Wamenag Harap Ditjen Pesantren Diresmikan 22 Oktober Bertepatan Hari Santri 2025
JAKARTA, iNews.id - Wakil Menteri Agama, Romo Muhammad Syafii berharap pembentukan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pesantren yang diusulkan Kementerian Agama sudah bisa diresmikan bertepatan momentum peringatan Hari Santri 2025, 22 Oktober 2025 mendatang.
“Harapan kita, alangkah bahagianya kalau kemudian Ditjen Pesantren itu diwujudkan saat kita memperingati Hari Santri 22 Oktober nanti,” kata Wamenag dalam acara Dialog Media bertema “Pesantren dan Kehadiran Negara” di Antara Heritage, Jakarta, Kamis (25/9/25).
Menurut Wamenag, pembentukan Dirjen Pesantren memiliki sangat penting, baik dari aspek historis maupun sosiologis.
“Pesantren ada dan sudah berkontribusi pada masyarakat bahkan sejak sebelum Indonesia. Banyak pahlawan bangsa dari kalangan pesantren," ujarnya.
Pembentukan Ditjen Pesantren, kata dia, sangat penting untuk meningkatkan kualitas pesantren. “Jumlah pesantren di Indonesia mencapai lebih dari 42 ribu dengan hampir 11 juta santri. Angka ini sangat signifikan sehingga perlu kelembagaan yang lebih kuat untuk mengakomodasi kebutuhan pesantren,” katanya.
Dialog Media yang digelar Biro Humas dan Komunikasi Publik Kemenag dalam rangka peringatan Hari Santri ini mengusung tema “Pesantren dan Kehadiran Negara”. Hadir sebagai narasumber, Menteri Agama (2014-2019) Lukman Hakim Saifuddin, Direktur Pesantren Basnang Said, Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Komunikasi Publik Thobib Al Asyhar, dan insan media.
Romo Syafii menjelaskan, pesantren memiliki tiga fungsi utama: pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat. Namun hingga kini, yang paling menonjol baru fungsi pendidikan. Ia menilai negara perlu memperkuat peran pesantren sebagai basis dakwah moderat dan pemberdayaan masyarakat. Karena itu, menurutnya, menempatkan pesantren hanya di bawah direktorat pendidikan dianggap terlalu sempit.
“Pesantren adalah ibu kandung lahirnya Republik ini. Maka sudah seharusnya kita memperkuat kelembagaannya melalui Dirjen tersendiri,” ungkap Syafii.
Dia menambahkan, pembentukan Dirjen Pesantren sekaligus menjadi komitmen Kementerian Agama dalam mengembangkan pendidikan keagamaan dengan lebih baik, lebih terarah, dan lebih sesuai dengan kebutuhan zaman.
“Dengan kelembagaan yang kuat, pesantren diyakini tidak hanya akan berperan dalam pendidikan, tetapi juga menjadi motor dakwah moderat dan pemberdayaan masyarakat,” kata Romo.
Romo Syafii berharap, ke depan program-program afirmasi pemerintah seperti makan gratis dan cek kesehatan gratis bagi santri terus diperluas. Dengan penguatan kelembagaan, pesantren diyakini dapat berperan lebih besar dalam membangun bangsa melalui pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat.
Mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin (LHS) menegaskan, relevansi pembentukan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pesantren sebagai kebutuhan negara dalam menjaga moderasi beragama sekaligus mendukung kemandirian pesantren.
“Pesantren sejak dulu sudah menjalankan tiga fungsinya: pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat. Karena itu, pengakuan negara melalui undang-undang bukan hanya bentuk rekognisi, tapi juga proteksi terhadap eksistensi dan independensi pesantren,” ujar Lukman Hakim Saifuddin.
Menurutnya, negara berkepentingan memastikan pemahaman keagamaan mayoritas warganya tetap moderat. Salah satu dari tujuh ruhul pesantren adalah nasionalisme, sehingga kehadiran Ditjen Pesantren menjadi strategis untuk meneguhkan peran pesantren dalam menjaga keseimbangan.
“Tidak ada pesantren yang tidak nasionalis. Moderasi itu ada di tengah, dan negara berkepentingan untuk memastikan itu,” ujarnya.
Direktur Pesantren Basnang Said yang turut hadir dalam dialog tersebut menjelaskan, inisiasi pembentukan Ditjen Pesantren sudah dimulai sejak 2017.
“Sejumlah fraksi di DPR seperti PPP dan PKB mendorong lahirnya UU Pesantren. Namun sampai sekarang, Ditjen Pesantren belum terbentuk karena dianggap belum memenuhi syarat,” katanya.
Basnang menekankan bahwa pesantren sudah terbiasa hidup mandiri, termasuk dalam pengelolaan dapur dan penyediaan makanan santri.
Namun dukungan negara tetap dibutuhkan, misalnya melalui program Makan Bergizi Gratis (MBG), agar peran pesantren dalam pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat berjalan lebih optimal.
Baik Lukman maupun Basnang menegaskan, keberadaan Ditjen Pesantren bukan untuk mengurangi kemandirian pesantren, melainkan menghadirkan keseimbangan antara rekognisi, proteksi, dan fasilitasi negara. Dengan begitu, pesantren dapat semakin kokoh dalam berkontribusi bagi bangsa sekaligus memperkuat moderasi beragama.
Editor: Kastolani Marzuki