JAKARTA, iNews.id - Dalam setiap peringatan Hari Buruh Internasional (May Day), mereka membawa aspirasi untuk hidup lebih sejahtera. Tiap tahunnya, buruh membawa keluhan mengenai tolak upah murah.
Pemerintah pun dituntut menjadi penengah antara buruh dan pengusaha agar memberi kebijakan yang adil. Pemerintah diminta menjadikan Hari Buruh Internasional sebagai momentum perbaikan nasib para pekerja, aspirasi yang selama ini disampaikan diharapkan dapat dipenuhi.
Walaupun tidak semua aspirasi dapat diwujudkan sekaligus, setidaknya ada upaya perbaikan yang jelas dari tahun ke tahun.
Aspirasi para buruh dan pekerja sangat banyak dan kompleks, seiring dengan persoalan kehidupan yang mereka hadapi. Persoalan itu mulai dari upah minimum, pembatasan jam kerja, lembur, jaminan sosial dan lain-lain. Semua itu mustahil bisa terwujud tanpa campur tangan pemerintah.
Hampir tiap tahun pada 1 Mei, para buruh membawa tuntutan mereka seperti penghapusan outsourcing yang terus-menerus digemakan. Inilah kemudian yang menjadi sumber konflik dan membuat sejumlah perselisihan antara buruh dan pengusaha.
Pada 2016, buruh menolak upah murah, stop kriminalisasi buruh, hingga stop PHK. Pada 2017, tuntutan mereka adalah hapus outsourcing dan sistem magang, jaminan sosial pekerja, serta tolak upah murah.
Sementara pada tahun ini, mereka menuntut pemerintah tolak upah murah dan tolak Tenaga Kerja Asing (TKA).
Keterlibatan negara dalam konflik antara buruh dan pemilik modal sangat diperlukan, terutama guna menata peraturan serta regulasi untuk menekan masalah perburuhan. Tidak hanya sebagai sumber yang mengatur regulasi tentang perburuhan, tapi juga sebagai payung yang melindungi keberadaan buruh.
Video Editor: Khoirul Anfal
Editor: Dani M Dahwilani