Mengenal RA Kartini lewat Kacamata Sastrawan
JAKARTA, iNews.id – Hari Kartini jatuh setiap 21 April. Kita pun kembali diingatkan tentang perjuangan pahlawan perempuan asal Jepara, RA Kartini untuk emansipasi wanita.
Melalui surat-surat protes dan tulisan-tulisan yang diterbitkan di majalah, Kartini membuka mata dunia, khususnya Eropa, tentang diskriminasi dan masalah sosial yang dialami kaum perempuan di Hindia Belanda, sekarang Indonesia.
Sebab, melalui surat-suratnya ia menyoroti berbagai permasalahan yang dialami perempuan pada masa itu. Seperti akses pendidikan, hingga hak dan status perempuan di Indonesia, khususnya tanah Jawa.
Tentunya untuk mengenal Kartini, tidak cukup hanya membaca biografi singkat di internet, tanpa membaca gagasan-gagasan dan pemikiran Kartini di era itu. Betapa penting kita kembali mengulik lagi gagasan Kartini melalui buku yang mengulas surat-surat Kartini.
Di setiap buku tentang Kartini serta surat-suratnya, ada peran sastrawan yang cukup besar di sana. Mengingat ratusan tulisan dan surat Kartini berbahasa Belanda. Inilah para sastrawan di balik buku-buku yang menjadi gerbang untuk mengenal Kartini beserta gagasannya.
Armijn Pane
Armijn Pane merupakan sastrawan era Pujangga Baru yang turut menerjemahkan surat-surat Kartini untuk dibukukan di "Habis Gelap Terbitlah Terang". Ada 87 surat Kartini dalam "Habis Gelap Terbitlah Terang" yang diterbitkan Armijn Pane dalam buku terbitan Balai Pustaka tersebut.
Selain buku yang berisi surat dan gagasan Kartini, Armijn juga menerbitkan karya sastra puisi, kumpulan cerita pendek, dan novel. Di antaranya kumpulan puisi Gamelan Djiwa (1960), kumpulan cerita pendek Kisah Antar Manusia (1952), dan novel Belenggu (1940).
Sulastin Sutrisno
Selain Armijn Pane, surat-surat Kartini juga diterjemahkan oleh sastrawan perempuan Sulastin Sutrisno. Surat-surat yang diterjemahkan Sulastin kemudian dibukukan di buku "Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya". Ia menerbitkan terjemahan surat-surat perempuan asal Jepara tersebut dari "Door Duisternis Tot Licht" di 1979.
Selain menerbitkan buku penting tentang gagasan dan surat-surat Kartini, Sulastin juga pernah menerbitkan karya-karya lain, seperti “Panji: Citra Pahlawan Nusantara” (1987), “Hikayat Hang Tuah: Analisa Struktur dan Fungsi” (1983), dan “Bahasa, Sastra, Budaya” (1985).
Pramoedya Ananta Toer
Berbeda dengan Armijn Pane dan Sulastin Sutrisno yang menerjemahkan dan menerbitkan surat-surat Kartini dari "Door Duisternis Tot Licht", Pramoedya Ananta Toer justru mengangkat dan mengulas tentang gagasan pemikiran Kartini lewat buku "Panggil Aku Kartini Saja". Buku terbitan tahun 2003 tak hanya mengangkat surat dan biografi Kartini, tetapi juga mengulasnya sebagai analisa dari berbagai data kolektif.
"Kami berhak untuk tidak menjadi bodoh," demikian sepenggal kalimat Kartini dalam buku "Panggil Aku Kartini Saja" dari Pramoedya Ananta Toer. Sebelumnya, Pram juga membuat karya-karya sastra penting bagi bangsa, di antaranya “Perburuan” (1950), “Keluarga Gerilya” (1950), “Bukan Pasar Malam” (1951), “Gadis Pantai” (1962), “Arus Balik” (1995), dan “Tetralogi Buru” (1980-1988).
Editor: Ranto Rajagukguk