Dunia Inginkan Kedamaian di Gaza
Hamidin
Mantan Deputi Bidang Kerja Sama Internasional BNPT, Pengamat Terorisme
BERBAGAI berita yang kita simak terkait Palestina selalu menggambarkan tentang warga sipil yang tewas dibombardir Israel. Bayi-bayi, perempuan, anak-anak, manula—baik yang berada di penampungan, di rumah, maupun di rumah sakit—mereka diroket, ditembaki. Ribuan orang tak bersalah itu pada akhirnya mati terbunuh.
Banyak pihak, termasuk para pemimpin negara yang menghendaki kedamaian. Tidak ada alasan atau legitimasi apa pun, Israel harus menghentikan ini. Namun, semua tahu, di satu sisi Israel harus melindungi warganya sendiri, sembari mengutuk tindakan “teror” oleh musuhnya, Hamas. Inilah poin penting yang disampaikan oleh Presiden Prancis, Emmanuel Macron, dalam siaran BBC, beberapa waktu lalu. Kepada Israel, dia mendesak untuk segera menghentikan pemboman terhadap warga sipil di Gaza.
Kesimpulan Macron sangat jelas, semua pemerintah dan lembaga yang hadir dalam Konfrensi Kemanusiaan di Paris mengenai perang di Gaza pada 9 November lalu sepakat bahwa “Tidak ada solusi lain, jeda kemanusiaan terlebih dulu melalui gencatan senjata, adalah yang memungkinkan kita melindungi semua warga sipil yang tidak ada hubungannya dengan teroris.” Presiden Macron setelah itu bahkan sempat menjabat tangan Perdana Menteri Palestina, Mohammad Shtayyeh dan Prancis pun menyatakan akan memberi bantuan untuk Gaza sebesar 100 juta euro. Bukan sekadar pernyataan soal gencatan senjata dan kesanggupan bantuan kepada Gaza, Macron juga berusaha menunjukkan ketegasan sikapnya demi perdamaian.
Namun, pada Jumat, 10 November 2023 malam, ada peristiwa hukum terkait dengan kedaulatan negara yang juga penting di Prancis. Seorang aktivis Front Populer untuk Pembebasan Palestina (PFLP) bernama Mariam Abou Daqqa diusir dan dideportasi dari negara Eropa itu. Perempuan tersebut dipulangkan ke Mesir, setelah otoritas Prancis menyetujui pengusirannya. Tak hanya itu, pengadilan administratif tertinggi Prancis juga memutuskan bahwa PFLP adalah sebuah organisasi sayap kiri radikal, yang oleh Prancis dan Uni eropa sudah ditetapkan sebagai “organisasi teroris”. Maka, atas nama negara, dia pun harus dideportasi. Kementerian Dalam Negeri Prancis telah pula berkesimpulan bahwa kehadiran aktivis tersebut sejak serangan Hamas 7 Oktober lalu “sangat merusak” pemberitaan umum. Ini jelas adalah bentuk kriminalisasi dukungan terhadap Palestina. Sementara Mariam Abou Daqqa mengatakan, proses persidangan yang dia jalani bahkan tidak layak untuk ukuran sebuah pemerintahan yang katanya “demokratis” Prancis. Hal itu dia ungkapkan di Bandara Paris Charles de Gaulle, sebelum perempuan itu diterbangkan ke Mesir dengan penerbangan Air France, beberapa hari lalu.
Masih pada Jumat 10 November 2023, Kepala Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Tedros Adhanom Ghebreyesus, mengingatkan bahwa sistem kesehatan di Jalur Gaza saat ini sudah lumpuh. Dia mengatakan, setengah dari 36 rumah sakit di wilayah kantong Palestina tersebut sudah tidak berfungsi sama sekali. Koridor rumah sakit penuh dengan orang-orang yang terluka, sakit, dan sekarat. Kamar mayat penuh sesak. Tak bisa dibayangkan, betapa banyak pasien dioperasi tanpa disuntik anestesi. Puluhan ribu orang harus mengungsi di rumah sakit yang tidak aman, kata Tedros. Dia juga menghitung telah terjadi lebih dari 250 kali serangan terhadap fasilitas kesehatan di Gaza dan Tepi Barat sejak dimulainya perang Israel-Hamas pada 7 Oktober lalu.
Situasi diplomasi dan politik saat ini
Sementara di markas PBB Jenewa, 40 duta besar mengheningkan cipta selama beberapa menit untuk mengenang kematian di Gaza dan berdoa demi berakhirnya kekerasan. Seorang jurnalis dari Agence France-Presse (AFP) yang hadir mencatat, puluhan duta besar untuk PBB itu tidak hanya berasal dari negara-negara Arab dan Muslim. Ada perwakilan dari negara-negara Amerika Latin seperti Kuba dan Venezuela. Mereka juga menandatangani seruan bersama yang meminta masyarakat internasional mengambil tindakan segera untuk menghentikan kekerasan yang mematikan tersebut dan mengatasi krisis kemanusiaan yang serius di Gaza. Namun, tidak ada duta besar dari negara-negara Eropa yang hadir di tempat upacara mengheningkan cipta itu berlangsung.
Duta Besar Mesir untuk PBB, Ahmed Ihab Abdelahad Gamaleldin mengatakan, penting untuk menanamkan rasa kemanusiaan dan kebijaksanaan serta membangkitkan hati nurani umat manusia dalam menghadapi kekejaman yang dilakukan terhadap warga sipil Palestina yang tidak bersalah. Sementara pengamat tetap Palestina di PBB, Ibrahim Khraishi mengatakan, perang antara Israel dan para pejuang Hamas adalah genosida.
Pada sesi yang lain, Israel mengklaim jumlah tentaranya yang tewas sejak dimulainya operasi darat di Gaza pada 27 Oktober lalu berjumlah 34 orang. Selama 33 hari berturut-turut, tentara Israel telah melancarkan perang melawan Hamas di wilayah Palestina itu dan menghancurkan seluruh pemukiman di sana. Serangan Israel juga menewaskan lebih dari 11.000 warga Palestina, termasuk 4.324 anak-anak dan 2.823 perempuan, dan melukai 26.475 orang lainnya. Di Tepi Barat, tentara Israel membunuh 163 warga Palestina dan menangkap 2.280 orang, demikian menurut sebuah sumber resmi.
Kedamaian seperti apa yang diinginkan dunia untuk Gaza?
Kita melihat ada komitmen Presiden Macron memperjuangkan kedamaian melalui jeda perang dan gencatan senjata, serta kesediaannya untuk membantu finansial para penduduk di Gaza. Kita juga melihat banyaknya kecaman para pemimpin badan dunia di bawah PBB, baik terhadap Israel maupun Hamas, termasuk kecaman negara kita Indonesia melalui Menteri Luar Negeri Retno Marsudi. Dari situ, kita pun menyadari bahwa apa yang sebetulnya dikehendaki oleh dunia hanya kedamaian di Gaza, dengan menghentikan pembunuhan rakyat yang tak berdosa. Untuk itu, marilah kita berdoa, semoga konflik Hamas-Israel ini cepat berakhir. Doa 280 juta manusia Indonesia semoga didengar oleh Allah swt Tuhan Yang Maha Esa. Aamiin.
Editor: Ahmad Islamy Jamil