Kumpulan Teks Khutbah Jumat Bulan Muharram Singkat dan Jelas Beragam Tema
JAKARTA, iNews.id - Teks khutbah Jumat Bulan Muharram beragam tema tentang menyantuni anak yatim dan peristiwa hari Asyura layak dijadikan tema untuk disampaikan kepada jemaah. Saat ini, Bulan Muharram 1446 Hijriah sudah memasuki pekan kedua atau pertengahan bulan.
Sebagaimana diketahui, keutamaan Bulan Muharram yakni satu dari empat bulan yang dimuliakan Allah SWT dan masuk asyhurul hurum atau bulan yang diharamkan untuk berbuat maksiat, kerusakan maupun pembunuhan.
Allah SWT berfirman:
اِنَّ عِدَّةَ الشُّهُوْرِ عِنْدَ اللّٰهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِيْ كِتٰبِ اللّٰهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ مِنْهَآ اَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۗذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ ەۙ فَلَا تَظْلِمُوْا فِيْهِنَّ اَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِيْنَ كَاۤفَّةً كَمَا يُقَاتِلُوْنَكُمْ كَاۤفَّةً ۗوَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ مَعَ الْمُتَّقِيْنَ
Artinya: Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kalian menganiaya diri kalian dalam bulan yang empat itu dan perangilah kaum musyrik itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kalian semuanya; dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa". (QS. At Taubah: 36)
Para ulama tafsir merespons ayat tersebut tentang keutamaan bulan-bulan haram termasuk di dalamnya Muharram. Dalam bulan-bulan haram itu dilarang berbuat aniaya terhadap diri kalian sendiri, karena dalam bulan-bulan Haram itu sanksi berbuat dosa jauh lebih berat daripada dalam hari-hari lainnya. Sebagaimana perbuatan maksiat yang dilakukan di dalam Kota Suci Mekah, berlipat ganda dosanya.
Ibnu Qatadah mengatakan melakukan perbuatan aniaya dalam bulan-bulan Haram, maka dosa dan sanksinya jauh lebih besar daripada melakukan perbuatan aniaya dalam bulan-bulan yang lain, sekalipun pada prinsipnya perbuatan aniaya itu —kapan saja dilakukan— dosanya tetap besar. Tetapi Allah lebih memperbesar urusan-Nya sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya.
Berikut ini contoh teks khutbah Jumat tentang muhasabah di Bulan Muharram yang dirangkum iNews.id dari laman mui dan istiqlal.
1. Contoh Khutbah Jumat Muharram dan Menyantuni Anak Yatim
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُاللّٰهِ وَبَرَكَاتُه
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ وَاسِعِ الْفَضْلِ وَالْاِحْسَانِ، وَمُضَاعِفِ الْحَسَنَاتِ لِذَوِي الْاِيْمَانِ وَالْاِحْسَانِ، اَلْغَنِيِّ الَّذِيْ لَمْ تَزَلْ سَحَائِبُ جُوْدِهِ تَسِحُّ الْخَيْرَاتِ كُلَّ وَقْتٍ وَأَوَانٍ، اَلعَلِيْمِ الَّذِيْ لَايَخْفَى عَلَيْهِ خَوَاطِرُ الْجَنَانِ، اَلْحَيِّ الْقَيُّوْمِ الَّذِيْ لَاتَغِيْضُ نَفَقَاتُهُ بِمَرِّ الدُّهُوْرِ وَالْأَزْمَانِ، اَلْكَرِيْمِ الَّذِيْ تَأَذَّنَ بِالْمَزِيْدِ لِذَوِي الشُّكْرَانِ. أَحْمَدُهُ حُمْدًا يَفُوْقُ الْعَدَّ وَالْحُسْبَانِ، وَأَشْكُرُهُ شُكْرًا نَنَالُ بِهِ مِنْهُ مَوَاهِبَ الرِّضْوَانِ. أَشْهَدُ أَنْ لَااِلَهَ اِلَّا اللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ دَائِمُ الْمُلْكِ وَالسُّلْطَانِ، وَمُبْرِزُ كُلِّ مَنْ سِوَاهُ مِنَ الْعَدَمِ اِلَى الْوِجْدَانِ، عَالِمُ الظَّاهِرِ وَمَا انْطَوَى عَلَيْهِ الْجَنَانِ. وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَخِيْرَتُهُ مِنْ نَوْعِ الْاِنْسَانِ، نَبِيٌّ رَفَعَ اللّٰهُ بِهِ الْحَقَّ حَتَّى اتَّضَحَ وَاسْتَبَانَ. أَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّم وَبَارِكْ عَلٰي سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَهْلِ الصِّدْقِ وَالْاِحْسَانِ. أَمَّا بَعْدُ، أَيُّهَا الْاِخْوَانُ أُوْصِيْكُمْ وَاِيَايَ بِتَقْوَى اللّٰهِ وَطَاعَتِهِ، بِامْتِثَالِ أَوَامِرِهِ وَاجْتِنَابِ نَوَاهِيْهِ. قَالَ اللّٰهُ تَعَالٰى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: وَيَسْأَلونَكَ عَنِ الْيَتَامَى قُلْ إِصْلاحٌ لَهُمْ خَيْرٌ وَإِنْ تُخَالِطُوهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ الْمُفْسِدَ مِنَ الْمُصْلِحِ
Hadirin jamaah Jumat, rahimakumullah...
