KONFLIK yang sudah mendarah daging antara China dan Taiwan terus menjadi isu sentral dalam keamanan kawasan Pasifik. Perseteruan kedua negara yang dimulai sejak kaum komunis berhasil menguasai China daratan, lebih dari tujuh dekade silam itu, kini makin meruncing.
Tekanan politik dan militer yang diberikan Beijing terhadap Taipei pun kian menjadi-jadi. Sepanjang tahun ini, serangan yang dilakukan Angkatan Udara China ke Zona Identifikasi Pertahanan Udara (ADIZ) Taiwan makin intensif, sehingga memicu kemarahan Taipei.
Menhan Belousov: Rusia Harus Bersiap Uji Senjata Nuklir Skala Penuh untuk Merespons AS
Menurut data yang dihimpun Kementerian Pertahanan Taiwan, ada total 877 serbuan oleh armada Angkatan Udara China di ADIZ Taiwan sepanjang periode Januari–November 2021. Ratusan serbuan itu melibatkan 1.023 pesawat dan helikopter militer.
Perinciannya, 524 di antaranya berupa jet tempur, 213 pesawat antikapal selam, 155 pesawat angkut personel, 61 pesawat pengebom (termasuk pengebom nuklir), 42 pesawat pengintai, 21 pesawat peperangan elektronik, dan 7 helikopter militer.
Taiwan Tak Gentar Wilayah Udaranya Diteror Pesawat Tempur China: Kami Bisa Membalas!
Masih menurut sumber data yang sama, intensitas serbuan China di ADIZ Taiwan juga mencapai rekor tertingginya pada tahun ini. Puncaknya terjadi pada Oktober lalu, ketika China melancarkan 196 serbuan.
China selalu menganggap Taiwan sebagai provinsi yang memisahkan diri dari Tiongkok. Beijing juga bersumpah untuk “mempersatukan kembali” Taiwan di bawah “Satu China”, bahkan dengan kekerasan bila perlu.
Taiwan Akhirnya Buka Kantor Kedutaan di Lithuania, Abaikan Tekanan China
Taipei menuding Beijing berusaha melemahkan militernya dengan terus mengerahkan pesawat tempur ke ADIZ Taiwan. Menteri Pertahanan Taiwan, Chiu Kuo Cheng mengatakan, militernya masih mampu merespons setiap gangguan China yang terbang ke ADIZ Taiwan di dekat Kepulauan Pratas.
Seperti pada 28 November lalu, Taiwan merespons serbuan udara China dengan mengerahkan jet tempur guna memberikan peringatan, di samping mengaktifkan sistem rudal untuk melacak pergerakan pesawat-pesawat Beijing tersebut.
Taiwan: Kami Tidak Akan Memulai Perang dengan China, tapi...
Pembaruan armada tempur
Taiwan Siap Pertahankan Diri dari Ancaman China
Ancaman China mendorong Taiwan terus membenahi alat utama sistem persenjataannya (alutsista). Presiden Taiwan, Tsai Ing Wen mengatakan, pihaknya telah memperbarui teknologi skuadron jet tempur F-16 ke versi yang paling canggih, yaitu F-16V.
Menurut dia, proyek upgrading alutsista tersebut menunjukkan komitmen kuat dari kemitraan Taiwan dan Amerika Serikat. Pembaruan teknologi pesawat tempur dengan bantuan AS itu bertujuan untuk meningkatkan pertahanan Taiwan, menyusul meningkatnya ketegangan antara Taipei dan Beijing.
Amerika Serikat memang tidak memiliki hubungan diplomatik resmi dengan Taiwan. Kendati demikian, negeri Paman Sam menjadi pendukung internasional utama dan pemasok senjata bagi negara pulau itu. Kedekatan hubungan AS-Taiwan itu acap kali membuat marah China.
Proyek ugrade F-16 Taiwan senilai 3,96 miliar dolar AS (Rp56,3 triliun) itu dipimpin oleh pabrikan Lockheed Martin Corp dan Aerospace Industrial Development Corp (AIDC) Taiwan. Proyek tersebut menjadi contoh terbaru kerja sama militer antara Washington DC dan Taipei.
Dalam proyek itu, ada 141 jet tempur F-16A/B milik Taiwan yang ditingkatkan menjadi tipe F-16V. Sebanyak 64 unit di antaranya telah selesai diperbarui. Selain itu, Taiwan juga telah memesan 66 unit F-16V baru—yang memiliki sistem avionik, senjata, dan radar baru yang mampu mengungguli pesawat Angkatan Udara China, termasuk pesawat tempur siluman J-20.
F-16V dapat membawa rudal udara-ke-udara AIM-9X Sidewinder canggih milik Raytheon Technologies Corp. Tsai mengatakan, semakin banyak F-16V yang masuk dalam layanan militer Taiwan, pertahanan negara pulau itu akan menjadi lebih kuat.
