Kisah Pilu Bocah Muslim Rohingya Jalani Ramadan di Kamp Pengungsi
COX'S BAZAR, iNews.id - Seorang bocah pengungsi Rohingya berusia 12 tahun bermimpi bisa kembali ke desanya di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, saat Ramadan.
Dia ingin menyantap ikan sebagai menu berbuka puasa. Ikan itu merupakan hadiah dari keluarganya yang biasa dinikmati sambil bersantai di bawah pepohonan sebelum salat tarawih.
Namun bocah bernama M D Hashim itu sadar, mimpi itu sulit terwujud. Dia dan anak-anak lain kini hidup dalam kemiskinan di pengungsian di Bangladesh.
"Di sini, kami tidak dapat membeli hadiah dan tidak memiliki makanan yang baik, karena ini bukan negara kami," kata Hashim kepada AFP, di distrik Cox's Bazar, Rabu (16/5/2018).
Sebelumnya PBB menyatakan tentara Myanmar melakukan pembersihan etnis Rohingya. Ribuan Muslim diduga dibantai sejak Agustus 2017. Selain itu lebih dari 700.000 warga mengungsi ke Bangladesh, tinggal di gubuk di lereng bukit.
Dengan makanan dan uang yang terbatas, serta kondisi cuaca, Ramadan kali ini menjadi sumber kecemasan bagi warga Rohingya.
Duduk di tenda plastik di panas yang terik, Hashim mengingat kembali kesenangan yang membuat Ramadan menjadi momen paling mengasyikkan di desanya.
Setiap malam, keluarga dan temannya berbuka puasa bersama dengan hidangan ikan dan daging yang dimasak. Dia juga memakai pakaian baru dengan parfum tradisional yang disebut 'attari', menandai hari libur.
"Kami tidak dapat melakukan hal yang sama di sini, karena kami tidak memiliki uang. Kami tidak memiliki tanah sendiri. Kami tidak dapat menghasilkan uang karena kami tidak diizinkan," kata Hashim.
Warga Rohingya dilarang bekerja dan pos pemeriksaan militer melarang mereka meninggalkan kamp pengungsian.
Untuk memenuhi kebutuhan, seperti makanan, obat-obatan, hingga pakaian dan alat-alat rumah, mereka mengandalkan bantuan. Bahkan Hasyim harus berjalan lebih dari satu jam dalam cuaca panas untuk mencapai pasar terdekat.
Dia mengatakan, banyak pemuda Rohingya mencemaskan makanan dan air di tengah suhu panas di kamp.
"Kami tidak dapat berpuasa di sini seperti yang kami lakukan di Burma (Myanmar), karena terlalu panas. Tidak ada pohon. Terpal itu panas, dan menjadi lebih panas. Ini akan sangat sulit," katanya.
Meski begitu, Hashim merupakan salah satu yang beruntung, bisa merayakan Ramadan bersama keluarga. Anak-anak Rohingya lain menghabiskan Ramadan sendirian karena orangtua mereka tewas dibunuh.
Ribuan orang menyeberang ke Bangladesh tanpa orangtua atau keluarga, baik yang terpisah dalam kekacauan maupun yang kehilangan orangtua akibat kekerasan dan penyakit.
Editor: Nathania Riris Michico