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, atas berkat rahmat-Nya, inayah-Nya, karunia-Nya, Allah kumpulkan kita bersama pada hari yang mulia ini, di bulan haramnya, bulan Muharram yang mulia, di tempat rumahnya yang mulia ini untuk melaksanakan ibadah shalat Jumat, mudah-mudahan shalat Jumat kita dan apapun ibadah yang kita lakukan ini diterima Allah SWT dan mudah-mudahan semua ibadah-ibadah itu dapat meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah SWT. Amiin
Hadhirin jamaah Jumat, rahimakumullah
Di hari Jumat yang penuh berkah ini, marilah kita meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah SWT dengan selalu menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya, dengan selalu berpegang teguh serta mengikuti sunnah-sunnah nabi-Nya. Salah satu bentuk sunnah yang diajarkan dan diperintahkan untuk diikuti ialah perintah memuliakan, menyantuni, menyayangi dan merawat anak yatim.
Yatim berasal dari bahasa Arab, artinya anak kecil yang kehilangan ayahnya karena meninggal. Dalam Islam, artinya pun sama dan bahkan dilengkapi dengan batasan umur bagi seseorang yang masuk dalam kategori yatim tersebut.
Anak yatim memiliki posisi yang istimewa dalam Islam. Melalui berbagai firmannya-Nya dalam Alquran, Allah SWT menyuruh hamba-Nya untuk memperhatikan anak yatim dengan sebaik-baiknya. Begitu istimewanya anak yatim, sampai disebutkan sebanyak 23 kali dalam Alquran yaitu 8 dalam bentuk tunggal, 14 dalam bentuk jamak dan 1 dalam bentuk Mutsanna. Misalnya Allah Ta’ala berfirman dalam surat An-Nisa ayat 36:
وَٱعۡبُدُواْ ٱللّٰهَ وَلَا تُشۡرِكُواْ بِهِۦ شَيۡـٔٗاۖ وَبِٱلۡوَٰلِدَيۡنِ إِحۡسَٰنٗا وَبِذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَٱلۡجَارِ ذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡجَارِ ٱلۡجُنُبِ وَٱلصَّاحِبِ بِٱلۡجَنۢبِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۗ إِنَّ ٱللّٰهَ لَا يُحِبُّ مَن كَانَ مُخۡتَالٗا فَخُورًا
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnusabil, serta hamba sahaya yang kamu miliki. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang sombong lagi sangat membanggakan diri”.
Dari ayat ini kita lihat bagaimana perhatian Islam yang begitu besar terhadap anak yatim dimana perintah berbuat baik terhadap anak yatim jatuh pada tingkatan ketika sesudah berbakti kepada orang tua dan berbuat baik kepada kerabat.
Hadirin jamaah Jumat, rahimakumullah...
Anak yatim merupakan bagian dari golongan yang rentan dan memerlukan perlindungan serta kasih sayang masyarakat. Dalam Alquran, Allah SWT mengingatkan umat-Nya untuk memberikan perhatian khusus kepada anak yatim. Salah satu ayat yang mencerminkan hal ini adalah dalam Surat Ad-Duha, di mana Allah SWT berfirman:
فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلَا تَقْهَرْ، وَأَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ
"Maka terhadap anak yatim janganlah engkau (Muhammad) mendesaknya, dan terhadap orang yang meminta-minta, janganlah engkau (Muhammad) menghardiknya."
Ini menunjukkan bahwa Allah SWT menginginkan perlakuan baik dan penuh kasih sayang terhadap anak yatim. Nabi Muhammad SAW sendiri juga memberikan contoh teladan yang sangat baik dalam memperlakukan anak yatim.
Beliau secara konsisten mendorong umat Islam untuk memberikan perlindungan, kasih sayang, dan dukungan kepada mereka yang kehilangan orang tua. Banyak Hadits-hadits Nabi mengajarkan umatnya untuk memberikan bantuan material dan moral kepada anak yatim.
Bahkan keberadaan anak yatim dalam suatu rumah menjadi keberkahan tersendiri bagi penghuninya. Keberadaannya menjadi salah satu tanda bahwa rumah tersebut merupakan rumah terbaik dibanding dengan rumah-rumah lain yang di dalamnya tidak ada anak yatim. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh nabi dalam salah satu haditsnya, yaitu:
خَيْرُ بَيْتٍ فِى اْلمُسْلِمِيْنَ بَيْتٌ فِيْهِ يَتِيْمٌ يُحْسَنُ اِلَيْهِ وَشَرُّ بَيْتٍ فِى اْلمُسْلِمِيْنَ بَيْتٌ فِيْهِ يَتِيْمٌ يُسَاءُ اِلَيْهِ . رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهُ
Artinya, “Sebaik-baiknya rumah di kalangan umat Islam adalah rumah yang di dalamnya terdapat anak yatim yang diperlakukan dengan baik. Dan seburuk-buruknya rumah di kalangan umat Islam adalah rumah yang di dalamnya terdapat anak yatim yang diperlakukan dengan buruk.” (HR Ibnu Majah).
Tidak hanya berupa anjuran merawat dan menyantuni anak yatim saja, namun Allah SWT juga menjanjikan pahala yang sangat istimewa kepada orang-orang yang merawat anak yatim. Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah SAW bersabda:
أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِي الْجَنَّةِ هَكَذَا. وَأَشَارَ بِالسَّبَابَةِ وَالْوُسْطَى، وَفَرَّجَ بَيْنَهُما شَيْئًا
Artinya, “Aku dan orang yang merawat anak yatim seperti ini dalam surga.” Kemudian nabi memberi isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengah, seraya sedikit merenggangkannya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Hadirin jamaah Jumat, rahimakumullah...
