Mesir Nyatakan Status Darurat Cegah Kerusuhan Dampak Kematian Muhammad Mursi
KAIRO, iNews.id - Pemerintah Mesir melakukan segala upaya untuk mencegah eskalasi sebagai dampak atas kematian mantan Presiden Mesir Muhammad Mursi. Mereka sangat khawatir akan terjadi peningkatan pengerahan massa yang bisa berujung pada kerusuhan massal sebagai bentuk protes atas kematian Mursi.
Kementerian Dalam Negeri Mesir mendeklarasikan status darurat untuk melakukan segala persiapan dan mencegah pengerahan massa.
Presiden Abdel-Fattah Al Sissi menempatkan pasukan tambahan untuk mencegah kekerasan yang bisa meluas ke berbagai wilayah Mesir. Pengerahan aparat keamanan juga sudah bisa dirasakan di berbagai kota besar di Mesir, terutama Kairo dan Alexandria.
Penyebaran aparat intelijen untuk mencegah insiden yang tidak diinginkan juga dilakukan pemerintahan Sisi.
Hal itu dilakukan menyusul gerakan terlarang di Mesir, Ikhwanul Muslimin, yang menyerukan para pendukungnya untuk menggelar aksi untuk mengenang Mursi. Aksi massa kemungkinan besar akan digelar pada Jumat (21/6/2019) mendatang.
Untuk mencegah pergerakan massa lebih besar, otoritas Mesir sudah menutup berbagai stasiun radio dan surat kabar yang berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin.
Mereka juga melakukan pengetatan dan sensor ketat terhadap media sosial untuk mencegah penyebaran provokasi. Selain itu, pemerintah Mesir kemarin menguburkan Mursi dalam sebuah upacara dengan keluarga kecilnya di Kairo.
Padahal, keluarga Mursi menginginkan jenazah dikuburkan di tempat kelahiran Mursi, yakni El-Adwah, Provinsi Sharqiya, di kawasan Delta Nil.
Menurut putra Mursi, Abdullah Mohamed Mursi, jenazah ayahnya dikuburkan di pemakaman para pemimpin Ikhwanul Muslimin lainnya. Ditambahkan putra Mursi lainnya, Ahmed Mursi, keluarga memandikan jenazah di rumah sakit penjara Tora.
"Kami membacakan doa untuk ayah di rumah sakit penjara," kata Ahmed Mursi.
Proses penguburan jenazah Mursi di Kairo dilakukan untuk mencegah pengerahan massa dan demonstrasi massal. Upacara pemakaman Mursi juga dilaksanakan dengan sangat sederhana dan pengawalan ketat aparat kepolisian.
Mereka juga menghindari publikasi upacara pemakanan tersebut. Penjagaan superketat juga diberlakukan di penjara Kairo di Sharqiya.
Namun, hingga kemarin tidak ada peningkatan eskalasi keamanan. Mesir tetap kondusif. Tidak ada insiden yang tidak diinginkan.
Sementara itu, Ikhwanul Muslimin mengungkapkan bahwa kematian Mursi sebagai "pembunuhan" dan menyerukan pengerahan massa untuk mengenang kematiannya. Namun, para pejabat Mesir membantah tuduhan bahwa kesehatan Mursi diabaikan.
Presiden Sisi juga mengungkapkan duka mendalam atas kematian Mursi melalui media sosial. Mursi meninggal pada Senin (17/6/2019) lalu setelah pingsan dalam persidangan kasus spionase. Pria berusia 67 tahun itu langsung dijebloskan ke penjara setelah dikudeta oleh militer pada 2013.
Dia dijatuhi hukuman lebih dari 40 tahun dalam berbagai persidangan terpisah, termasuk spionase, terorisme, dan pelanggaran hukum. Dia dan para pemimpin Ikhwanul Muslimin lainnya menolak berbagai tuduhan dan menganggap persidangan tersebut bermotif politik.
Mursi pingsan tidak lama setelah berpidato di pengadilan di Kairo dalam kasus mata-mata terkait dugaan kontaknya dengan kelompok Islam Palestina, Hamas, yang memiliki hubungan dekat dengan Ikhwanul Muslimin. Dia berbicara sekitar lima menit dari dalam kerangkeng berdinding kaca kedap suara.
Mursi dinyatakan meninggal dunia di rumah sakit pada pukul 16.50 waktu setempat. Laporan awal tidak menunjukkan adanya tanda-tanda cedera pada tubuhnya.
Pada Mei lalu, keluarganya mengatakan bahwa pihak berwenang berulang kali menolak akses kepadanya dan mereka hanya mengetahui sedikit tentang kondisi kesehatan Mursi.
Selama di penjara, Amnesty International menyatakan Mursi hanya diizinkan tiga kali menerima kunjungan dari keluarganya dan tidak diberi akses kepada pengacara atau tim dokternya, demikian juga kelompok hak asasi manusia.
Kematian Mursi meningkatkan tekanan internasional terhadap pemerintahan Mesir terkait hak asasi manusia (HAM). Apalagi, ribuan aktivis ditahan dan mendapatkan perlakuan tidak adil.
Amnesty International menyerukan investigasi kematian Mursi. Direktur Human Rights Watch untuk Timur Tengah, Sarah Leah Whitson, mengatakan bahwa kematian Mursi "mengerikan tetapi sepenuhnya dapat diprediksi".
Panel parlemen Inggris mengungkapkan tahun lalu bahwa Mursi tidak mendapatkan perawatan medis yang layak untuk penyakit liver dan diabetesnya. Crispin Blunt, anggota parlemen Inggris dari Partai Konservatif, menyerukan penyelidikan internasional yang independen untuk menjelaskan kematian Mursi.
Editor: Nathania Riris Michico