Data WHO: Virus Nipah Hanya Menginfeksi 600 Orang dalam 17 Tahun
JENEWA, iNews.id – Laporan yang beredar baru-baru ini menyebut virus nipah berpotensi menjadi pandemi global berikutnya. Akan tetapi, data Badan Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan, virus itu hanya menginfeksi 600 orang dalam 17 tahun.
Virus nipah pertama kali diidentifikasi ketika munculnya wabah di Malaysia pada 1998. Virus itu menginfeksi sekitar 600 orang antara 1998 dan 2015, menurut WHO.
Sementara itu, virus corona atau Covid-19 menginfeksi lebih dari 100 juta orang di seluruh dunia dalam waktu setahun. Sampai hari ini, lebih dari 2 juta orang meninggal akibat virus itu sejak pertama kali muncul di Wuhan, China, pada 2019.
Sejumlah pejabat kesehatan pun memperingatkan, jumlah kasus Covid yang dikonfirmasi hanya sebagian kecil dari jumlah infeksi sebenarnya di seluruh dunia.
WHO mendefinisikan pandemi sebagai “epidemi yang terjadi di seluruh dunia, atau di wilayah yang sangat luas, melintasi batas internasional dan biasanya memengaruhi banyak orang”.
Virus nipah tergolong zoonosis, yakni penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia. Virus itu menyebabkan berbagai penyakit mulai dari infeksi tanpa gejala hingga penyakit pernapasan akut dan ensefalitis yang fatal, menurut WHO. Wabah besar virus itu disebabkan penularan dari kelelawar dan babi.
WHO menyatakan, pada 2018, virus nipah sempat menjadi masalah kesehatan masyarakat karena menginfeksi berbagai hewan dan menyebabkan penyakit parah dan kematian pada manusia. “Namun, virus nipah hanya menyebabkan beberapa wabah yang diketahui di Asia,” ungkap badan PBB itu, dikutip dari Alarabiyah, Selasa (2/2/2021).
Negara-negara yang pernah terkena dampak virus nipah di masa lalu antara lain Malaysia, Singapura, Bangladesh, dan India. Sementara, negara lain yang diidentifikasi WHO memiliki kemungkinan risiko terinfeksi antara lain Kamboja, Ghana, Indonesia, Madagaskar, Filipina, dan Thailand.
“Orang yang terinfeksi awalnya mengalami gejala termasuk demam, sakit kepala, mialgia (nyeri otot), muntah dan sakit tenggorokan. Gejala ini bisa diikuti oleh pusing, mengantuk, kesadaran yang berubah, dan tanda-tanda neurologis yang mengindikasikan ensefalitis akut,” kata WHO dalam sebuah laporan.
“Tingkat kematian kasus (nipah) diperkirakan 40 persen hingga 75 persen. Angka ini dapat bervariasi berdasarkan wabah tergantung pada kemampuan lokal untuk pengawasan epidemiologi dan manajemen klinis,” ungkap lembaga itu menambahkan.
WHO menempatkan virus nipah sebagai salah satu penyakit prioritas untuk penelitian dan pengembangan dalam konteks darurat kesehatan masyarakat. Namun, data WHO sejauh ini tidak menunjukkan adanya kemungkinan besar virus itu menjadi penyebab epidemi berikutnya.
Sebelumnya, sebuah LSM yang didanai oleh pemerintah Inggris dan Belanda, Access to Medicine Foundation, menyebut dalam laporan mereka pada 26 Januari bahwa belum ada obat atau vaksin untuk pengobatan orang terinfeksi virus nipah. LSM itu pun menggambarkan virus nipah sebagai “risiko pandemi” berikutnya setelah Covid-19.
Direktur eksekutif LSM, Jayasree K Iyer, yang dikutip oleh The Guardian mengatakan, virus nipah bisa meledak kapan saja. “Pandemi berikutnya ini bisa menjadi infeksi yang kebal obat,” ujarnya.
Pada Minggu (31/1/2021) lalu, konsultan penyakit menular asal Yordania, Dirar Balawi, mengatakan tidak perlu panik atas virus nipah.
Editor: Ahmad Islamy Jamil