Anak yatim kehilangan ayahnya yang merupakan tulang punggung keluarga, sehingga perekonomiannya pun terganggu. Oleh karena itu, sebagai orang yang mampu, kita dapat menyantuni anak yatim dengan memberikan pakaian, makanan, atau sebagian harta kita yang lainnya. Karena sesungguhnya kita tidak akan merugi dengan berbagi. Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ كَسَا يَتِيمًا مِنَ المُسْلِمِينَ كَسَاهُ اللّهُ مِنَ الحَرِيرِ الأَخْضَرِ فِي الجَنَّةِ
Artinya: “Barangsiapa yang memberi pakaian kepada seorang anak yatim dari kalangan muslimin, maka Allah akan memberinya pakaian dari sutra hijau di surga.” (HR ath-Thabrani).
Dalam ajaran Islam, pemeliharaan dan pembinaan anak yatim tak terbatas pada hal-hal yang bersifat fisik, seperti harta, namun juga mencakup berbagai hal yang bersifat psikis. Salah satu yang terpenting adalah aspek pendidikan maka termasuk unsur penting dalam memuliakan anak yatim adalah dengan turut membiayai pendidikannya.
Pendidikan adalah salah satu hak dasar yang harus dipenuhi bagi setiap anak, termasuk anak yatim. Namun sayangnya, banyak anak yatim yang tidak dapat melanjutkan pendidikannya karena keterbatasan biaya. Maka, jika kita memiliki rezeki lebih, alangkah baiknya untuk berbagi dengan membiayai pendidikan anak yatim. Dengan demikian, kita dapat membantu mereka untuk memiliki masa depan yang lebih baik. Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ أَعْطَى يَتِيمًا مَالاً حَتَّى يَسْتَغْنِيَ بِهِ عَنِ النَّاسِ أَدْخَلَهُ اللّهُٰ الجَنَّةَ
Artinya: “Barangsiapa yang memberi seorang anak yatim harta sampai ia dapat mandiri dari orang lain, maka Allah akan memasukkannya ke surga.” (HR Al-Baihaqi).
Hadirin jamaah Jumat, rahimakumullah...
Seringkali kita membaca dan mendengar dalam Alquran dan Sunnah tentang orang-orang yang keras hatinya, biasanya digambarkan orang yang keras hatinya adalah yang jauh dari mengingat Allah SWT misalnya yang Allah SWT gambarkan dalam dalam surat Az zumar
أَفَمَنْ شَرَحَ اللّٰهُ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ فَهُوَ عَلَىٰ نُورٍ مِنْ رَبِّهِ ۚ فَوَيْلٌ لِلْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُمْ مِنْ ذِكْرِ اللّٰهِ ۚ أُولَٰئِكَ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
“Maka apakah orang-orang yang dibukakan oleh Allâh hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Rabb-nya (sama dengan orang yang hatinya keras)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang hatinya keras untuk mengingat Allâh. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.” (QS az-Zumar [39]:22).
Hati yang keras atau mulai mengeras memiliki tanda-tanda sebagai berikut pertama, bermalas-malasan dalam mengerjakan kebaikan dan ketaatan, serta meremehkan suatu kemaksiatan. Kedua, tidak terpengaruh hatinya dengan ayat-ayat Alquran yang dibacakan.
Berbeda dengan kaum mukminin, hati mereka akan bergetar jika dibacakan ayat-ayat Alquran atau diingatkan akan Allah Azza wa Jalla . Allah Azza wa Jalla berfirman.
اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ اِذَا ذُكِرَ اللّٰهُ وَجِلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَاِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ اٰيٰتُهٗ زَادَتْهُمْ اِيْمَانًا وَّعَلٰى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَۙ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allâh gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Rabb-lah mereka bertawakkal.” [QS al-Anfal [8]:2).
Ketiga, tidak terpengaruh hatinya dengan berbagai ujian, musibah dan cobaan yang diberikan Allah Azza wa Jalla . Allah berfirman:
اَوَلَا يَرَوْنَ اَنَّهُمْ يُفْتَنُوْنَ فِيْ كُلِّ عَامٍ مَّرَّةً اَوْ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ لَا يَتُوْبُوْنَ وَلَا هُمْ يَذَّكَّرُوْنَ
“Dan tidakkah mereka (orang-orang munâfiq) memperhatikan bahwa mereka diuji sekali atau dua kali setiap tahun, dan mereka tidak (juga) bertaubat dan tidak (pula) mengambil pelajaran?.” [QS At-Taubah [9]: 126)
Tanda hati keras yang keempat adalah tidak merasa takut akan janji dan ancaman Allâh Azza wa Jalla
Hadirin jamaah Jumat, rahimakumullah....
Selain balasan istimewa berupa surga yang berdekatan dengan nabi di akhirat, merawat dan menyantuni anak yatim juga memiliki balasan yang sangat istimewa ketika di dunia, yaitu akan dilunakkan hatinya oleh Allah.
