Remaja Depresi Meningkat, Media Sosial Jadi Pemicu?
JAKARTA, iNews.id – Masalah depresi, kini juga banyak menimpa kalangan remaja. Lantas, apa pemicunya?
Sejak bangkitnya era smartphone di dunia pada 2007, di mana Steve Jobs mengenalkan iPhone pertama mereka, kemudian munculnya BlackBerry, dan Android, pangsa pasar smartphone semakin meluas. Pengguna smartphone, kini bukan cuma pebisnis atau orang dewasa saja, tetapi juga merambah ke remaja dan anak-anak.
Salah satu riset dari Pew Research Center menemukan, bahwa tiga perempat remaja memiliki akses ke smartphone. Kemudian menurut seorang eksekutif Facebook, milenium mengakses ponsel mereka rata-rata lebih dari 150 kali sehari.
Namun, meningkatnya penggunaan smartphone pada remaja, diiringi juga peningkatan kasus bunuh diri. Misalnya saja, tingkat bunuh diri untuk anak-anak berusia 15 sampai 19 tahun, meningkat antara 2007 dan 2015, di antaranya meningkat sebesar 31 persen untuk anak laki-laki dan lebih dari dua kali lipat untuk anak perempuan.
Seorang profesor psikologi di San Diego State University Jean Twenge, meneliti melalui survei nasional dengan data yang dikumpulkan lebih dari 500.000 remaja Amerika. Dari survei tersebut, ditemukan jika remaja yang lebih banyak mengakses Snapchat, Facebook, atau Instagram, cenderung menyukai pernyataan yang murung dan depresif.
Sementara remaja yang tak banyak terpapar layar smartphone dan menghabiskan waktu lebih banyak di kegiatan outdoor, seperti olahraga dan bersosialisasi dengan teman sepermainannya, cenderung sedikit yang melaporkan tentang masalah kesehatan mentalnya.
Memang, kata Twenge, jika penelitian tersebut tak menyimpulkan tentang kausalitas antara penggunaan media sosial dengan tingkat depresi remaja. Namun, survei yang dilakukan bisa menjadi acuan mengapa kini banyak remaja yang mengalami kecemasan hingga depresi.
Sebuah studi yang diterbitkan pada 2016, meminta sekelompok orang dewasa yang dipilih secara acak untuk tak menggunakan Facebook selama seminggu, namun mereka bisa terus browsing situs seperti biasa. Hasilnya, mereka merasa kurang tertekan di akhir minggu dibandingkan yang terus menggunakan Facebook.
Sementara itu, ada juga studi tahun 2013 yang menemukan bahwa semakin banyak peserta menggunakan Facebook, perasaan buruk yang mereka rasakan tentang kehidupan semakin bertambah.
Namun, pada penelitian terdahulu menunjukkan jika situs jejaring sosial dapat meningkatkan kebahagiaan. Tetapi dengan catatan, digunakan untuk terlibat langsung dengan pengguna lain, bukan untuk memamerkan kehidupan atau membanding-bandingkan kehidupannya dengan kehidupan orang lain. Demikian dikutip iNews.id dari The Economist, Senin (11/12/2017).
Editor: Tuty Ocktaviany