JAKARTA, iNews.id - Ada masalah cukup sistemik berkembang di ASEAN. Sebagai organisasi berbasis kebangsaan, ASEAN dinilai semakin jauh dari masyarakat sipil. Hal ini terungkap dalam Temu Nasional 'ASEAN People Centrum: How ASEAN Matters?' yang diselenggarakan Synergy Policies, Rabu (9/8/2023).
Direktur Eksekutif Synergy Policies Dinna Prapto Raharja mengatakan, pada diskusi memperingati 56 tahun ASEAN ini, para peserta yang terdiri atas kalangan think-tank, organisasi kepemudaan, jurnalis, dan organisasi masyarakat sipil di tataran regional, nasional, menceritakan pengalaman mereka.
AS dan Iran Bertengkar Sengit di PBB Soal Perundingan Nuklir
Menurut Dinna, keikutsertaan unsur masyarakat sipil dianggap sebagai legitimasi bagi ASEAN, padahal pembahasan yang ada masih jauh dari menyelesaikan permasalahan sosial yang berkembang di kawasan. Berbagai dokumen komitmen memang lahir tetapi belum diikuti dengan implementasi yang dampaknya dapat dirasakan masyarakat.
Senior Advisor Synergy Policies Marzuki Darusman menambahkan, harus disadari ASEAN pada hakikatnya adalah people, bahkan tercantum dalam Deklarasi dan Piagam ASEAN. Organisasi yang menghimpun negara-negara Asia Tenggara tersebut selama ini masih bersifat state-centric, sehingga perlu diimbangi dengan people centric.
Presiden Jokowi Ajak Semua Negara ASEAN Saling Melengkapi dan Menguatkan
"Kalau di Sisingamangaraja ada state regionalism, hari ini kita merumuskan non-state regionalism, people-based regionalism,” kata Marzuki Darusman.
Hadir dalam Temu Nasional ini unsur masyarakat sipil yang menangani isu pekerja, pekerja migran, pengarusutamaan hak perempuan, anak dan disabilitas, penanganan perdagangan orang, antikorupsi dan demokrasi, lingkungan hidup, pendidikan, kesehatan reproduksi, pencegahan kekejaman dalam politik, dan advokasi orang muda. Dari unsur jurnalis, hadir perwakilan dari enam media massa digital, TV maupun cetak.
Urutan Negara dengan Paspor Terkuat di ASEAN, Indonesia Nomor Berapa?
Wahyu Susilo dari Migrant CARE mengungkap, masalah yang terus muncul di ASEAN dikarenakan masyarakat sipil bergerak sendiri-sendiri termasuk dalam penanganan pekerja migran.
“Itu sebabnya tidak ada daya tawar dari masyarakat sipil saat berjuang melalui mekanisme ASEAN. Indonesia seharusnya aktif mengedepankan perlindungan pekerja migran secara konkret. Harus ada dalam hasil ASEAN Summit 2023 nanti komitmen memproduksi laporan rutin seputar migrant quality live index atau penanganan isu-isu pekerja migran terkini terkait perubahan iklim, transparansi, ekstremisme dan lainnya," kata Wahyu.
Rena Herdiyani dari Kalyanamitra mengungkapkan pengalamannya soal betapa elitis para pengambil kebijakan di ASEAN. Dia bercerita pada 2007, pihaknya terlibat dalam pembentukan AICHR, bekerja sama dengan jaringan di tingkat regional WEAVE (Weaving Women’s Voices in ASEAN) memberi masukan mengenai gender kepada ASEAN.
"Tapi kini kami melihat ada gap antara kebijakan yang dibuat di level ASEAN dengan kebutuhan masyarakat atau perempuan di tingkat komunitas atau akar rumput di perdesaan. Hal ini penting dijadikan catatan agar ASEAN banyak mendengar langsung aspirasi dari masyarakat di tingkat akar rumput. Tujuannya supaya kebijakan ASEAN menjawab kebutuhan masyarakat dan bukannya malah membuat masalah baru," tuturnya.
Temu Nasional ini adalah kelanjutan dari beberapa pertemuan sebelumnya yang diinisiasi oleh Synergy Policies. Ada benang merah yang dapat ditarik dari hasil pertemuan sebelumnya bahwa masyarakat sipil memilih untuk menyuarakan corak kondisi riil masyarakat agar para pemimpin negara ASEAN dan elite politik ekonomi bisa mengembangkan kerjasama dan kebijakan yang merespons corak kondisi riil tersebut.
Hasil dari refleksi dan kesepakatan bersama ini akan dibawa ke tataran regional kepada jejaring masyarakat sipil negara-negara tetangga di Asia Tenggara.
Editor: Anton Suhartono
- Sumatra
- Jawa
- Kalimantan
- Sulawesi
- Papua
- Kepulauan Nusa Tenggara
- Kepulauan Maluku