Get iNews App with new looks!
inews
Advertisement
Aa Text
Share:
Read Next : Fasilitas Nuklir Rahasia Diserang Israel, Iran: Tak Mungkin Tanpa Bantuan IAEA!
Advertisement . Scroll to see content

40 Tahun Pascarevolusi, Eks Presiden Iran Kritik Ayatollah Khamenei

Selasa, 12 Februari 2019 - 11:48:00 WIB
40 Tahun Pascarevolusi, Eks Presiden Iran Kritik Ayatollah Khamenei
Mantan Presiden Iran Abolhassan Bani Sadr berbicara di Paris, Perancis, 31 Januari 2019. (Foto: Reuters)
Advertisement . Scroll to see content

TEHERAN, iNews.id - Empat puluh tahun berlalu sejak Revolusi Islam Iran, di mana pemerintah Shah Mohammad Reza Pahlevi yang didukung Amerika Serikat (AS) runtuh. Tak lama kemudian, lahir Republik Islam Iran.

Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ruhollah Khamenei juga kembali ke Iran setelah 14 tahun mengasingkan diri di Prancis.

Presiden terpilih pertama Iran, yang kemudian digulingkan oleh Khamenei, baru-baru ini mengatakan kepada VOA bahwa dia dan banyak pihak yang dulu melakukan revolusi merasa dikhianati oleh Khamenei.

Bagi mereka yang ingat Revolusi Islam Iran pada 1979, saat-saat ketika pesawat Ayatollah Khamenei tiba di Teheran dari Paris, adalah saat ketika rezim monarki lama Syah Mohammed Reza Pahlevi runtuh, dan memberi jalan berdirinya Republik Islam Iran yang baru.

Abolhassan Bani Sadr, yang menjadi presiden terpilih pertama Iran tak lama setelah revolusi itu, ikut berada dalam penerbangan bersejarah dari Paris ke Teheran. Dia menyampaikan kepada VOA bagaimana perasaannya ketika pesawat itu mendarat di bandara Mehrabad, Teheran.

Abolhassan Bani Sadr mengaku sangat berharap dan hampir sepenuhnya yakin bahwa tujuan dan prinsip-prinsip revolusi yang digagas oleh Ayatollah Khamenei akan tercapai, dan dia akan menjadi benteng bagi seluruh kekuatan yang berupaya mengembalikan negara itu ke masa lalu.

Bani Sadr Tak Pernah Mengira Khamenei Akan Berbohong

Namun, Bani Sadr tak pernah mengira Khamenei akan berbohong. Dilaporkan VOA, Selasa (12/2/2019), saat ditanya apakah terkejut dengan perubahan yang terjadi ketika Khamenei mulai menunjukkan kecenderungan menciptakan rezim otoriter berdasarkan Islam Syiah; Bani Sadr mengatakan tidak pernah terpikirkan sebelumnya bahwa pemimpin keagamaan itu akan berbohong kepada rakyat.

Bani Sadr mengatakan dia hampir yakin bahwa pemimpin keagamaan itu tidak akan berbohong dan tidak berhasrat duduk di kekuasaan karena berdasarkan sejarah, peran pemimpin keagamaan di Iran adalah untuk mengkritisi mereka yang duduk di kekuasaan, terutama diktator.

Jadi, tutur Bani Sadr, dia tidak membayangkan akan terbentuknya kediktatoran baru sebagaimana yang terjadi di Prancis atau Rusia di mana terbentuk kediktatoran pasca revolusi.

Bani Sadr mengenang kembali bagaimana pasca revolusi itu dia dipilih sebagai presiden oleh mayoritas rakyat. Namun, Khamenei mengatakan kepada tim-nya bahwa sekalipun 35 juta orang dari 38 juta jumlah penduduk Iran tahun 1979 itu mengatakan 'ya' untuk suatu hal, dia akan mengatakan tidak.

Perang Iran-Irak Ubah Konstelasi Politik di Iran

Beberapa bulan menjelang revolusi, setelah rancangan konstitusi baru Iran disetujui, Bani Sadr mengatakan dia dan para pendukungnya baru menyadari Khamenei tidak akan menyerahkan kekuasaan kepada rakyat, melainkan berupaya menggunakannya demi kepentingannya.
Kesadaran itu muncul setelah Khamenei membentuk “Dewan Pakar” baru untuk meratifikasi keputusan-keputusan pejabat-pejabat terpilih.

Bani Sadr menilai Ayatollah Khamenei sebenarnya tidak akan pernah dapat merebut kekuasaan dan menggulingkan dirinya sebagai presiden seandainya tidak terjadi Perang Iran-Irak pada 1980-1988.

Tak Ada yang Menyangka Shah Reza Pahlevi Dapat Digulingkan

Mehrdad Khonsari, yang menjabat sebagai atase pers di Kedutaan Iran di Washington DC saat Shah Reza Pahlevi digulingkan mengatakan kepada VOA, dirinta tak pernah membayangkan bahwa sebuah revolusi akan berhasil menggulingkan Shah.

"Saya tidak melihat rezim itu akan runtuh atau bahkan skenario di mana Shah Reza Pahlevi akan meninggalkan negara itu. Saya juga tidak membayangkan bahwa Republik Islam Iran yang baru akan bertahan selama 40 tahun sebelum ada semacam rasa lega atau kebebasan di antara kita. Hal yang memang sejauh ini belum kunjung terjadi,” ujarnya.

Dalam pandangannya, dampak Revolusi Islam Iran 1979 dapat dijelaskan secara sederhana lewat sebuah undang-undang yang dibuat parlemen Iran baru-baru ini tentang devaluasi.

"Dolar Amerika hari ini bernilai 2.000 kali lebih banyak dibanding 40 tahun lalu. Singkatnya, inilah kisah dan penderitaan rakyat Iran saat ini akibat menyerahkan diri pada tatanan politik baru yang tidak mereka pahami," tambah Mehrdad.

Mehrdad Khonsari menambahkan dampak negatif revolusi terakhir 1979 itu membuat rakyat Iran 'khawatir untuk memilih sesuatu yang baru.'

Peringatan Revolusi Islam Iran Kembali Kecam AS

Pada peringatan 40 tahun Revolusi Islam Iran 11 Februari kemarin, Presiden Iran Hassan Rouhani dalam sebuah rapat umum mengatakan musuh-musuh negara itu tidak akan mencapai apa yang disebutnya sebagai "tujuan jahat".

Kerumunan itu juga meneriakkan "Matilah Amerika" dan "Mati lah Israel."

Tahun lalu, AS menarik diri dari perjanjian nuklir yang disepakati dengan lima negara adidaya lainnya dan Iran, yang membatasi program nuklir negara itu dan kembali memberlakukan sanksi-sanksi ekonomi yang tegas.

Editor: Nathania Riris Michico

Follow WhatsApp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut