Dawuk, Ramuan Apik dan Epik dari Kehidupan Desa di Jawa
JAKARTA, iNews.id – Ada yang berbeda dari novel “Dawuk, Kisah Kelabu dari Rembuk Randu”. Selain menyajikan banyak hal yang diramu secara apik, tetapi juga memotret kehidupan masyarakat desa di Jawa.
Ini adalah novel yang menuturkan kisah dari sebuah desa di daerah Jawa. Tentang kehidupan seseorang yang bernasib malang sejak dilahirkan. Tragedi, kematian, dan kemiskinan sangat lekat dengan sosok utama di buku ini, yakni Muhammad Dawud. Nama yang indah untuk seorang bocah berwajah buruk rupa di sebuah desa Sumur Jeru.
Dawud bernasib malang sejak lahir karena sang ibu meninggal sesaat setelah melahirkannya ke dunia. Sementara sang bapak, semenjak itu langsung membencinya. Tumbuh tak terurus seperti itu, membuat Dawud hidup luntang-luntung. Beruntung, ada sang kakek yang tangannya terbuka untuk merawatnya sejenak. Ya, sejenak karena saat Dawud berumur lima tahun, sang kakek meninggal dunia. Itu kematian kedua di hidup Dawud.
Kematian ketiga menyusul ketika sang bapak yang membencinya dan hobi ke pelacuran, serta berjudi itu, mati konyol dengan terlindas bus antarkota. Sejak saat itu, Dawud hidup sebatang kara.
Bocah itu menjadi liar dan penyendiri, karena tak ada seorang teman pun yang berani dekat-dekat dengannya. Apalagi jika bukan karena rupa dan nasib buruknya? Bahkan karena dua hal itu, nama indah Muhammad Dawud diganti seenaknya oleh masyarakat sekitar menjadi Mat Dawuk.
Nama Mat Dawuk pun bahkan sampai ke desa Rumbuk Randu, karena pascameninggal sang kakek dan bapak, Dawuk kerap tidur di emperan desa Rumbuk Randu.
Singkat kisah, begitu tumbuh remaja, Mat Dawuk hijrah ke Malaysia sebagaimana orang-orang desa di daerah Jawa pada umumnya. Di sanalah ia bertemu seorang perempuan, primadona desa Rumbuk Randu bernama Inayatun. Di sinilah permulaan kisah roman antara seorang lelaki dan perempuan. Tak hanya ada tragedi, tetapi juga ada cinta.
Desa dan Mahfud Ikhwan memang tak dapat dipisahkan. Ia begitu lekat dengan kehidupan desa, bila dikulik dari karya-karya sebelumnya, seperti Ulid Tak Ingin ke Malaysia (2009), Kambing dan Hujan (2015), dan kumpulan cerita pendeknya Belajar Mencintai Kambing (2016).
Hewan berkaki empat, kambing sendiri pun juga menjadi ciri khas penulis kelahiran 1980 tersebut. Hal itu nampak dari dua karya sebelumnya dan Dawuk. Dawuk sendiri artinya tak jauh-jauh dari kambing. Dalam Dawuk Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu, Mahfud menuturkan kehidupan awal Mat Dawuk secara apik dan epik dengan pembukaan sebuah obrolan di warung kopi.
Narasi yang dibangunnya hidup, dialognya ringan seperti obrolan di warung kopi, sehingga suasana pun dapat dengan mudah dirasakan pembaca. Karakternya pun sangat kuat, sehingga ketika kita membaca Mat Dawuk atau Inayatun, seolah kita merasa mengenalnya begitu dekat, seperti tak ada jarak antara pembaca dan para tokoh.
Di buku ini pun, Mahfud tak hanya menyajikan kisah tragedi, kematian, dan roman-roman, tetapi juga mengajak pembaca kembali mengingat sejarah. Dawuk menjadi sebuah refleksi dari kehidupan sosial di sebuah desa di Jawa.
"Dibalut dengan humor, laga, dan dendang film India," demikian ditulis di cover belakang novel bergenre fiksi tersebut.
Editor: Tuty Ocktaviany