AS dan Sekutu pasang badan
Presiden AS Joe Biden pada Oktober lalu membuat gempar dengan mengatakan negaranya akan membela Taiwan jika China menyerang negara pulau itu. Sebulan sesudahnya, giliran Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, mengeluarkan pernyataan senada.
Dalam sebuah forum yang diselenggarakan oleh surat kabar The New York Times, November lalu, Blinken mengatakan Amerika Serikat dan para sekutunya bakal bertindak jika China berani menyerang Taiwan. Akan tetapi, Blinken tidak menjelaskan lebih perinci tindakan seperti apa yang dia maksud bakal diambil AS jika serangan dari Beijing itu betul-betul terjadi.

Komitmen Washington DC untuk melindungi Taiwan itu juga diamini para sekutu AS. Salah satunya Australia, yang menyatakan bakal ikut bergabung dengan AS mengambil langkah yang diperlukan jika Taiwan diserang China di kemudian hari.
Menteri Pertahanan Australia, Peter Dutton mengatakan, tidak bisa dibayangkan bila negaranya tak ikut bergabung dengan AS pada saat-saat situasi semacam itu.
“Tidak terbayangkan jika kami tidak akan mendukung AS dalam suatu tindakan, jika AS memilih untuk mengambil tindakan itu,” kata Dutton kepada surat kabar The Australian dalam sebuah wawancara, Sabtu (13/11/2021).
“Dan, sekali lagi, saya pikir kita harus sangat jujur dan jujur tentang itu, melihat semua fakta dan keadaan tanpa melakukan prakomitmen. Dan bisa saja kami (Australia) tidak akan mengambil opsi (membantu AS) itu, (tetapi) saya tidak bisa membayangkan keadaan yang seperti itu,” ujarnya.
Mantan Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe, juga memberikan peringatan yang sama untuk China. Menrutu dia, Jepang dan AS tidak akan tinggal diam jika China nekat menyerang Taiwan.
“Keadaan darurat Taiwan juga dirasakan Jepang dan aliansi Jepang-AS. Orang-orang di Beijing, khususnya Presiden Xi, seharusnya tidak pernah salah paham dalam mengakui hal ini,” kata Abe saat berbicara secara virtual kepada forum yang diselenggarakan oleh lembaga think tank Taiwan, Institut Penelitian Kebijakan Nasional, awal Desember ini.
Ketegangan diplomatik
Eskalasi perseteruan China-Taiwan sepanjang tahun ini tidak hanya berlangsung di ranah militer, melainkan juga merembet ke tataran diplomatik Beijing dengan negara-negara lain.
China menurunkan hubungan diplomatik dengan Lithuania pada 21 November 2021. Langkah itu sebagai bentuk ketidakpuasan Beijing terhadap Lithuania karena mengizinkan Taiwan membuka kantor kedutaan de facto di negara Baltik itu.
Taiwan secara resmi membuka kantor kedutaan de facto di Lithuania pada 18 November 2021. Langkah tersebut menjadi terobosan diplomatik sendiri bagi Taipei.
Pada Agustus lalu, China sudah meminta Lithuania agar menarik duta besarnya di Beijing. Begitu pula sebaliknya, China mengatakan akan memanggil pulang dubesnya di Vilnius (ibu kota Lithuania) setelah Taiwan mengumumkan pembukaan kantor diplomatiknya di kota itu.

Kantor kedutaan de facto yang dibuka Taipei di Vilnius memiliki nama resmi “Kantor Perwakilan Taiwan di Lithuania”. Sementara, di negara-negara lainnya di Eropa dan AS, kantor perwakilan Taiwan hanya menggunakan nama Kota “Taipei”.
China kerap mewanti-wanti dunia agar tidak mengakui Taiwan sebagai negara merdeka. Penggunaan kata “Taiwan” pada nama kantor perwakilan di Vilnius, dipandang China sebagai bentuk pengakuan Lithuania terhadap kedaulatan negara pulau itu.
China juga meningkatkan tekanan untuk membuat negara lain membatasi interaksi mereka dengan Taiwan, atau memutuskan hubungannya sama sekali. Saat ini, hanya 15 negara yang memiliki hubungan diplomatik formal dengan Taiwan.
Pada 1 Desember, Kementerian Luar Negeri (Kemlu) China memanggil Duta Besar Jepang di Beijing, Shui Hideo. Pemanggilan itu menyusul pernyataan mantan PM Shinzo Abe yang menyebut Jepang dan Amerika Serikat tidak akan tinggal diam jika Taiwan diserang China.
Menurut Kemlu China, pernyataan Abe itu menantang kedaulatan Tiongkok dan melanggar norma dasar hubungan kedua negara.
Editor: Ahmad Islamy Jamil
- Sumatra
- Jawa
- Kalimantan
- Sulawesi
- Papua
- Kepulauan Nusa Tenggara
- Kepulauan Maluku