Hal ini sebagaimana diceritakan dalam salah satu riwayat sahabat Abu Hurairah, bahwa suatu saat ia mendengar seorang laki-laki yang mengadu kepada Rasulullah perihal hatinya yang keras, kemudian Nabi SAWmenyuruhnya untuk memberi makan orang miskin dan mengusap kepala anak yatim.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَجُلاً شَكَا إِلَى النَّبِىِّ قَسْوَةَ قَلْبِهِ فَقَالَ: امْسَحْ رَأْسَ الْيَتِيمِ وَأَطْعِمِ الْمِسْكِينَ
Artinya, “Dari Abu Hurairah, bahwa terdapat seorang laki-laki mengadu kepada nabi tentang hatinya yang keras, maka nabi bersabda: Berilah makanan kepada orang miskin, dan usaplah kepala anak yatim.”
Hadirin jamaah Jumat, rahimakumullah...
Pada akhirnya mudah-mudahan Allah memberikan kita taufik dan kekuatan untuk bisa memuliakan anak yatim sebagaimana perintah agama amin allahumma amin
بَارَكَ اللّٰهُ لِي وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيمِ وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيمِ، وَتَقَبَّلَ اللّٰهُ مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلَاوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ، أَقَوْلُ قَوْلِي هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللّٰهَ الْعَظِيمَ لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ فَاسْتَغْفِرُوهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا
أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ الْمُسَبِّحَةِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى
إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلي وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآء مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ
Di antara anugerah Allah kepada hamba-hamba-Nya adalah menjadikan waktu-waktu tertentu memiliki keutamaan dibanding lainnya sebagai kesempatan untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Salah satunya adalah bulan Muharram, satu di antara empat bulan lainnya, yaitu Dzlqo`dah, Dzulhijjah dan Rajab, yang diagungkan dan disucikan oleh-Nya. Begitu mulianya empat bulan tersebut sampai-sampai Allah melarang perbuatan zalim dan maksiat, karena dosanya dilipatgandakan dibanding bulan-bulan lain (QS. At-Taubah: 36). Kata Muharram itu sendiri, secara bahasa, menegaskan keharaman melakukan kezaliman dan kemaksiatan di dalamnya, disamping kesucian dan keagungannya.
Salah satu kemuliaan bulan Muharram adalah keberadaan hari Asyura, yang merupakan hari kesepuluh di bulan tersebut. Kata Asyura popular di masa Islam, meskipun sebelum itu bangsa Arab telah biasa memuliakannya.
Di hari itu Rasulullah perintahkan umatnya untuk berpuasa, karena memiliki kedudukan yang sangat luar biasa. Beliau sangat mengutamakan berpuasa di hari itu dibanding hari-hari lainnya, sebab puasa di hari itu, seperti dinyatakan dalam hadis riwayat Muslim, akan menghapuskan dosa-dosa selama satu tahun sebelumnya (yukaffiru al-sanatal mâdhiyata).
Bangsa Arab pada masa Jahiliyyah (sebelum Islam datang) juga memuliakannya dengan berpuasa. Demikian pula orang-orang Yahudi yang ada di Madinah.
Bahkan, dalam kisah sababul wurûd puasa Asyura, ketika tiba di Madinah Nabi menjumpai orang-orang Yahudi berpuasa di hari Asyuro. Alasannya, menurut mereka, ini adalah hari baik, sebab di hari itu Allah telah menyelamatkan bani Israil yang dipimpin oleh Nabi Musa dari kejaran fir`aun dan bala tentaranya.
Sebagai ungkapan rasa syukur, Nabi Musa berpuasa di setiap hari itu dan diikuti oleh umat Yahudi sampai masa Nabi Muhammad. Tentu, bukan hanya umat Yahudi, tetapi umat Nabi Muhammad juga lebih berhak memuliakan Nabi Musa, sehingga beliau perintahkan umatnya untuk berpuasa. Ana ahaqqu bi Mûsâ minkum (Aku lebih berhak memuliakan Musa daripada kalian), begitu katanya. Agar berbeda dengan umat Yahudi, beliau anjurkan untuk menambahkan puasa satu hari sebelum atau sesudah tanggal sepuluh Muharram.
Ma`âsyiral Muslimîn Hafizhakumullâh
Kisah tersebut mengajarkan kita untuk mengenang peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan. Seruan Nabi untuk berpuasa di hari Asyura adalah upaya menghidupkan kembali kesadaran tentang sejarah, terutama yang memiliki dampak besar bagi kehidupan.
Di hari Asyura Allah menunjukkan akhir perjuangan panjang membela kebenaran, yaitu dengan membinasakan penguasa tiran dengan segala kezalimannya.
Dalam konteks kisah Nabi Musa, ditenggelamkannya Firaun di Laut Merah merupakan sebuah kemenangan besar, sehingga sangat wajar jika Allah perintahkan Nabi Musa untuk selalu mengingatkan bani Israil tentang berbagai nikmat karunia Allah dalam hari-hari kehidupan mereka. Wadzakkirhum bi ayyâmillâh (Ingatkanlah mereka dengan hari-hari Allah) (QS. Ibrahim: 5).
‘ana ahaqqu bi Mûsa minkum’ menunjukkan bahwa risalah yang dibawa oleh para nabi pada hakikatnya satu, yaitu menyeru kepada ajaran mengesakan Allah Swt. Hanya saja, syariat atau cara menjalankan ajaran agamanya berbeda antara satu dengan lainnya, sesuai dengan kondisi masing-masing.
