Kaleidoskop 2020: Trump vs Biden Sajikan Pilpres AS Paling Panas
PEMILIHAN Presiden (Pilpres) Amerika Serikat (AS) 2020 menjadi salah satu ajang perebutan kursi Gedung Putih paling panas. Kuatnya persaingan sudah ditunjukkan begitu Joe Biden memenangkan konvensi untuk mewakili Partai Demokrat menghadapi sang petahana, Donald Trump.
Dia maju dalam pilpres AS bersama pasangannya Kamala Harris yang juga mantan saingan saat seleksi di Partai Demokrat, berahadapan dengan Trump yang didampingi calon wakil presiden yang juga petahana Mike Pence.
Selain itu pilpres AS 2020 berlangsung saat pandemi Covid-19, bahkan ketika AS menghadapi lonjakan kasus. Virus corona pun menjadi bahan kedua calon untuk saling menjatuhkan.
Ajang debat pilpres AS yang seharusnya berlangsung tiga putaran juga tak berjalan sebagaimana mestinya. Debat perdana pada akhir September diwarnai kisruh karena kedua kandidat, terutama Trump, berupaya mendominasi pembicaraan meskipun sudah diperingatkan moderator.
Debat kedua yang seharusnya berlangsung pada 15 Oktober dibatalkan setelah Trump menolak format acara virtual lantaran status positif Covid-19 yang disandangnya.
Trump menjalani perawatan di rumah sakit militer setelah dikonfirmasi positif Covid-19, bersama Ibu Negara Melania Trump. Namun kurang dari sepekan menjalani perawatan, Trump sudah kembali ke Gedung Putih untuk bertugas.
Sementara itu debat terakhir digelar 22 Oktober secara tatap muka yang kembali menjadi ajang saling menghujat.
Dominasi Biden atas Trump berdasarkan hasil polling sudah terlihat sejak awal bahkan sebelum kampanye. Berbagai lembaga survei mengunggulkan Biden dengan selisih suara populer bervariasi. Namun pada umumnya, selisih perolehan berdasarkan persentase sudah berada di atas margin of error.
Namun publik AS paham, hasil pilpres AS tidak ditentukan berdasarkan popularitas melainkan suara elektoral di Electoral College. Trump atau Biden harus memperoleh setidaknya 270 suara elektoral untuk memastikan kursi di Gedung Putih.
Di tengah pandemi Covid-19, pilpres AS 2020 berlangsung beda. Perubahan paling mencolok dengan pilpres sebelumnya adalah hasil suara elektoral belum bisa dipastikan pada malam pemilu pada 3 November, melainkan beberapa hari setelahnya.
Ini disebabkan banyaknya pemilih yang menggunakan sistem pemilihan melalui pos. Surat suara yang dikirim melalui pos dihitung setelah suara yang dikumpulkan langsung di TPS. Selain itu jumlah surat suara dari pos terbilang sangat banyak, membuat penghitungannya berlangsung lama.
Kondisi ini sempat membuat dua kubu panas-dingin karena perolehan suara elektoral sempat saling susul.
Namun pada 3 November malam, berbagai analisis menyebutkan prediksi perolehan suara elektoral Biden akan melampaui Trump.
Pada 7 November atau 4 hari setelah pemungutan suara, hasilnya jelas, Biden dipastikan unggul atas Trump.
Hasil proyeksi jaringan televisi CNN, NBC News, dan CBS News saat itu mengungkap, Biden menyegel posisi presiden AS setelah menang di Negara Bagian Pennsylvania yang memiliki 20 suara elektoral.
Perolehan suara di Pennsylvania sangat tipis dengan Trump, bahkan dia sempat tertinggal.
Hasil akhir pilpres AS menunjukkan kemenangan telak Biden atas Trump, yakni 306 berbanding 232 suara elektoral.
Namun pertarungan untuk menuju Gedung Putih belum usai. Saat itu Trump menegaskan Biden terlalu terburu-buru mendeklarasikan kemenangan.
Pilpres AS belum selesai karena timnya akan melayangkan gugatan hukum.
"Pemilu ini masih jauh dari selesai. (Dia) Bergegas menyamar sebagai pemenang pemilu AS," kata Trump, ketika itu.
