Potret Industri Fashion Tanah Air, Masih Jalan di Tempat atau Sudah Berlari?
JAKARTA, iNews.id – Potret industri fashion di Tanah Air masih menjadi pertanyaan besar di hati kecil para desainer, khususnya mereka yang pemula. Apakah kini industri fashion di Indonesia sudah berkembang seperti di luar negeri, atau justru malah masih jalan di tempat.
Jika mengacu pada jumlah penduduk Indonesia yang kini sebesar 273,8 juta harusnya industri fashion berkembang. Bagaimana tidak, selain populasi orang yang besar, masyarakat di Indonesia sangat terkenal dengan beragam kegiatan yang menonjolkan fashion.
Budaya Indonesia yang kental dengan pesta-pesta atau kumpul-kumpul membuat kebutuhan fashion otomatis berkembang. Hal itu diamini oleh penulis dan pengamat fashion Syahmedi Dean, yang mengatakan orang Indonesia membutuhkan banyak busana untuk beragam kegiatan.
“Indonesia dikenal dengan pesta perayaan pernikahan, Lebaran, sunatan, atau kumpul bersama keluarga dan kerabat. Semua kegiatan itu membutuhkan baju baru. Bayangkan jika itu terjadi setiap tahun, maka banyak orang membutuhkan baju baru,” kata Syahmedi Dean dalam diskusi bersama LAKON Indonesia dengan tema Generasi Baru dalam Industri Fashion Indonesia, belum lama ini.
Sedikit berbeda dengan Syahmedi Deas, Thresia Mareta Founder of LAKON Indonesia, justru melihat perkembangan industri masih jalan di tempat. Jika dibandingkan dengan industri fashion di Paris, menurut Thresia, Indonesia masih jalan di tempat selama 20 tahun. Namun bukan berarti tak bisa maju atau berlari, hanya industri fashion Indonesia membutuhkan dukungan dari berbagai pihak.
“Industri fashion tak bisa jalan sendiri. Harus ada dukungan dari berbagai pihak. Baik itu pemerintah, desainernya sendiri, hingga masyarakat Indonesia yang harus mencintai produk dalam negeri,” kata Thresia.
Butuh Dukungan
Kurangnya kecintaan orang Indonesia pada budaya fashion sendiri bahkan diakui oleh desainer asal Amerika Latin, Jesus Cedeno. Sebagai desainer, Jesus bahkan rela datang ke Yogyakarta demi mempelajari batik. Sayangnya di Indonesia batik belum sepenuhnya dihargai.
“Orang di Venezuela suka sekali dengan batik, karena itu adalah kain yang dibuat dengan proses alami. Karena itulah sejak 2014 saya belajar batik di sini,” kata Jesus.
Di mata Jesus, salah satu masalah industri fashion di Indonesia kurang berkembang karena kurangnya dukungan. Dia menilai, seandainya desainer diberikan dukungan penuh pasti bisa berkembang tak kalah dengan negara lainnya.
Pandangan Jesus pun dibenarkan oleh desainer Hartono Gan yang sudah bertahan di industri fashion lebih dari 10 tahun. Hartono mengatakan kunci bertahan di industri fashion adalah menguatkan produk. Dia mengakui zaman sekarang industri dipenuhi dengan tantangan. Namun jika si desainer memiliki ciri khas, dijamin bisa bertahan dengan berbagai gempuran.
“Pada akhirnya produk fashion si desainer yang berbicara. Asal bisa bertahan selama 10 tahun lebih, saya yakin desainer itu kelak akan menjadi ikon,” tutup Hartono Gan.
Editor: Elvira Anna