Asal-usul Tradisi Ziarah Kubur Jelang Ramadhan, Berikut Hukum Tata Cara dan Doanya
JAKARTA, iNews.id - Inilah asal usul tradisi ziarah kubur jelang Ramadhan yang wajib Anda ketahui sebagai umat Islam. Ziarah kubur merupakan salah satu tradisi yang banyak dilakukan oleh umat Islam di Indonesia, terutama menjelang bulan Ramadhan.
Tradisi ini memiliki latar belakang sejarah, hukum, dan tata cara yang perlu diketahui oleh para pelakunya. Berikut ini adalah ulasan lengkap tentang asal-usul, hukum, dan tata cara ziarah kubur jelang Ramadhan.
Dilansir dari berbagai sumber, ziarah kubur adalah mengunjungi makam orang-orang yang telah meninggal dunia dengan tujuan untuk mengingat kematian, mengambil pelajaran, dan mendoakan mereka agar mendapatkan ampunan dan rahmat dari Allah SWT. Ziarah kubur juga merupakan sunnah Rasulullah SAW yang pernah berziarah ke makam ibunya di Madinah.
Ziarah kubur telah ada sejak zaman pra-Islam, yaitu pada masa Jahiliyah di Arab. Namun, pada saat itu ziarah kubur dilakukan dengan cara yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, seperti menyembah kuburan, meminta syafaat kepada orang-orang mati, atau melakukan ritual-ritual yang tidak pernah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Oleh karena itu, Rasulullah SAW pada awalnya melarang umat Islam untuk berziarah kubur, karena khawatir mereka akan terjerumus ke dalam kesyirikan.
Namun, setelah keimanan umat Islam semakin kuat dan mantap, Rasulullah SAW kemudian memperbolehkan dan menganjurkan ziarah kubur dengan syarat-syarat tertentu. Salah satu hadits yang menunjukkan hal ini adalah sebagai berikut:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ أَلاَ فَزُوْرُوْهَا فَإِنَّهَا تُرِقُّ الْقَلْبَ، وَتُدْمِعُ الْعَيْنَ، وَتُذَكِّرُ اْلآخِرَةَ، وَلاَ تَقُوْلُوْا هُجْرًا.
“Aku pernah melarang kalian untuk ziarah kubur, sekarang ziarahilah kubur karena ziarah kubur dapat melembutkan hati, meneteskan air mata, mengingatkan negeri Akhirat dan janganlah kalian mengucapkan kata-kata kotor (di dalamnya).” ( HR. Al-Hakim (I/376) ).
Ziarah kubur kemudian menjadi tradisi yang berkembang di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Di sini, ziarah kubur biasanya dilakukan menjelang bulan Ramadhan, yang merupakan bulan suci dan penuh berkah bagi umat Islam. Ziarah kubur dianggap sebagai salah satu cara untuk mempersiapkan diri menyambut Ramadhan dengan hati yang bersih dan penuh kasih sayang
Di Indonesia, ziarah kubur memiliki berbagai istilah yang berbeda-beda sesuai dengan daerahnya, seperti nyekar di Jawa Tengah, kosar di Jawa Timur, munggahan di Sunda, dan lain-lain.
Ziarah kubur adalah sunnah yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW, baik untuk laki-laki maupun perempuan, asalkan dilakukan dengan cara yang benar dan sesuai dengan syariat Islam. Ziarah kubur tidak terbatas pada waktu tertentu.
Hukum ziarah kubur jelang Ramadhan adalah mubah atau boleh, selama tidak ada unsur-unsur yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti menyekutukan Allah, melakukan bid’ah, atau mengganggu orang-orang yang sedang berpuasa. Ziarah kubur juga tidak boleh menghalangi kewajiban-kewajiban lain, seperti shalat, zakat, atau puasa.
Meskipun diperbolehkan berziarah, namun mengkhususkan ziarah kubur pada waktu tertentu dan meyakini bahwa menjelang Ramadhan adalah waktu utama untuk nyadran atau nyekar ini termasuk suatu kekeliruan karena tidak ada dasar dari ajaran Islam yang menuntunkan hal tersebut.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ قُبُورًا وَلاَ تَجْعَلُوا قَبْرِى عِيدًا وَصَلُّوا عَلَىَّ فَإِنَّ صَلاَتَكُمْ تَبْلُغُنِى حَيْثُ كُنْتُمْ
“Janganlah jadikan rumahmu seperti kubur, janganlah jadikan kubur sebagai ‘ied, sampaikanlah shalawat kepadaku karena shalawat kalian akan sampai padaku di mana saja kalian berada.” (HR. Abu Daud no. 2042 dan Ahmad 2: 367. Hadits ini shahih dilihat dari berbagai jalan penguat, sebagaimana komentar Syaikh ‘Abdul Qodir Al Arnauth dalam catatan kaki Kitab Tauhid, hal. 89-90).
Dalam ‘Aunul Ma’bud (6: 23) disebutkan, “Yang dimaksud ‘ied adalah perkumpulan di suatu tempat yang terus berulang baik tahunan, mingguan, bulanan, atau semisal itu.”