Dalam pernyataannya yang lain Rasulullah menegaskan, ‘ana awlan nâsi bi `Isâ ibni Maryam fid dunyâ wal âkhirah’, (Aku lebih berhak memuliakan Nabi Isa putra Maryam di dunia dan akhirat) sebab kedudukan para nabi itu seperti saudara satu bapak lain ibu (ikhwatun min `allâtin); ibunya (syariatnya) banyak dan bapaknya (agamanya) satu. Ini tidak berarti semua agama sama, sebab Al-Qur`an juga menegaskan terjadinya penyimpangan dan penyelewangan terhadap ajaran nabi-nabi terdahulu. Islam sebagai agama terakhir yang dibawa oleh Nabi Muhammad menghimpun dan menyempurnakan ajaran-ajaran terdahulu.
Apresiasi dan penghormatan yang begitu sangat tinggi kepada nabi-nabi terdahulu membuat Islam menjunjung tinggi hubungan antara sesama pemeluk agama. Persaudaraan sesama manusia dibangun atas dasar kemanusiaan (ukhuwwah insâniyyah), bukan atas perbedaan agama, ras, warna kulit dan bahasa. Lihatlah bagaimana Rasulullah membangun masyarakat Madinah dengan segala keragaman suku dan agama yang ada melalui perjanjian yang tertuang dalam Piagam Madinah. Seluruh komponen masyarakat dipandang sebagai satu ‘ummat’ yang saling melindungi satu dengan lainnya. Begitu juga dengan pemeluk Kristen di Najran. Hal sama dilakukan Umar bin Khattab dengan penduduk Elia (Yerusalem) berupa jaminan keselamatan atas jiwa, harta dan rumah ibadah mereka setelah wilayah itu dikuasainya pada tahun 638 M (15 H).
Ma`âsyiral Muslimîn Hafizhakumullâh
Bila hubungan persaudaraan kemanusiaan dengan yang berbeda agama sangat ditekankan, apalagi dengan sesama Muslim. Meski berbeda dalam cara mengamalkan rincian ajaran agama, kesamaan keyakinan kepada Allah yang Maha Esa, Nabi mulia dan kitab sucinya, serta kiblat yang sama dalam shalat dan haji, itu semua cukup menjadi dasar untuk membangun persatuan atas dasar saudara seagama. Namun sayang, jauh panggang dari api. Sebagai contoh, kemulian dan kesucian hari Asyura tercoreng oleh peristiwa yang meniggalkan luka mendalam yang hingga saat ini memicu konflik berkepanjangan antara Muslim Sunni dan Syiah. Perselisihan semakin meruncing setiap kali hari Asyura datang.
Di saat mayoritas Muslim penganut Ahlussunnah wal Jam`ah memperingati hari Asyura sebagai hari kesyukuran atas kemenangan dengan mengabadikan ingatan sejarah kemenangan Nabi Musa atas tirani kekuasaan Firaun, kaum Syiah memperingatinya sebagai hari kesedihan. Bahkan, dalam ritualnya ada yang sampai melukai diri agar bisa merasakan apa yang dialami oleh Sayyidunal Husain. Di hari itu, tepatnya pada tahun 61 H, Imam Husein beserta pengikutnya sebanyak 72 orang dibunuh dibunuh di Karbala Irak, oleh Yazid bin Muawiyah, penguasa saat itu. Peristiwa itu pada mulanya bermotifkan politik, tetapi memberi pengaruh psikologis dan teologis yang sangat mendalam, sehingga sampai sekarang kebencian dan kecurigaan menyelimuti hubungan antara dua tradisi keislaman; Sunni dan Syiah. Bahkan dengan mudahnya antara satu dengan lainnya saling mangkafirkan. Isu inilah yang berperan memecah belah persatuan umat seperti yang terjadi di beberapa negara Islam.
Tidak sepatutnya umat Islam terus tersandera oleh beban sejarah kelam di masa lalu. Sampai kapan peritiwa itu akan terus menghalangi persatuan umat. Lalu, apa dosa generasi belakangan yang tidak terlibat dalam peristiwa itu, bahkan mengingkarinya, sehingga harus menanggung beban sejarah masa lalu?
Umat Islam, Sunni dan Syiah, bersepakat tentang kedudukan Ahlul Bayt di hati kaum muslimin. Cinta kepada Nabi dan keluarganya adalah bagian yang tidak terpisahkan dari ajaran agama. Bahkan, Imam Syafi`I menyatakan wajib hukumnya membaca shalawat (doa) untuk Ahlul bayt dalam shalat. Dalam bait syair beliau berdendang:
يا آل بيت رسول الله حبكمو فرض من الله فى القرآن أنزله
يكفيكم من عظيم الفخر أنكمو من لم يصل عليكم فلا صلاة له
Wahai Ahlu Bayt (keluarga) Rasulillah, mencintaimu adalah kewajiban dari Allah dalam Al-Qur`an yang diturunkan-Nya
Cukuplah kebanggaan luar biasa bagimu, bahwa yang tidak membaca shalawat (doa) untukmu (dalam shalat) maka tidak sah shalatnya.
