Hukum Tunangan dalam Islam serta Dalilnya
JAKARTA, iNews.id - Sebelum pernikahan dilangsungkan lazim dilakukan pertunangan. Lalu, bagaimana hukum tunangan dalam Islam?
Tunangan atau lamaran artinya
permintaan untuk menikah dari seorang laki-laki yang diajukan kepada seorang perempuan dan
walinya, atau dari pihak wanita kepada laki-laki melalui perantara seseorang yang dipercayai.
Tunangan dilakukan sebelum diadakan pernikahan. Pada umumnya seorang laki-laki melakukan tunangan, lamaran atau yang dalam Islam lebih dikenal dengan khitbah kepada perempuan yang akan dijadikan sebagai calon Istrinya.
Namun, ada hal yang perlu diketahui sebelum mantap mengkhitbah atau tunangan. Seseorang perlu terlebih dulu mempertimbangkan kriteria dalam hal menentukan jodohnya itu, agar kelak di kemudian hari tidak ada penyesalan yang muncul dalam pernikahannya. Hal tersebut sebagaimana telah
tertuang dalam sabda Rasulullah SAW yang bunyinya:
Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,`Wanita itu dinikahi karena empat hal :
karena hartanya, nasabnya, kecantikannya, dan agamanya . Maka perhatikanlah agamanya kamu akan selamat (HR. Bukhari Muslim).
Menurut Imam al-Nawawi bahwa maksud hadis ini adalah Nabi mengabarkan tentang apa yang menjadi kebiasaan orang-orang yaitu dalam urusan pernikahan mereka memandang dari empat perkara ini dan menjadikan perkara agama sebagai kriteria terakhir oleh karena itu pilihlah wanita karena agama yang baik niscaya akan beruntung dan kandungan
hadis ini sama sekali tidak bermakna bahwa
Rasulullah SAW memerintahkan untuk menikahi wanita yang kaya, terpandang dan cantik sehingga
menjadikan agama sebagai poin terakhir dalam memilih.
Hal ini sejalan dengan hadis yang melarang menikahi seorang perempuan selain karena faktor
agamanya.
Firman Arifandi dalam bukunya Serial Hadits 3: Melamar dan Melihat Calon Pasangan menjelaskan, dalam syariat Islam, hukum tunangan atau khitbah merupakan sesuatu yang mubah menurut jumhur ulama dan tidak sampai menjadi wajib.
Sebagaimana dalam al
Quran, Surat Al Baqarah ayat 235. Allah SWT berfirman:
وَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ سَتَذْكُرُونَهُنَّ وَلَكِنْ لَا تُوَاعِدُوهُنَّ سِرًّا إِلا أَنْ تَقُولُوا قَوْلا مَعْرُوفًا وَلا تَعْزِمُوا عُقْدَةَ النِّكَاحِ حَتَّى يَبْلُغَ الْكِتَابُ أَجَلَهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ
Artinya: "dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu,] dengan sindiran, atau kamu
Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekadar mengucapkan (kepada mereka) Perkataan yang ma'ruf. Dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.(Al Baqarah ; 235).
Mazhab Asy-Syafi’iyah memandang bahwa hukum khitbah adalah sunnah atau mustahab, dengan alasan bahwa sebelum menikahi secara sah Aisyah dan Hafshah radhiyallahuanhuma, Rasulullah SAW mengkhitbah mereka terlebih dahulu.
Namun, secara garis besar, khitbah atau tunangan diperbolehkan oleh agama karena dengannya telah terjadi muqaddimah dari seorang lelaki untuk menempuh jalur yang lebih serius yakni pernikahan pada waktu yang akan disepakati nantinya.
Meskipun demikian, sebuah
pernikahan tidak disyaratkan harus selalu melewati khitbah. Maka bila sebuah akad nikah terjadi tanpa didahului dengan khitbah, hukumnya tentu tetap sah menurut jumhur ulama.
Hadis tentang kebolehannya tunangan
Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata; Rasulullah SAW bersabda: "Apabila salah seorang di antara kalian meminang seorang wanita, jika ia mampu untuk melihat sesuatu yang memotivasinya untuk menikahinya hendaknya ia melakukannya."
Jabir berkata; kemudian aku meminang seorang gadis dan aku bersembunyi untuk melihatnya hingga aku melihat darinya apa yang mendorongku untuk menikahinya, lalu aku pun menikahinya. (HR. Abu Daud).
Jika telah melangsungkan
tunangan maka alangkah baiknya menyegerakan waktu akad, agar tidak ada kekhawatiran akan terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan.
Dalam pandangan syariat Islam, tunangan tidaklah sama dengan suatu transaksi antara laki-laki yang meminang dengan wanita yang dipinang atau dengan walinya, melainkan tidak lebih dari pada permohonan untuk bisa menikah.
Dengan diterimanya suatu pinangan baik oleh wanita yang bersangkutan maupun oleh seorang walinya, tidaklah berarti telah terjadi akad nikah di antara kedua belah pihak. Akan tetapi itu hanya berarti bahwa laki-laki tersebut adalah calon untuk menjadi seorang suami bagi wanita tersebut pada masa yang akan datang.
Dalam pandangan masyarakat di Indonesia, biasanya tunangan dianggap sebagai awal dari
kelanjutan penentuan tanggal pernikahan yang seolah-olah sudah ada jaminan bahwa mereka akan sah jadi suami istri dan orang lain tidak punya kesempatan lagi untuk meraih hati si calon, atau si wanita tidak punya pilihan lagi untuk membatalkan lamaran itu.
Hal ini perlu untuk dipahami bersama bahwa sebenarnya dalam tunangan belum mempunyai kandungan konsekuensi hukum yang mengikat layaknya pernikahan. Sehingga dari situ, jangan sampai adat kemudian membuat aturan yang melampaui rambu-rambu syariah. Seperti tradisi bahwa yang sudah dilamar atau dikhitbah sudah bisa jalan berduaan dengan calon pasangannya ke mana pun.
Demikian penjelasan mengenai hukum tunangan dalam Islam yang perlu dipahami bagi Muslim terutama yang bersegera menikah.
Wallahu A'lam
Editor: Kastolani Marzuki