Bolehkah Tidak Puasa karena Perjalanan Jauh saat Mudik?
JAKARTA, iNews.id - Bolehkah tidak puasa karena perjalanan jauh saat mudik Lebaran? Pertanyaan ini mungkin banyak di benak masyarakat terutama yang akan mudik naik kendaraan. Berikut penjelasan lengkapnya.
Salah satu bentuk keringanan yang Islam berikan kepada mereka yang melakukan perjalanan (safar) adalah kebolehan untuk buka puasa. Hal ini didasari dari dali-dalil, baik dari Al-Qur’an maupun dari hadits Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya:
Firman Allah SWT:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain” [QS. Al-Baqarah : 184].
Hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
حدثنا يحيى بن يحيى. أخبرنا أبو خيثمة عن حميد. قال: سئل أنس رضي الله عنه عن صوم رمضان في السفر ؟ فقال: سافرنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في رمضان. فلم يعب الصائم على المفطر ولا المفطر على الصائم.
Anas radliyallaahu ‘anhu pernah ditanya tentang puasa Ramadlaan ketika safar, maka ia menjawab : “Kami pernah bersafar bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada bulan Ramadhan. Maka, orang yang berpuasa tidaklah mencela orang yang berbuka. Begitu pula orang yang berbuka tidak mencela orang yang berpuasa” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1118].
Tim Asatidz Rumah Fiqih Indonesia, Ustaz Muhammad Saiyid Mahadhir menjelaskan, kebolehan untuk buka puasa itu sangat jelas landasannya, Al Quran dan Sunnah.
Keduanya menyebutkan bahwa kebolehan berbuka itu atas alasan (illah) perjalanan (safar), dan perjalanan yang dimaksud tidak mengharuskan perjalanan yang memberatkan (masyaqqah), karena dalam teori illah, Ibnu Qudamah dalam kitabnya Raudah an-Nazhir menyebutkan bahwa perjalanan (safar) itu sendiri yang disebutkan oleh Al-Qur’an dan Hadits itu sudah masuk dalam katagori illah yang darinya bersumber banyak kemaslahatan (mansya’ al-hikmah), walaupun mungkin disana tidak terdapat sesuatu yang memberatkan atau menyusahkan.
Jadi perjalanan dengan sistem tranportasi modern sekarang ini tidak menggugurkan keberlakuan ayat serta hadits yang membolehkan bagi mereka yang melalukan perjalanan untuk berbuka.
Imam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa-nya jilid 25 halaman 210 juga menuliskan [يجوز الفطر للمسافر باتفاق الأمة، سواء كان قادرًا على الصيام، أو عاجزًا، وسواء شق عليه الصيام أو لم يشق ] bahwa kebolehan untuk berbuka bagi mereka yang melakukan perjalanan itu sudah mendajadi kesepakatan semua ulama, baik bagi mereka yang mampu untuk berpuasa maupun bagi mereka yang lemah untuk itu, baik pejalanannya memberatkan maupun perjalanan yang tidak memberatkan.
Karena itu, hukum dasarnya adalah boleh, bukan wajib. Jika memang demikian, mana yang lebih utama untuk dilakukan, berbuka atau tetap berpuasa?
Dalam hal ini setidaknya para ulama kita terbagi dalam tiga pendapat besar; Puasa lebih utama, berbuka lebih utama, mana yang paling memudahkan itulah yang utama.
Pendapat pertama adalah pendapat mazhab Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i, yang demikian teruntuk bagi mereka yang kuat untuk berpuasa. Alasannya adalah bahwa Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam hidupnya ketika melakukan perjalanan lebih banyak berpuasa ketimbang berbuka, dan Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak akan melakukan sesuatu kecuai yang utama untuk dilakukan.
Pendapat kedua, di mana berbuka lebih utama adalah pendapat dari Imam Ahmad, Al-Auza’i, Ishaq dan lainnya, karena keringanan (rukhsah) yang diberikn oleh Allah SWT itu lebih utama untuk diambil ketimbang diabaikan. Hal ini senada dengan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
إن الله يحب أن تؤتى رخصة كما يكره أن تؤتى معصيته
“Sesungguhnya Allah menyukai dilaksanakan rukhshah (keringanan)-Nya, sebagaimana Dia membenci dilaksanakan maksiat kepada-Nya” [Diriwayatkan oleh Ahmad 2/108; shahih].
Imam Muslim dalama riwatnya menyebutkan bahwa dulunya ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam perjalanan beliau melihat segerombolan orang yang berkumpul mengerumuni seseorang yag sepertinya dalam kelelahan, lalu tiba-tiba Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menanyakan perihalnya, dan mereka menjawab bahwa dia yang mereka kerumuni itu dalam keadaan berpuasa, lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ليس من البر أن تصوموا في السفر
“Tidak ada kebaikan berpuasa ketika safar” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1115].
Pendapat Ketiga adalah pendapat Umar bin Abdul Aziz, Mujahid dan Qatadah bahwa yang paling utama itu adalah yang paling ringan diantara keduanya. [أفضلهما أيسرهما ]. Landasan dasarnya adalah karena Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidaklah dihadapkan diantara dua hal kecuali beliau memilih yang paling mudah.
Ilustrasinya seperti ini, jika badan kuat dan perjalanan tidak terlalu memberatkan sedang mengqodho puasa adalah hal yang menyulitkan, karena kita berpuasa d saat semua orang berbuka, maka dalam hal ini berpuasa lebih utama.
Namun jika badan lemah dan perjalanan juga memberatkan dan mengqodho puasa lebih mudah walaupun pada waktu itu nanti semua orang berbuka, maka dalam hal ini berbuka lebih utama untuk diakukan.
Puasa lebih utama ketika khawatir lalai dalam mengganti puasa, atau bagi musafir yang tidak mendapati kelelahan dalam perjalanannya, apalagi jika perjalanan dilakukan dengan alat transportasi modern jika memang perjalanannya tidak memberatkan.
Akan tetapi sebaliknya jika memang perjalanan memberatkan, dan kondisi badan lemah, seperti mereka yang sekarang ini sering mudik dengan menggunakan sepeda motor asalkan memang benar-benar tidak kuat untuk berpuasa, maka dalam hal ini berbuka lebih baik.
Itu tadi pembahasan lengkap bolehkah tidak puasa karena perjalanan jauh saat mudik.
Wlabu A'lam.
Editor: Kastolani Marzuki