Hubungan antara para Sahabat dengan Ahlul Bayt terjalin dengan baik penuh kecintaan dan kasih sayang. Imam Ali menikahkan putrinya Ummi Kultsum kepada Umar bin Khattab, dan menamakan anak-anaknya dengan nama Abu bakar, Umar dan Usman. Imam Musa al-Kazhim putra Imam Ja`far al-Shadiq menamakan salah seorang putranya dengan nama Abu Bakar dan putrinya bernama Aisyah. Lalu, mengapa cacian dan laknat terhadap para sahabat yang sangat dihormati oleh Muslim Sunni masih terdengar hingga kini? Padahal, Allah telah menyatakan dalam kitab suci-Nya:
﴿ وَالسّٰبِقُوْنَ الْاَوَّلُوْنَ مِنَ الْمُهٰجِرِيْنَ وَالْاَنْصَارِ وَالَّذِيْنَ اتَّبَعُوْهُمْ بِاِحْسَانٍۙ رَّضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُ وَاَعَدَّ لَهُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ تَحْتَهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَآ اَبَدًا ۗذٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيْمُ ١٠٠ ﴾
Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung. (QS. At-Taubah: 100).
Tentu, sebagai manusia mereka tak luput dari kesalahan. Tetapi, itu tidak berarti kita boleh merendahkan, apalagi mencaci dan melaknat mereka, wal`iyâdzu billâh. Kalaupun pernah terjadi konflik politik di masa lalu, biarlah itu bagian dari masa lalu yang harus menjadi pelajaran bagi generasi mendatang untuk menatap masa depan bersama yang lebih baik. Teladani Imam Syafi`i yang menyikapi persitiwa itu dengan mengatakan, “itu semua adalah peristiwa yang Allah telah jauhkan kita darinya, maka jangan kotori lisanmu dengannya” (hâdzihi ahdâtsun ab`adallâhu aydînâ `anhâ, falâ nulawwitsu alsinatana bihâ). Atau, Khalifah Umar bin Abdil Aziz yang pernah mengatakan, “Itu adalah (peristiwa ber)darah yang Allah bebaskan aku darinya, maka aku tidak suka mengotori lisanku dengannya”.
Mari kita muliakan hari Asyura dan bulan mulia ini dengan amalan-amalan yang mendekatkan diri kepada Allah dan menyatukan barisan. Tidak dengan membangkitkan emosi dan narasi kebencian yang akan mempertajam jurang perpecahan. Tabiat kolonialisme, kapan dan di mana pun sama, yaitu mengadu domba dan memecah belah kekuatan (devide et impera). Jika saat ini beberapa negara Muslim telah berhasil dipecah dengan isu Sunnah-Syiah, tidak mustahil ke depan perpecahan akan terjadi antara sesama pengikut Sunni, dan antara sesama pengikut Syi`ah. Kita harus selalu ingat pesan Allah Swt:
﴿ اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ اِخْوَةٌ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَ اَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ ࣖ ١٠ ﴾
Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat (Qs. Al-Hujurât: 10).
﴿ وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللّٰهِ جَمِيْعًا وَّلَا تَفَرَّقُوْا ۖ ….. ١٠٣ ﴾
Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, (QS. Ali Imran: 103).
الحَمْدُ للهِ الَّذِيْ خَلَقَ الزّمَانَ وَفَضَّلَ بَعْضَهُ عَلَى بَعْضٍ فَخَصَّ بَعْضُ الشُّهُوْرِ وَالأَيَّامِ وَالَليَالِي بِمَزَايَا وَفَضَائِلَ يُعَظَّمُ فِيْهَا الأَجْرُ والحَسَنَاتُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِي بِقَوْلِهِ وَفِعْلِهِ إِلَى الرَّشَادِ. اللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ علَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمّدٍ وَعَلَى آلِه وأصْحَابِهِ هُدَاةِ الأَنَامِ في أَنْحَاءِ البِلاَدِ. أمَّا بعْدُ، فيَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللهَ تَعَالَى بِفِعْلِ الطَّاعَاتِ
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah. Tiada kalimat yang patut kita panjatkan ke hadirat Allah subhanahu wata'ala selain kalimat Alhamdulillahirabbil 'alamin sebagai ungkapan syukur atas segala nikmat yang telah Allah anugerahkan kepada kita.
Selanjutnya, tiada hal yang lebih indah dari melantunkan shalawat dan salam untuk baginda kita Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, manusia mulia yang telah memikul tanggungjawab membawa risalah Islam, membimbing kita dari kegelapan jahiliyah menuju terang kehidupan sebagai masyarakat Mukmin dan Muslim.
Oleh karena itu, adalah suatu keharusan bagi kita untuk selalu memperkuat ketakwaan dalam kehidupan kita.
Dalam berbagai literatur Islam, takwa dalam hal ini dimaknai sebagai kesungguhan dalam menjalankan setiap perintah Allah subhanahu wata'ala dan menjauhi seluruh larangan-Nya (إمتثال أمر الله واجتناب نواهيه).
Melalui pendisiplinan sikap dan perilaku takwa dalam diri, Insya Allah setiap Muslim akan dapat menjadi pribadi yang hidup sepenuhnya di jalan Allah, menjalankan misi utama penciptaan manusia di dunia ini, yaitu beribadah.
Lantas, apa saja di antara bentuk ketakwaan dalam melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya adalah diungkapkan sebagian ulama dengan menyebutkan:
المنعم وشكر والتوكل والقناعة والزهد والرضا والصبر الإخلاص الأوامر ومن الدين أمور من منه بد لا ماوتعلم العلم أهل ومحبة والنصيحة
Artinya : “Di antara perintah-perintah Allah adalah ikhlas, sabar, ridla, zuhud, qana'ah, tawakkal, bersyukur kepada pemberi nikmat (Allah), nasehat, mencintai ahli ilmu (alim ulama) dan mempelajari ilmu agama”.
