AS Siap Kirim Bantuan Militer ke Ukraina Senilai Rp9 Triliun, Ada 4 HIMARS
WASHINGTON, iNews.id - Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden menjanjikan paket bantuan keamanan baru senilai 625 juta Dolar AS atau sekitar Rp9 triliun ke Ukraina. Pemberian bantuan semacam ini menurut Moskow berisiko bentrokan militer langsung antara Rusia dan Barat.
Paket bantuan militer ini disampaikan Biden dalam panggilan telepon dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky dan Wakil Presiden Kamala Harris.
"Joe Biden menggarisbawahi bahwa Washington tidak akan pernah mengakui pencaplokan wilayah Ukraina oleh Rusia," kata Gedung Putih dalam sebuah pernyataan, Selasa (4/10/2022).
Biden juga berjanji untuk terus mendukung Ukraina untuk mempertahankan diri dari agresi Rusia selama yang diperlukan.
Pengumuman ini akan menandai bantuan keamanan AS senilai lebih dari 16,8 miliar dolar AS sejak Rusia menginvasi Ukraina pada 24 Februari.
Departemen Luar Negeri AS mengatakan dalam rilisnya, paket itu mencakup empat Peluncur Sistem Roket Artileri Mobilitas Tinggi (HIMARS) dan roket terkait, 32 Howitzer dengan 75.000 butir amunisi, 200 kendaraan yang Dilindungi Ambush Tahan Ranjau (MRAP), dan ranjau anti-personil Claymore.
HIMARS digunakan dalam serangan balasan Ukraina yang sukses dan memaksa pasukan Rusia mundur.
Paket bantuan tersebut merupakan yang pertama sejak pencaplokan terbaru Rusia atas wilayah Ukraina dan Otoritas Penarikan Presiden (PDA) kedua sejak kemenangan besar Ukraina pada pertengahan September.
Sementara itu, dalam tanggapan yang tegas, utusan Rusia untuk AS memperingatkan bahwa tawaran Biden memicu bahaya bentrokan militer langsung antara Rusia dan Barat.
Di aplikasi perpesanan Telegram, Duta Besar Anatoly Antonov mendesak Washington untuk menghentikan 'tindakan provokatif' yang dapat menyebabkan konsekuensi serius.
"Kami menganggap ini sebagai ancaman langsung terhadap kepentingan strategis negara kami," katanya.
Rusia pada pekan lalu mengumumkan aneksasi pasca-referendum di wilayah-wilayah pendudukan di Ukraina. Sementara pemerintah Barat dan Kiev mengatakan, pemungutan suara itu melanggar hukum internasional, bersifat memaksa dan tidak representatif.
Editor: Umaya Khusniah