BAGHDAD, iNews.id - Mereka berhasil selamat dari kekerasan di bawah pemerintahan Saddam Hussein hingga tahun-tahun setelah kejatuhannya. Hal ini membuat penjual buku di Baghdad, Irak, tidak terlalu khawatir dengan virus korona.
Pihak berwenang Irak mendesak warga menghindari pertemuan publik dan memerintahkan kafe tutup. Saat ini kasus virus korona di Irak mencapai 67; pemerintah menyalahkan wisatawan dari Iran.
Trump Lihat Peluang Bagus Bertemu Putin di Hongaria
Namun para penjual buku Jalan Mutanabbi di tepi Sungai Tigris masih bertemu dengan pelanggan mereka untuk melakukan bisnis dan mendiskusikan politik dengan cara biasa.
Beberapa acara budaya dibatalkan namun para penulis, musisi, dan pelukis masih berkumpul di sana. Mereka berkumpul dekat patung Mutanabbi yang mengesankan, penyair abad ke-10 yang menjadi nama jalan tersebut.
Tiga Roket Hantam Kedubes AS di Baghdad Irak
Jumlah pengunjung terus menurun akibat virus korona dan berbulan-bulan protes jalanan anti-pemerintah yang kejam. Namun tinggal di rumah bukanlah pilihan bagi para pecinta buku kelas berat, bahkan jika itu berarti mereka harus mengenakan masker.
"Saya datang ke sini setiap hari Jumat sejak tahun 80-an ketika saya masih mahasiswa," kata Jawad al Bidhani, seorang profesor universitas, yang membeli empat buku akademik, seperti dilaporkan Reuters, Selasa (10/3/2020).
AS Kutuk Serangan Rudal Terbaru yang Targetkan Pangkalan Irak
"Penyakit ini (virus korona) berbahaya dan fatal. Tapi ini tidak akan mencegah kita datang ke Jalan Mutanabbi. Jadi kami mengambil kesempatan untuk duduk di sini bersama teman-teman kami selama satu atau dua jam," katanya.
Pasar itu menjadi 'sarang' bagi buku-buku yang dibawa dengan troli dari ruang-ruang di gedung-gedung terdekat; banyak yang dipajang di atas meja di jalan. Jalan itu merupakan barometer kehidupan intelektual.
Pangkalan Militer AS di Irak Dihujani Roket oleh Iran, Trump: Semua Baik-Baik Saja
Tradisi sastra di sana bahkan diringkas dalam pepatah: "Kairo menulis. Beirut mencetak. Baghdad membaca. "
Pilihan sangat terbatas di bawah pemerintahan Saddam, yang melarang bacaan yang kritis. Setelah dia jatuh, literatur politik dan agama menjadi populer, tetapi selera berubah ketika rakyat Irak kehilangan kepercayaan terhadap sistem politik yang oleh banyak orang dianggap korup.
"Hanya ada sedikit permintaan untuk buku-buku politik, juga bukan buku-buku agama," kata Hamza Abu Sara, seorang penjual buku.
"Orang-orang membeli lebih banyak buku self-help, untuk menjadi positif, atau fiksi," katanya.
Krisis ekonomi memukul penjualan buku, tetapi Saraa al-Bayati, satu-satunya pedagang perempuan di pasar buku, tidak berpikir untuk tutup.
"Kami baik-baik saja,", katanya di toko tempat dia menjual publikasi pribadi dan bekerja untuk terjemahan.
Toko bukunya adalah mimpinya. Keluarganya tidak akan membiarkan dia belajar jurnalisme di universitas, menganggap pekerjaan itu terlalu berbahaya di Irak yang bergejolak.
Dia lulus dalam bidang teknik tetapi memutuskan membangun rumah penerbitan.
"Saya suka buku," tandasnya.
Editor: Nathania Riris Michico
- Sumatra
- Jawa
- Kalimantan
- Sulawesi
- Papua
- Kepulauan Nusa Tenggara
- Kepulauan Maluku