Diplomasi Rudal, Kim Jong Un Pamer Senjata Nuklir Baru untuk Rayu Rusia dan China?

SEOUL, iNews.id - Parade militer megah Korea Utara di Pyongyang pada Jumat pekan lalu bukan sekadar unjuk kekuatan. Di balik dentuman kendaraan lapis baja dan kilauan rudal nuklir Hwasong-20 yang disebut paling canggih, tersembunyi pesan diplomatik yang jelas, Pemimpin Kim Jong Un sedang merayu sekutu lamanya, Rusia dan China.
Acara tersebut digelar untuk memperingati 80 tahun berdirinya Partai Pekerja dan dihadiri langsung oleh tamu kehormatan dari dua kekuatan besar dunia, yakni Perdana Menteri China Li Qiang dan mantan Presiden Rusia Dmitry Medvedev yang kini menjabat Wakil Kepala Dewan Keamanan Nasional Rusia.
Kehadiran dua tokoh itu menjadikan parade ini bukan hanya acara militer, tapi juga panggung politik internasional bagi Kim Jong Un.
Rudal sebagai Bahasa Diplomasi
Rudal balistik antarbenua (ICBM) Hwasong-20 menjadi bintang utama dalam parade. Media pemerintah KCNA menyebutnya sebagai “sistem senjata strategis nuklir terhebat” yang pernah dikembangkan Korut, dengan kemampuan menjangkau seluruh wilayah daratan Amerika Serikat (AS).
Namun lebih dari sekadar pamer teknologi militer, Hwasong-20 adalah bahasa diplomasi keras yang digunakan Kim untuk menunjukkan kepada sekutunya bahwa Korea Utara siap berdiri di garis depan menghadapi tekanan Barat.
“Pameran ini adalah bentuk komunikasi strategis. Kim menunjukkan bahwa Korut bisa menjadi mitra militer dan politik yang solid bagi Rusia dan China di tengah rivalitas global,” ujar pengamat Asia Timur dari Yonsei University, dikutip Senin (13/10/2025).
Pertemuan Kim-Medvedev, Simbol Penguatan Poros Moskow-Pyongyang
Di sela parade, Kim Jong Un melakukan pertemuan pribadi dengan Dmitry Medvedev. Dalam pertemuan itu, Kim menyinggung “pengorbanan tentara Korut dalam merebut Kursk dalam perang melawan Ukraina”, sebuah pernyataan yang menimbulkan spekulasi tentang dukungan langsung Korut terhadap Rusia di medan perang Ukraina.
Kim juga menegaskan komitmennya untuk memperkuat kerja sama ekonomi, teknologi, dan militer dengan Moskow.
Beijing di Posisi Kunci
Kehadiran Perdana Menteri China Li Qiang dalam parade juga tak kalah penting. Di tengah hubungan dingin antara Beijing dan Washington, China berperan sebagai penyeimbang dalam menjaga agar Pyongyang tetap dekat namun tidak sepenuhnya lepas kendali.
Parade tersebut memperlihatkan bahwa Kim ingin mengirim pesan kepada Beijing bahwa Korea Utara tetap menjadi mitra penting di kawasan, terutama dalam menghadapi kebijakan tekanan ekonomi dan militer Amerika Serikat di Asia Timur.
“Bagi China, Korut tetap kartu strategis. Bagi Korut, China adalah perisai ekonomi dan politik,” tulis analis di media pemerintah China, Global Times.