ومن النواهي الحقد والحسد والبغي والغضب لغير الله والغش والخديعة والمكر والكبر والعجب
Artinya : “Di antara larangan-larangan Allah adalah dendam, iri dengki, berbuat zalim, marah bukan karena Allah, penipuan, kemunafikan, tipu muslihat, sombong dan mengagumi diri sendiri”
Demikianlah pengertian takwa yang bisa kita ambil untuk kita laksanakan dan terus kita tingkatkan kualitas pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari kita.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah. Saat ini, kita sudah berada di pertengahan Bulan Muharram 1446 Hijriyah.
Pergantian tahun ini merupakan momentum yang tepat bagi kita untuk melakukan muhasabah, introspeksi diri, berkaca dengan apa yang sudah kita lakukan maupun capai hingga saat ini.
Dalam hal ini, muhasabah bukan dilakukan dengan mengevaluasi seberapa besar pencapaian keuntungan material atau menghitung berapa banyak kegiatan yang telah kita kerjakan.
Namun lebih dari itu, Muhasabah dalam hal ini proses introspeksi jiwa, evaluasi tindakan, dan perbaikan diri sebagai manusia yang selalu berusaha mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wata'ala.
Sebagai manusia, kita diciptakan dengan berbagai kelebihan dan keunggulan dibanding makhluk-makhluk Allah yang lainnya.
Namun meski demikian, manusia tetap memiliki keterbatasan-keterbatasan yang terkadang membuat manusia lupa dan abai akan berbagai ketentuan yang ditetapkan agama.
Oleh karena itu, dibutuhkan proses muhasabah atau introspeksi diri pada setiap diri kita atas segala tindakan yang dilakukan. Muhasabah perlu dilakukan dengan istikamah sebagai pengingat bahwa segala perbuatan tidak akan luput dari catatan-catatan malaikat.
Apakah konsisten dalam prilaku terpuji atau justru sebaliknya. Tentu saja kita berharap bahwa Allah subhanahu wata'ala selalu memberikan petunjuk dan rahmat-Nya kepada kita agar senantiasa bisa melaksanakan perintah-perintah Allah dan konsisten menjauhi larangan-larangan-Nya. Amin ya Rabbal alamin.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah. Sebagai sebuah keharusan, muhasabah banyak disebutkan dalam berbagai ayat al-Quran, hadis-hadis Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, qoul ulama, maupun berbagai literatur Islam.
Dalam ayat Al-Qur’an Allah subhanahu wata'ala telah menjelaskan pentingnya peranan muhasabah sebagaimana tertuang dalam firmannya Qur'an Surat al-Hasyr ayat 18-19 :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَعْمَلُوْنَ (18) وَلَا تَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ نَسُوا اللّٰهَ فَاَنْسٰىهُمْ اَنْفُسَهُمْۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ (19)
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan, janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik”.
Selain mendorong untuk selalu menjaga ketakwaan, Allah subhanahu wata'ala pada ayat tersebut mendorong setiap mukmin untuk senantiasa melakukan introspeksi diri atau memperhatikan apa yang telah dilakukan untuk kepentingan kehidupan esok hari (akhirat) yang lebih beruntung.
Di saat yang sama, ayat ini juga menekankan dorongan agar manusia tidak lupa diri, terutama lupa akan status dirinya sebagai makhluk Allah subhanahu wata'ala sehingga terjerembab dalam golongan orang-orang fasik.
Selanjutnya tentang muhasabah ini, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berpesan:
حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوْا وَتَزَيَّنُوْا لِلْعَرْضِ الأَكْبَرِ وَإِنَّمَا يَخِفُّ الْحِسَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى مَنْ حَاسَبَ نَفْسَهُ فِى الدُّنْيَا
Artinya : “Hisablah diri (introspeksi) kalian sebelum kalian dihisab, dan berhias dirilah kalian untuk menghadapi penyingkapan yang besar (hisab). Sesungguhnya hisab pada hari kiamat akan menjadi ringan hanya bagi orang yang selalu menghisab dirinya saat hidup di dunia” (HR. At-Tirmidzi dan Ahmad).
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Sayyidina Umar bin Khaththab radhiallahu anhu ini, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam menyerukan kepada kita agar senanti melakukan evaluasi diri, interospeksi diri, atau muhasabah.
Hal ini penting diakukan agar kita dapat selalu menjaga tindakan kita dalam kehidupan ini agar senantiasa selaras dengan aturan yang telah ditetapkan dalam ajaran Islam sekaligus juga untuk memastikan bahwa tidak mengulang kesalahan yang merugikan diri kita sendiri.
Dengan muhasabah, setiap orang akan beroleh keuntungan dengan ringannya perhitungan atas amalnya selama di dunia.
Terkait pentingnya muhasabah atau introspeksi diri oleh setiap diri kita, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda sebagaimana diriwayatkan dari Syadad bin Aus radhiallahu anhu :
عَنْ شَدَّادِ بْنِ أَوْسِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ، وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هُوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللهِ
Artinya : “Dari Syadad bin Aus radhiallahu anhu, dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda, “Orang yang cerdas (sukses) adalah orang yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri, serta beramal untuk kehidupan sesudah kematiannya. Sedangkan orang yang lemah adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah subhanahu wata'ala” (HR. Tirmidzi. Ia berkata, ini hadits hasan).
