Mendengar Sastra Bicara di Musim Politik
JAKARTA, iNews.id - Seorang lelaki berdiri di atas panggung. Tangannya memegang buku dan membaca. Suaranya lantang membacakan salah satu cerita pendek dalam buku Orang-orang Bloomington karya maestro sastra Indonesia, Budi Darma.
Lelaki yang berdiri itu, mengisahkan tentang kisah dari cerpen Laki-laki Tua Tanpa Nama, yang mengisahkan tentang seorang perantau, dua nenek yang hidup sebatang kara, seorang lelaki tua tanpa nama, dan prasangka di sepanjang cerita.
Cerita itu dibunyikan secara lantang dengan pertunjukan drama teater terbatas oleh tiga orang yang berperan sebagai perantau, lelaki tua, dan dua orang nenek sekaligus dalam satu tubuh.
Pertunjukan itu berada dalam acara Menjadi Manusia dengan Sastra di Galeri Indonesia Kaya, Jakarta Pusat, Minggu (11/2) lalu.

Tampak pemandangan anak-anak muda memenuhi bangku di Auditorium tersebut. Mereka tampak asyik menyaksikan dramatical reading sambil beberapa di antaranya memegang buku.
Tak hanya dramatical reading, Menjadi Manusia dengan Sastra juga mengadakan diskusi sastra di tengah arus musim politik dan media sosial bersama sastrawan Indonesia Budi Darma dan Seno Gumira Ajidarma.

Belajar menjadi manusia dengan sastra, menjadi penting bagi kehidupan di setiap zaman. Bahkan kehidupan saat ini, di mana penggunaan media sosial tinggi, dan disebutkan penelitian jika minat baca masyarakat Indonesia rendah.
"Ya kalaupun belum mengenal sastra, kita tetap manusia. Tidak mungkin kita bukan manusia. Tetapi bahwasanya segala sesuatu termasuk manusia bisa mengembangkan diri," kata Budi Darma, pengarang Indonesia sejak akhir 1960-an hingga sekarang.
Proses pengembangan diri itu, sambung dia, bisa terasah melalui sastra.
"Kalau seseorang itu mengenali sastra, pengembangan dirinya lebih cepat, lebih matang," lanjut penulis Olenka tersebut.
Lalu mengapa sastra masih tampak asing bagi sebagian besar masyarakat Indonesia? Penulis Sepotong Senja untuk Pacarku Seno Gumira Ajidarma menyimpulkan ada tiga mitos sastra yang masih eksis.
"Tiga mitos sastra ini yang mesti dijauhkan. Pertama, sastra itu dianggap curhat, dan curhat itu nggak macho. Dua, bahwa bahasa sastra itu mendayu-dayu, canggih, rumit, dan tak kita kenal. Terakhir, bahwasanya sastra itu pedoman hidup. Wah, seram kan?" kata Seno menjabarkan.
Salah satu penulis yang berisik di masa Orde Baru dan masih aktif menulis sejak saat ini itu mengatakan, jika masih ada tiga mitos tersebut yang dipercaya, selamanya sastra akan berjarak.
Editor: Nanang Wijayanto