Myanmar di Ambang Perang Sipil Berskala Besar, PBB Desak Hentikan Pasokan Senjata
NEW YORK, iNews.id - Majelis Umum PBB menyerukan penghentian pasokan senjata ke Myanmar serta mendesak agar pemerintahan junta militer menghormati hasil pemilihan umum pada November 2020 yang dimenangkan partai Aung San Suu Kyi, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD).
Mereka juga mengulangi seruan agar pemerintah membebaskan tahanan politik, termasuk Suu Kyi serta presiden.
Poin-poin itu tertuang dalam resolusi Majelis Umum PBB yang didukung oleh 119 negara, Jumat (18/6/2021), 4 bulan setelah kudeta militer.
Belarusia meminta agar teks resolusi diubah sekaligus menjadi satu-satunya negara yang menentang, sementara 36 lainnya abstain, termasuk China dan Rusia.
"Risiko perang saudara skala besar adalah nyata. Waktu sangat penting. Kesempatan untuk membalikkan perebutan (kekuasaan) militer semakin menyempit," kata utusan khusus PBB untuk Myanmar, Christine Schraner Burgener, kepada Majelis Umum setelah voting berlangsung, dikutip dari Reuters, Sabtu (19/6/2021).
Beberapa negara yang abstain beralasan krisis di Myanmar merupakan urusan dalam negeri mereka. Ada pula yang berpandangan resolusi ini tidak akan membantu.
Negara lain juga mengaitkan dengan penderitaan yang dialami muslim Rohingya selama 4 tahun, tersiksa dan terusir dari kampung halaman. Tidak ada solusi bagi mereka sampai saat ini. Sekitar 1 juta muslim Rohingya eksodus ke Bangladesh akibat kekerasan militer.
Duta Besar Uni Eropa untuk PBB Olof Skoog mengatakan, resolusi ini mengirim pesan tegas bahwa dunia tidak mengakui pemerintahan junta militer Myanmar yang dipimpin Min Aung Hlaing.
"Ini mendelegitimasi junta militer, mengutuk penyalahgunaan dan kekerasan terhadap rakyatnya, serta menunjukkan keterasingannya di mata dunia," ujar Skoog.
Sebelum voting, Sekjen PBB Antonio Guterres mendorong Majelis Umum untuk bertindak lebih konkret.
"Kita tidak bisa hidup di dunia di mana kudeta militer menjadi norma. Ini sama sekali tidak bisa diterima," katanya.
Militer Myanamr menggulingkan pemerintahan Suu Kyi pada 1 Februari lalu dengan tuduhan adanya kecurangan pemilu. Namun para pengamat internasional menilai pemilu berjalan dengan adil.
Editor: Anton Suhartono