Pada hadits di atas, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan pujian sekaligus identifikasi kepada setiap orang yang selalu berintrospeksi dan beramal untuk kehidupan setelah kematian sebagai salah satu karakteristik cerdas (al-Kayyis).
Sedang orang-orang yang senantiasa terbawa oleh nafsu sebagai akibat tindakan tidak selalu introspeksi diri dikelompokkan sebagai orang yang lemah (al-’Ajiz).
Demikianlah ayat al-Quran maupun hadist Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai pentingnya muhasabah dilakukan setiap dari kita. Muhasabah, sebagai tindakan introspeksi diri, evaluasi diri, atas segala tindak tanduk yang bersifat batin maupun lahir semata-mata untuk kepentingan diri manusia sendiri agar mendapat kehidupan yang lebih baik.
Ma’asyiral Muslimin jamaah Jumat rahimakumullah. Sejumlah ayat al-Quran dan hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang disebutkan di atas menekankan pentingnya muhasabah dilakukan oleh setiap Muslim.
Mengapa muhasabah menjadi begitu penting bagi setiap manusia? Hal ini karena dengan muhasabah maka kita akan mendapatkan sejumlah manfaat dalam meningkatkan kualitas diri kita sebagai seorang Muslim.
Pertama, penyempurnaan Ibadah. Melalui muhasabah yang dilakukan secara rutin, setiap dari kita akan dapat mengevaluasi kualitas dan kuantitas ibadahnya.
Dengan evaluasi ini, ia kemudian dapat mengidentifikasi dimana saja kekurangannya dalam beribadah sehingga darinya ia akan termotivasi untuk lebih giat beribadah, mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wata'ala, baik melalui ibadah yang fardhu maupun yang sunnah.
Kedua, penguatan kualitas Ketakwaan. Muhasabah akan membantu setiap dari kita dalam meningkatkan kesadaran meningkatkan ketakwaan terhadap Allah subhanahu wata'ala dengan menjalankan perintah-Nya sekaligus juga menjauhi setiap bentuk larangan-Nya.
Selanjutnya, ketika tingkat ketakwaan sudah diraih, maka setiap dari kita akan termasuk dalam golongan orang-orang yang beruntung dan mulia dalam pandangan Allah subhanahu wata'ala.
Ketiga, peningkatan kualitas diri. Proses muhasabah yang rutin akan memungkinkan seseorang untuk selalui mengevaluasi sikap dan perilakumua sehari-hari.
Dengan mengkritisi diri sendiri secara jujur, kita dapat mengidentifikasi sifat-sifat negatif dan kebiasaan buruk yang perlu jauhi dan hilangkan.
Selanjutnya, melalui proses muhasabah, seorang Muslim juga dapat memperkuat kesadaran diri untuk meningkatkan kualitas dirinya dengan menghiasinya dengan berbagai bentuk akhlak yang mulia.
Keempat, muhasabah diri akan menghadirkan manfaat tidak semata-mata untuk kepentingan seseorang dalam berkomunikasi dengan Tuhan-nya (hablun min Allah). Lebih dari itu, dengan kualitas ibadah yang baik, derajat ketakwaan yang meningkat, kualitas diri yang lebih baik, maka Muhasabah juga berdampak pada bagaimana setiap dari kita berkomunikasi dengan manusia dan alam sekitarnya (hablun minannas).
Seorang yang beribadah dengan ikhlas dan ketakwaan yang tinggi, dipastikan dirinya akan memiliki sifat dan perilaku yang mulia dalam kehidupan sosialnya, sehingga ia menjadi sebaik-baiknya manusia yakni yang paling bermanfaat untuk sesamanya.
Untuk itu, marilah kita melakukan muhasabah dan menjadikannya sebagai proses yang tak terpisahkan dari kehidupan kita sebagai Muslim. Dengan melakukan muhasabah secara rutin dan mendalam, kita dapat meningkatkan kualitas keimanan dan keislaman kita, serta mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wata'ala.
Semoga Allah subhanahu wata'ala senantiasa memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua untuk terus berusaha menjadi pribadi yang lebih baik di jalan-Nya.
Ma’asyiral Muslimin jamaah Jumat rahimakumullah. Demikian khutbah Jumat singkat ini. Semoga kita selalu bermuhasabah dalam keseharian kita, terutama bermusabah menjelang pergantian lembaran tahun 1445 Hijriyah menjadi 1446 Hijriyah sehingga kita menjadi hamba yang selalu taat kepada Allah subhanahu wata'ala dan meneladani manusia agung baginda Nabi Muhammad yang telah memberikan teladan penting bagi kita semua.
جَعَلَنا اللهُ وَإيَّاكم مِنَ الفَائِزِين الآمِنِين، وَأدْخَلَنَا وإِيَّاكم فِي زُمْرَةِ عِبَادِهِ المُؤْمِنِيْنَ : أعُوذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطانِ الرَّجِيمْ، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمانِ الرَّحِيمْ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا باَرَكَ اللهُ لِيْ وَلكمْ فِي القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيّاكُمْ بِالآياتِ وذِكْرِ الحَكِيْمِ. إنّهُ تَعاَلَى جَوّادٌ كَرِيْمٌ مَلِكٌ بَرٌّ رَؤُوْفٌ رَحِيْمٌ
Editor: Kastolani Marzuki