Hukum Bayi Tabung dalam Islam Menurut Fatwa MUI, Haram Jika Kasusnya Demikian
JAKARTA, iNews.id - Hukum bayi tabung dalam Islam perlu dipahami dengan baik oleh setiap kaum Muslim. Program bayi tabung atau juga dikenal dengan In Vitro Fertilization (IVF) adalah teknik pembuahan sel telur di luar tubuh perempuan.
Cara ini biasanya menjadi pilihan pasangan suami istri yang lama tidak punya keturunan. Prosedur bayi tabung dilakukan dengan cara mempertemukan sel telur dan sperma di luar tubuh. Jika pembuahan berhasil, maka akan terbentuklah embrio yang nantinya ditransfer ke rahim perempuan/ibu.
Kendati demikian, program bayi tabung hingga saat ini masih menjadi pro dan kontra di kalangan masyarakat. Pasalnya, ada yang menganggap bahwa bayi tabung adalah sesuatu tindakan yang haram.
Lantas bagaimana hukum bayi tabung dalam Islam? Dilansir iNews.id dari MUI, Rabu (13/7/2022), Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebenarnya telah mengeluarkan fatwa terkait hukum bayi tabung menurut Islam. Berikut ini adalah 4 fatwa MUI terkait bayi tabung.
1.Bayi tabung dengan sperma dan ovum dari pasangan suami istri yang sah hukumnya mubah (boleh), sebab hak ini termasuk ikhtiar berdasarkan kaidah-kaidah agama.
2.Bayi tabung dari pasangan suami-istri dengan titipan rahim istri yang lain (misalnya dari istri kedua dititipkan pada istri pertama) hukumnya haram berdasarkan kaidah Sadd az-zari’ah, sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang rumit dalam kaitannya dengan masalah warisan (khususnya antara anak yang dilahirkan dengan ibu yang mempunyai ovum dan ibu yang mengandung kemudian melahirkannya, dan sebaliknya).
3.Bayi tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia hukumnya haram berdasarkan kaidah Sadd az-zari’ah, sebab hal ini akan menimbulkan masalah yang pelik, baik dalam kaitannya dengan penentuan nasab maupun dalam kaitannya dengan hal kewarisan.
4.Bayi tabung yang sperma dan ovumnya diambil dari selain pasangan suami istri yang sah hukumnya haram, karena itu statusnya sama dengan hubungan kelamin antar lawan jenis di luar pernikahan yang sah (zina), dan berdasarkan kaidah Sadd az-zari’ah, yaitu untuk menghindarkan terjadinya perbuatan zina sesungguhnya.
Sebagai tambahan, fatwa tersebut sebenarnya senada dengan apa yang telah dibahas pada bahtsul masail Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jatim terkait hukum bayi tabung.
Pada bahtsul masail 26-27 Agustus 1981 itu, status hukum bayi tabung diperinci (ditafsil):
1. Pertama, apabila sperma yang ditabung dan dimasukkan ke dalam Rahim wanita tersebut ternyata bukan sperma suami istri, maka hukumnya haram.
2. Kedua, apabila sperma yang ditabung tersebut suami istri, tetapi cara mengeluarkan sperma tidak dengan cara yang diperbolehkan syara’ (muhtaram) maka hukumnya juga haram.
3. Ketiga, bila sperma yang ditabung merupakan sperma suami istri dan cara mengeluarkanya muhtaram serta dimasukkan ke dalam Rahim istri yang sah. Maka hukumnya boleh.
Dasar hukum di atas adalah ditelaah dari beberapa kitab antara lain. Salah satunya dalam kitab Al-Jami’ ash-Shaghir, V/479 yang menyatakan:
ماَ مِنْ ذَنْبِ بَعْدَ الشَّرْ كِ أَ عْظَمُ عِنْدَ ا الله مِنْ نٌطْفَةٍ وَ ضَعَهَا رَ جُلٌ فِى رَ حِمٍ الَا يَحِلُ لَهُ (رواه أبي الد نيا عن الد نيا عن الهشيم بن ما لك الطا ئي)
Artinya: Tidak ada dosa yang lebih besar setelah syirik di sisi Allah daripada mani seorang laki-laki yang ditaruh pada rahim wanita yang tidak halal baginya,(HR. Ibn ad-Dunya dari al-Hasyim bin Malik ath-Tha’i).
Demikian adalah hukum bayi tabung dalam Islam, khususnya yang difatwakan oleh MUI dan hasil bahtsul masail NU Jawa Timur.
Editor: Komaruddin Bagja