Kisah Srimulat, Pembela Wong Cilik dan Penghibur Masyarakat dari Panggung ke Panggung
JAKARTA, iNews.id - Jika mendengar nama Srimulat, yang terpikir adalah grup lawak legendaris Indonesia. Grup ini, tak lepas dari sosok Raden Ayu Srimulat, perempuan ningrat yang mendirikan Srimulat bersama suaminya, Teguh Slamet Rahardjo.
Menelisik dari perjalanan hidupnya, Raden Ayu Srimulat lahir pada 7 Mei 1908. Dia adalah putri bungsu dari pasangan bangsawan Raden Mas Aryo Tjitrosoma dan Raden Ayu Sedah. Semasa kecil, Srimulat yang keturunan bangsawan, sempat bersekolah di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), Sukoharjo, Jawa Tengah, dan Koningin Emma School di Solo.
Akan tetapi, tak sampai tuntas dalam mengenyam pendidikan, Srimulat diminta berhenti oleh ibu tirinya. Alasannya, putri ningrat dinilai tak perlu bersekolah tinggi-tinggi. Srimulat tak terima, kemudian merasa terpukul dan harus rela menjalani masa pingit seperti halnya putri-putri keraton.
Di usia yang terbilang muda, Srimulat dinikahkan oleh orang tuanya. Saat itu, baru menginjak 15 tahun, tapi dia harus menjalani hidup yang tidak mudah. Anaknya yang masih berusia 2,5 tahun meninggal dunia, disusul kepergian sang suami pertamanya. Kesedihan Srimulat makin bertambah melihat ayahnya mencari selir-selir baru.
Keadaan yang rumit, membuat Srimulat nekat kabur dari rumah. Berbekal uang seadanya, dia pergi ke Surakarta lalu ke Yogyakarta dan melamar kerja di seorang dalang kondang, Ki Tjermosugondo. Semenjak itu, dia menghibur masyarakat dari panggung ke panggung bersama dalang-dalang.
Srimulat tercatat pernah tergabung dalam Ketoprak Candra Ndedari pimpinan Ki Retsotruno, Ketoprak Mardi Utomo di Magelang, dan Rido Carito. Dari situlah dia terkenal di berbagai lapisan masyarakat, mulai dari kalangan atas, menengah, hingga ke bawah. Bahkan, sebagai seorang ningrat, Srimulat tak segan menari bersama penari-penari lokal di sejumlah daerah hingga tampil di perkawinan hingga pasar malam.
Menjadi pemain sandiwara panggung dan penyanyi dari kalangan ningrat, Srimulat terkenal dengan sikap idealis, berpendirian keras, dan mau menghibur serta membantu rakyat biasa.
Salah satu ceritanya yakni sT dia mati-matian membela seorang pesinden bernama Nyai Mas Sulandjari, yang berhasil memenangkan lomba kontes batik di Pasar Malam Amal Yogyakarta pada 1938. Kemenangan Sulandjari, waktu itu ditentang oleh para bangsawan Yogyakarta dan Surakarta, karena dia berhasil mengalahkan putri-putri ningrat.
Begitulah Srimulat, berawal dari panggung ke panggung, menghibur masyarakat secara langsung, sampai sempat masuk ke dapur rekaman dan bermain dalam film-film Tanah Air. Di antaranya saja seperti Sapu Tangan (1949), Bintang Surabaja (1951), Putri Sala (1953), Sebatang Kara (1954) dan Radja Karet dari Singapura (1956).
Kecintaannya akan dunia kesenian sampai akhir hayat. Sampai pada tahun 1968, Srimulat meninggal dunia di usia 60 tahun. Dia meninggalkan seorang suami, Kho Tjien Tiong atau Teguh Slamet Rahardjo yang dinikahinya tahun 1950.
Editor: Dyah Ayu Pamela