Hacker Korut Dituduh Curi Uang Rp18 Triliun, Ini Perbedaan Motif dengan Peretas China dan Rusia
WASHINGTON, iNews.id - Amerika Serikat mendakwa tiga programer yang juga anggota intelijen militer Korea Utara (Korut) atas tuduhan melakukan peretasan global, termasuk situs web studio film Hollywood.
Departemen Kehakiman menyebut, para tersangka berupaya mencuri dan memeras bank serta perusahaan dengan nilai lebih dari 1,3 miliar dolar AS atau sekitar Rp18 triliun.
Dakwaan baru ini didasarkan pada kasus pidana sebelumnya yakni pada 2018 dan menambah dua terdakwa warga Korut.
Jaksa penuntut menuduh mereka melakukan peretasan atas perintah pemerintah Korut dengan tujuan mencari dana untuk kepentingan rezim Kim Jong Un. Mereka diketahui beroperasi dari Rusia dan China.
Dijelaskan, motif hacker Korut berbeda dengan para sekutunya seperti China, Rusia, dan Iran yakni spionase, mencuri hak kekayaan intelektual, atau berupaya mengganggu stabilitas. Para hacker Korut meretas kepentingan Barat untuk mendapatkan keuntungan materi.
Dakwaan ini disampaikan saat AS masih bergulat dengan peretasan terhadap beberapa institusi pemerintah dan swasta oleh pihak yang disebut sebagai agen intelijen Rusia dan swasta. Para pejabat mengatakan, motif peretasan ini adalah mengumpulkan informasi.
"Apa yang kita saksikan dari Korut ini unik, mencoba mengumpulkan dana melalui aktivitas ilegal di dunia maya," kata Asisten Jaksa Agung AS, John Demers, dikutip dari Associated Press, Kamis (18/2/2021).
Para pelaku, kata Demers, mencuri mata uang konvensional dan kripto, serta memeras.
Dia menambahkan, terkait kondisi perekonomian Korut yang terpukul akibat sanksi internasional, para pelaku menggunakan kemampuan mereka di dunia maya untuk mendapatkan mata uang di mana pun mereka bisa.
"Itu bukan pelaku seperti kami lihat dari China, Rusia, atau Iran, ” ujarnya.
Meskipun sudah dituntut, tak satu pun dari tiga terdakwa ditahan di AS. Para pejabat AS juga tidak mengharapkan mereka datang ke AS dalam waktu dekat untuk menghadapi penuntutan. Pengadilan juga bisa digelar secara in absentia.
Editor: Anton Suhartono