Kisah Psikiater PM Israel Benjamin Netanyahu Bunuh Diri karena Stres
TEL AVIV, iNews.id - Siapa sangka Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pernah mengalami gangguan kejiwaan hingga ditangani psikiater Moshe Yatom. Tragisnya, Yatom bunuh diri, menembak kepalanya dengan pistol pada Juni 2010 silam. Jasadnya ditemukan dalam kondisi bersimbah darah di rumahnya, Tel Aviv.
Dalam surat bunuh diri yang ditemukan di samping jasad, Yatom mengungkap alasannya mengakhiri hidup, yakni tertekan dengan tugasnya menangani Netanyahu.
Yatom merupakan psikiater kenamaan Israel. Dia dikenal karena keberhasilannya mengobati penyakit mental yang paling parah sekalipun. Komitmennya terhadap pasien serta upaya yang tiada henti dalam mencari teknik terapi inovatif menjadikannya sosok yang dihormati di kalangan profesi psikiater.
Kematiannya mengejutkan komunitas psikiatri Israel, memicu keputusasaan yang meluas dan ketakutan akan krisis terapeutik.
Tekanan terhadap pekerjaannya, khususnya menangani Netanyahu selama 9 tahun terakhir saat itu, sangat membebaninya. Dalam catatan bunuh diri, Yatom mengungkap gambaran suram tentang perjuangannya dalam memahami dan membantu pasiennya tersebut.
Yatom menyebut bahwa Netanyahu telah menyedot nyawanya.
“Saya tidak tahan lagi. Perampokan adalah penebusan, apartheid adalah kebebasan, aktivis perdamaian adalah teroris, pembunuhan adalah pembelaan diri, pembajakan adalah legalitas, warga Palestina adalah warga Yordania, pencaplokan adalah pembebasan, kontradiksi-kontradiksi itu tidak ada habisnya," demikian isi catatan bunuh diri Yatom.
Dalam buku harian, Yatom juga mengungkap pernyataan-pernyataan serta pemikiran Netanyahu yang disampaikan kepadanya justru semakin membuat dia stres.
Yatom semakin tertekan karena merasa gagal membuat Netanyahu mengakui kenyataan. Dia pun mengalami berbagai pukulan ketika mencoba memahami pemikiran Netanyahu, sebagaimana disebutkan dalam salah satu judul pada buku hariannya “Lubang Hitam Kontradiksi Diri.”
Pukulan pertama yang diterima Yatom adalah ketika Netanyahu menyampaikan pendapatnya bahwa serangan 11 September atau 9/11 di New York dan Washington, AS, adalah bagus.
Pukulan kedua merupakan lanjutan dari sebelymnya di mana Netanyahu bersikeras bahwa Iran dan Nazi Jerman adalah sama. Kemudian yang terakhir, sang Perdana Menteri mengatakan program energi nuklir Iran adalah “kamar gas terbang” dan bahwa semua orang Yahudi di mana pun akan tinggal selamanya di Auschwitz, kamp konsentrasi buatan Nazi Jerman pada Perang Dunia II.
Yatom mengungkap, upayanya untuk menenangkan histeria Netanyahu sangat melelahkan secara emosional dan sering kali kali berakhir dengan kegagalan.
“Orang-orang Yahudi berada di ambang kehancuran di tangan goyim yang rasis dan satu-satunya cara untuk menyelamatkan mereka adalah dengan melakukan pembantaian terakhir," demikian isi buku harian.
Pengakuan Yatom lainnya di buku harian tersebut memberi gambaran sekilas tentang tindak tanduk Natanyahu, sekaligus mengungkap tantangan berat yang dihadapi Yatom.
“Bibi (nama panggilan Netanyahu) datang pukul 3 untuk sesi sore. Pada pukul 4 dia menolak untuk pulang dan mengatakan bahwa rumah saya sebenarnya adalah miliknya. Lalu dia mengurung saya di ruang bawah tanah semalaman, sementara dia menjamu teman-temannya dengan mewah di lantai atas. Ketika saya berusaha melarikan diri, dia menyebut saya teroris kemudian mengikat saya. Saya meminta belas kasihan, tapi dia bilang tidak bisa memberi jaminan kepada seseorang yang bahkan tidak ada," tulis Yatom, pada Senin, 8 Maret.
Seorang tetangga, Yossi Bechor, sangat terkejut mendengar kematian Yatom. Dia menyebut Yatom sebagai sosok yang andal dalam pekerjaanya.
“Saya sangat terkejut. Moshe adalah simbol kepribadian yang punya integritas dan telah menyembuhkan puluhan penderita skizofrenia sebelum menangani Bibi. Tidak ada indikasi bahwa kasus (Netanyahu) berbeda dengan kasus lainnya," kata Bechor.
Editor: Anton Suhartono