Gugatan hukum kecurangan pilpres diajukan ke beberapa negara bagian. Dia juga menuduh perusahaan teknologi yang terlibat dalam proses tabulasi suara berkontribusi terhadap cacatnya hasil pilpres.
Gugatan kecurangan pilpres AS di tiga negara bagian, yakni Michigan, Pennsylvania, dan Wisconsin, diajukan kubu Trump ke Mahkamah Agung.
Wakil Manajer Tim Kampanye Trump, Justin Clark, mengatakan kubunya memperkarakan Pennsylvania ke Mahkamah Agung untuk kasus penerimanaan surat suara 3 hari setelah pemungutan.
Mereka juga meminta penghitungan ulang di Wisconsin yang memberikan kemenangan bagi Biden. Ada penyimpangan dalam perhitungan suara di negara bagian itu, namun dia tidak memberikan rincian.
Namun pada 14 Desember, Electoral College selaku otoritas yang menentukan perolehan suara pilpres AS memastikan kemenangan Joe Biden atas Donald Trump.
Sebanyak 55 suara elektoral dari Negara Bagian California mengkuhkan kemenangan Biden karena telah melampaui syarat yakni 270 suara. Setelah semua suara masuk dan dihitung, Biden mendapat 306 suara elektoral sedangkan Trump 232.
Di Arizona, Georgia, Michigan, Nevada, Pennsylvania, dan Wisconsin, enam negara bagian yang dimenangkan Biden namun digugat Trump, anggota Electoral College memberi suara mereka untuk Biden dan pasangannya Kamala Harris.
Berdasarkan pemilihan popularitas, Biden juga unggul dari Trump dengan selisih lebih dari 7 juta suara secara nasional. Hasil ini menghapus harapan Trump untuk bisa membalikkan kemenangan.
Namun lagi-lagi, Trump terus menggugat hasil ini. Hasil penghitungan Electoral College akan dikirim ke Washington DC dan dibahas dalam rapat bersama Kongres pada 6 Januari, di mana Wakil Presiden Mike Pence akan memimpin.
Kubu Trump pada 20 Desember mengeluarkan seruan terbaru, mendesak Mahkamah Agung untuk membatalkan hasil pilpres AS 3 November.
Pengacara Trump Rudy Giuliani mengatakan, tim kampanye mengajukan petisi yang meminta pengadilan membatalkan tiga putusan oleh pengadilan Negara Bagian Pennsylvania terkait surat suara.
"Petisi tim kampanye berusaha membalikkan tiga keputusan yang menghapus perlindungan Badan Legislatif Pennsylvania terhadap kecurangan surat suara," kata Giuliani.
Ahli hukum sengketa pemilu dari Universitas Kentucky Joshua Douglas menilai, petisi yang dikeluarkan kubu Trump itu merupakan tindakan sembrono dan tidak akan menghentikan hasil kemenangan Biden.
Beberapa senator Partai Republik, termasuk Pemimpin Mayoritas Senat Mitch McConnell, juga sudah mengakui kemebangan Biden sebagai presiden AS terpilih. Dia juga menolak gagasan untuk membatalkan pemilihan presiden 2020 di Kongres pada 6 Januari mendatang.
Terlepas dari sengketa pilpres AS, Biden tetap menyiapkan proses peralihan kepemimpinan AS. Dia bahkan sudah mengumumkan nama-nama anggota kabinet serta struktur tim Gedung Putih.
Biden menegaskan akan memprioritaskan pananganan pandemi Covid-19 begitu dilantik pada 20 Januari mendatang di Gedung Capitol, termasuk memperbaiki perekonomian.
Biden berharap Trump menghadiri pelantikannya. Menurut pria 78 tahun itu, kehadiran Trump dalam pelantikan sangat penting karena menunjukkan komitmen nasional dalam melakukan transfer pemerintahan yang damai antara rival politik.
Para pembantu dekat Trump mengatakan bos mereka kemungkinan besar tidak akan menghadiri pelantikan. Bahkan Trump akan membuat acara lain, yakni pencalonan untuk pilpres 2024 di waktu bersamaan.
Editor: Anton Suhartono