Ibnul Qayyim dalam Ighotsatul Lahfan (1: 190) mengatakan, “Yang dimaksud ‘ied adalah waktu atau tempat yang berulang datangnya. Jika ‘ied bermakna tempat, maksudnya adalah tempat yang terus menerus orang berkumpul di situ untuk melakukan ibadah dan selainnya. Sebagaimana Masjidil Haram, Mina, Muzdalifah, Arafah, masya’ir dijadikan oleh Allah sebagai ‘ied bagi orang-orang beriman. Sebagaimana hari dijadikan orang-orang berkumpul di sini disebut sebagai ‘ied (yaitu Idul Adha). Orang-orang musyrik juga memiliki ‘ied dari sisi waktu dan tempat. Ketika Allah mendatangkan Islam, perayaan yang ada diganti dengan Idul Fithri dan Idul Adha (hari Nahr). Sedangkan untuk tempat sebagai ‘ied, digantikan dengan Ka’bah, Mina, Muzdalifah dan Masya’ir.”
Ibnu Taimiyah berkata bahwa hadits tersebut mengisyaratkan bahwa shalawat dan salam bisa sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari dekat maupun jauh, sehingga tidak perlu menjadikan kubur beliau sebagai ‘ied. Demikian dinukil dari Fathul Majid (hal. 269).
Tidak perlu dijadikan sebagai ‘ied yang dimaksud adalah terlarang mengulang-ulang ziarah kubur ke sana. Syaikh Muhammad At Tamimi rahimahullah berkata,
نهيه عن الإكثار من الزيارة
“Hadits tersebut menunjukkan terlarangnya memperbanyak ziarah ke kubur beliau.” (Kitab Tauhid, hal. 91)
"Dari Buraidah radhiyallahu 'anhu, dulu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengajari mereka (para sahabat) jika mereka pergi ke pekuburan agar mengucapkan :
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ لَلاَحِقُوْنَ نَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ
“Salam sejahtera atas penghuni rumah-rumah (kuburan) dan kaum muslimin dan mukminin, semoga Allah memberi rahmat kepada orang-orang yang mendahului kita dan orang-orang yang menyusul kita, dan kami Insya Allah akan bergabung dengan kalian, kami meminta kepada Allah keselamatan untuk kami dan untuk kalian”
Dari sahabat Basyir bin Khashashiyah radhiyallahu 'anhu : "Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sedang berjalan, tiba-tiba beliau melihat seseorang sedang berjalan di antara kuburan dengan mengenakan alas kaki. Lalu Rasulullah bersabda,
يَا صَاحِبَ السِّبْتِيَّتَيْنِ، وَيْحَكَ أَلْقِ سِبْتِيَّتَيْكَ» فَنَظَرَ الرَّجُلُ فَلَمَّا عَرَفَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَلَعَهُمَا فَرَمَى بِهِمَا
“Wahai pemakai alas kaki, celakalah engkau! Buanglah alas kakimu!” Lalu orang tersebut melihat (orang yang menegurnya). Ketika ia mengetahui (bahwa orang itu adalah) Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, ia melepas kedua alas kakinya dan melemparkannya"
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, beliau berkata : Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
لَأَنْ يَجْلِسَ أَحَدُكُمْ عَلَى جَمْرَةٍ فَتُحْرِقَ ثِيَابَهُ، فَتَخْلُصَ إِلَى جِلْدِهِ، خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَجْلِسَ عَلَى قَبْرٍ
“Sungguh jika salah seorang dari kalian duduk di atas bara api sehingga membakar pakaiannya dan sampai ke kulitnya, itu lebih baik daripada duduk di atas kubur”
Boleh mengangkat tangan ketika mendo’akan mayit tetapi tidak boleh menghadap kuburnya ketika mendoakannya (yang dituntunkan adalah menghadap kiblat)
Hal ini berdasarkan hadits 'Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika beliau mengutus Barirah untuk mengikuti Nabi yang pergi ke Baqi’ Al Gharqad. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berhenti di dekat Baqi’, lalu mengangkat tangan beliau untuk mendoakan mereka. Dan ketika berdo’a, hendaknya tidak menghadap kubur karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melarang shalat menghadap kuburan. Sedangkan do’a adalah inti dari sholat.
Telah lewat keterangan dari Imam An Nawawi rahimahullah bahwa al hujr adalah ucapan yang bathil. Syaikh Al Albani rahimahullah mengatakan : “Tidaklah samar lagi bahwa apa yang orang-orang awam lakukan ketika berziarah semisal berdo’a pada mayit, beristighotsah kepadanya, dan meminta sesuatu kepada Allah dengan perantaranya, adalah termasuk al hujr yang paling berat dan ucapan bathil yang paling besar. Maka wajib bagi para ulama untuk menjelaskan kepada mereka tentang hukum Allah dalam hal itu. Dan memahamkan mereka tentang ziarah yang disyari’atkan dan tujuan syar’i dari ziarah tersebut”
Menangis yang wajar diperbolehkan sebagaimana Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menangis ketika menziarahi kubur ibu beliau sehingga membuat orang-orang disekitar beliau ikut menangis. Tetapi jika sampai tingkat meratapi mayit, menangis dengan histeris, menampar pipi, merobek kerah, maka hal ini diharamkan.
Ziarah kubur juga memiliki banyak manfaat dan hikmah, di antaranya adalah:
Demikian asal-usul tradisi ziarah kubur jelang Ramadhan. Semoga tulisan ini bermanfaat dan menambah wawasan Anda.
Editor: Komaruddin Bagja