering kali luput dari perhatian orang tua maupun guru.
“Bukan berarti anak harus dibiarkan saat berbuat salah. Tapi kita perlu sadar, bahwa bisa jadi mereka berkata begitu karena tidak pernah melihat atau mendengar contoh yang baik,” jelasnya.
Kritik tajam juga diarahkan Kak Odja kepada sistem pendidikan nasional yang dinilainya masih terlalu menekankan aspek kognitif. Ia mencontohkan banyaknya pelajaran agama dan pendidikan moral yang diajarkan di kelas hanya sebatas teori.
“Yang dibutuhkan adalah pembiasaan. Dari pembiasaan itulah karakter akan terbentuk,” tegasnya.
Menurutnya, karakter sejati dibangun dari proses yang panjang melalui interaksi harian, bukan hanya satu atau dua jam pelajaran dalam seminggu. Anak-anak perlu berada di lingkungan yang mendukung terbentuknya nilai-nilai luhur, bukan hanya dibebani teori yang tak pernah dipraktikkan.
“Kita tak bisa berharap anak jadi sopan kalau mereka tak pernah mendengar orang dewasa berkata sopan. Kita juga tak bisa berharap anak jadi jujur kalau mereka selalu melihat kebohongan dibenarkan,” ucapnya.
Masalah ini semakin kompleks dengan kehadiran teknologi canggih dan kecerdasan buatan (AI). Anak-anak kini lebih banyak menghabiskan waktu di depan layar dibanding berinteraksi langsung dengan orang dewasa yang bisa menjadi teladan.
“Di era sekarang, banyak anak yang belajar dari media sosial, video game, atau chatbot. Tapi mereka tidak belajar adab dan akhlak dari sana,” jelas Kak Odja. Ia mengingatkan bahwa teknologi bisa membantu proses belajar, namun tidak bisa menggantikan peran orang dewasa dalam membentuk kepribadian.
“AI bisa bantu anak hafal cepat, tapi tak bisa bantu mereka belajar empati. Karakter hanya bisa dibentuk lewat interaksi manusiawi yang nyata,” katanya.
Untuk membangun karakter anak secara utuh, Kak Odja menegaskan perlunya sinergi antara rumah dan sekolah. “Guru tidak bisa bekerja sendiri. Orang tua juga tidak bisa menyerahkan semuanya ke sekolah. Harus ada kerja sama yang intens,” ujarnya.
Ia menambahkan, konsistensi dalam membimbing anak adalah kunci utama. Nilai-nilai yang diajarkan di sekolah harus diperkuat di rumah, dan sebaliknya.
“Jangan sampai anak bingung karena pesan yang mereka terima di sekolah berbeda dengan yang mereka lihat di rumah. Kalau di sekolah disuruh jujur, tapi di rumah melihat orang tuanya berbohong, itu kontradiktif,” jelasnya.
Kak Odja juga mendorong para pendidik untuk tidak hanya menjadi pengajar, tapi juga teladan. “Anak-anak lebih mudah meniru daripada mendengar. Mereka meniru cara bicara, cara bersikap, bahkan cara menyelesaikan masalah,” katanya.
Sebagai solusi, Kak Odja menekankan bahwa pendidikan karakter harus dibawa dalam seluruh aktivitas anak, bukan hanya saat jam pelajaran moral atau agama. Nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung jawab, dan empati harus dihidupkan dalam keseharian, mulai dari cara menyapa guru, cara berbicara dengan teman, hingga cara menyelesaikan konflik.
“Kalau kita ingin anak berakhlak baik, maka kita harus tunjukkan dan latih terus-menerus. Bukan sekali dua kali, tapi menjadi budaya harian,” tegasnya.
Dengan pendekatan seperti itu, ia optimistis karakter anak-anak Indonesia akan terbentuk lebih kuat dan tidak mudah tergerus oleh arus digital yang deras. “Karakter itu terbentuk dari pembiasaan, bukan sebatas dari teori,” pungkas Kak Odja.
Editor: Komaruddin Bagja