Pengusiran Diplomat Rusia Terbesar, Dunia di Ambang Perang Dingin
MOSKOW, iNews.id - Sejauh ini sekitar 24 negara yang mengusir diplomat Rusia dari negaranya. Tak hanya negara Uni Eropa, tapi juga Amerika Serikat dan Australia. Jika ditotal, lebih dari 110 diplomat yang diusir, termasuk Inggris yang lebih dulu mendepak 23 diplomat Rusia pada pekan lalu.
Ini merupakan pengusiran diplomat Rusia terbesar sepanjang sejarah, bahkan mengalahkan saat Perang Dingin di era 1980-an.
Langkah tegas ini diambil sebagai respons dunia dari uapaya pembunuhan terhadap mantan agen ganda Rusia Sergei Skripal dan anaknya, Yulia, di Salisbury, Inggris, pada 4 Maret lalu. Skripal dan Yulia diserang menggunakan senjata kimia pelumpuh saraf Novichok. Senjata pemusnah massal ini terakhir digunakan pada Perang Dunia II. Hal ini memicu kekhawatiran global akan penggunaan senjata yang sama di kemudian hari. Tertuduhnya, sudah pasti Rusia, karena senjata ini dikembangkan di era Soviet.
Media Rusia pun menyebut langkah yang diambil negara Barat ini sebagai pintu menuju Perang Dingin baru.
Surat kabar pro-pemerintah, Izvestia, menyebut pengusiran diplomat ini sebagai aksi 'flash mob'. Sementara surat kabar Nezavisimaya Gazeta melaporkan, belum pernah ada persatuan dari negara-negara Barat sedemikian masif seperti ini sebelumnya untuk mengusir diplomat.
Pengamat politik Rusia Fedor Lukyanov mengatakan, hubungan Rusia dengan Barat memasuki babak tersuramnya. "Hubungan antara Rusia dan Barat memasuki periode Perang Dingin yang besar," kata Lukyanov, sebagaimana dikutip dari harian bisnis, Vedomosti.
"Pengusiran ini akan sangat mengganggu hubungan Rusia-Amerika," katanya.
Dia pun yakin langkah Barat ini tak berhenti hanya sampai pada mengusir diplomat, tapi lebih dari itu. Rusia, kata dia, akan menghadapi sanksi ekonomi yang jauh lebih berat di masa depan. "Ini bukan sebuah akhiran dari ekskalasi. Tapi ini akan lebih buruk," ujarnya.
Pengamat politik lainnya, Stanislav Belkovsky, mengatakan, kebijakan luar negeri Rusia sebenarnya menjadi bumerang bagi diri sendiri, terutama sejak 2014. Saat itu Moskow mencaplok Semenanjung Krimea di Ukraina yang memicu sanksi ekonomi dari Barat.
Namun Belkovsky menilai kondisi ini di satu sisi semakin menguntungkan Presiden Vladimir Putin. Konfrontasi dengan Barat justru melambungkan namanya di dalam negeri. "Semakin buruk hubungan Rusia dengan Barat adalah, akan lebih baik bagi Presiden," ujarnya.
Editor: Anton Suhartono