Waspadai Hepatitis B dan Hepatitis C yang Sebabkan Sirosis hingga Kanker Hati
JAKARTA, iNews.id - Adanya virus corona baru (Covid-19) yang menjadi sorotan saat ini, jangan sampai membuat lupa atau mengesampingkan penyakit menular lain yang tak kalah berbahaya. Di antaranya penyakit hepatitis B dan C yang menular, serta menyebabkan komplikasi berbahaya.
Di Hari Hepatitis Sedunia yang diperingati setiap 28 Juli ini, Kementerian Kesehatan kembali mengingatkan tentang bahaya hepatitis B dan C yang masih menjadi endemis di Indonesia.
“Hepatitis adalah peradangan hati yang bisa berkembang menjadi fibrosis, sirosis atau kanker hati. Hepatitis disebabkan oleh berbagai faktor seperti infeksi virus, zat beracun, misalnya alkohol, obat-obatan tertentu, serta penyakit autoimun,” kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung, Kemenkes RI, dr Wiendra Waworuntu, MKes, dalam Webinar Hari Hepatitis Sedunia 2020, Selasa (28/7/2020).
Berdasarkan riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2013, prevalensi hepatitis B di Indonesia mencapai 7,1 persen. Artinya, sekira 18 juta penduduk terinfeksi hepatitis B dan sembilan juta atau 50 persen berpotensi berkembang menjadi kronis.
“Sebanyak 900 ribu bisa berlanjut menjadi sirosis dan kanker hati,” kata dr Wiendra.
Berikutnya, kasus hepatitis C di Indonesia cenderung lebih sedikit dibandingkan hepatitis B, yakni 1,01 persen. Meski kecil, dua penyakit menular tersebut berpotensi menjadi kronis dan menyebabkan sirosis, kanker hati, hingga kematian.
Hal itu diungkapkan Dokter Spesialis Penyakit Dalam dr Irsan Hasan, SpPD-KGEH, yang menerangkan bahwa kedua penyakit itu rata-rata tidak menimbulkan gejala.
"Sembilan dari 10 pengidap tidak sadar memiliki hepatitis B, tetapi satu dari empat pengidap akan meninggal dunia karena kanker atau gagal hati,” ujarnya.
Adapun jika hepatitis B bergejala di antaranya mata kuning, muntah darah, penurunan kesadaran, asites, hingga hepatoma atau kanker hati. “Gejala muncul biasanya kalau sudah sirosis atau sudah kanker hati, bahkan itu pun butuh waktu dan mucul setelah sudah berat,” kata dia.
Oleh sebab itu, hal yang penting dalam menangani hepatitis B dan C adalah mendeteksi dini orang-orang yang tidak menyadari bahwa dia mempunyai virus itu dalam tubuhnya. Jika hepatitis B mempunyai vaksin untuk pencegahan, hepatitis C tidak ada vaksin tetapi dapat sembuh.
“Untuk hepatitis C ada Direct Acting Antivirals (DAA) sebagai terapi yang menyebabkan 90 persen lebih pasien dapat sembuh. Tetapi sekali lagi kebanyakan kasus, pengidap hepatitis C tidak sadar, sehingga yang diobati lebih sedikit,” ucap dia.
“Sehingga yang harus dilakukan adalah temukan jutaan orang yang sakit (mengidap) hepatitis B dan hambat progresi penyakitnya. Kemudian untuk hepatitis C, temukan pengidapnya dan sembuhkan,” ucapnya.
Editor: Tuty Ocktaviany