Kekerasan Memuncak di Suriah, Anak-Anak Minta Pengeboman Diakhiri
JENEWA, iNews.id - Sekitar 3 juta warga sipil di Idlib, Suriah, dan daerah sekitarnya masih terjebak dalam kekerasan; sepertiga dari mereka adalah anak-anak. Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) melaporkan, situasi itu sangat mengerikan bagi semua orang, terutama untuk anak-anak.
Pasukan pemerintah Suriah yang didukung sekutu mereka, Rusia, melancarkan serangan militer yang sengit untuk merebut kembali Idlib, kubu terakhir pemberontak.
Juru bicara OCHA Jens Laerke mengatakan, banyak dari anak-anak yang terjebak kekerasan ini tidak tahu apa-apa selain perang.
"Koordinator bantuan darurat kami, Mark Lowcock, pekan lalu berbicara melalui tautan video dengan sebagian dari mereka, dan mereka memberitahunya bahwa mereka takut, terlantar, dan bahwa mereka serta sekolah mereka dibombardir dan mereka menginginkan pemboman dihentikan," kata Laerke, seperti dilaporkan Associated Press, Rabu (7/8/2019).
"Jika suara putus asa anak-anak ini memiliki nilai atau bobot, maka melancarkan lebih banyak penembakan, lebih banyak serangan udara, dan lebih banyak kekerasan adalah jawaban yang salah," tegas Laerke.
PBB melaporkan, 440.000 orang terlantar di Provinsi Idlib dan sejak akhir April, setidaknya 450 warga sipil -banyak dari mereka adalah anak-anak- tewas. Menurut Laerke, banyak infrastruktur penting seperti sekolah, rumah sakit, pasar, tempat ibadah, dibom dalam periode ini.
Beberapa dari rumah-rumah sakit itu, sebut dia, dibom setelah koordinat yang menunjukkan lokasi fasilitas-fasilitas itu diketahui Rusia dan Suriah.
"Kami telah mengoperasikan mekanisme peredam konflik. Terjadi banyak perdebatan tentang keampuhan mekanisme itu — apakah benar-benar, khususnya, melindungi fasilitas kesehatan. Terus terang, ini adalah pertanyaan terbuka, apakah mekanisme ini harus dan akan berlanjut," imbuhnya.
Laerke mengatakan, PBB berkonsultasi dengan mitra-mitra LSM yang memberi rincian itu kepada pihak-pihak yang bertikai.
Apakah program itu berlanjut atau tidak, dia mencatat bahwa undang-undang kemanusiaan internasional menganggap serangan terhadap fasilitas medis, dengan alasan apa pun, adalah kejahatan perang.
Editor: Nathania Riris Michico