Perseturuan Rusia-Ukraina Makin Panas, Erdogan: Turki Upayakan Solusi Damai
ANKARA, iNews.id - Turki siap memediasi perdamaian antara Rusia dan Ukraina menyusul ketegangan di perbatasan.
Presiden Recep Tayyip Erdogan mengatakan, pemerintahannya berupaya mencari solusi damai setelah meningkatnya kekerasan di Donbass serta pengerahan puluhan ribu pasukan Rusia ke perbatasan.
"Untuk masa depan yang damai dan aman di kawasan, kami ingin kedua negara menyelesaikan perselisihan secepat mungkin melalui negosiasi damai. Kami sedang mengupayakan itu," kata Erdogan, dikutip dari Reuters, Minggu (11/4/2021).
Dia menyerukan diakhirinya ketegangan di Donbass setelah berbicara dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy di Istanbul pada Sabtu (10/4/2021). Erdogan mengatakan kepada Zelenskiy bahwa Turki siap memberikan bantuan yang diperlukan.
Sehari sebelumnya, Erdogan juga membahas masalah ini dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, melalui pembicaraan telepon.
Pada kesempatan itu Putin mengatakan, Ukraina melakukan provokasi berbahaya di Donbass.
Ukraina bersiaga setelah Moskow mengirim 80.000 lebih pasukan ke perbatasan serta meningkatnya kekerasan di sepanjang garis wilayah yang memisahkan pasukan Ukraina dan kelompok separatis yang didukung Rusia di Donbass.
Amerika Serikat menyebut, jumlah pasukan Rusia yang dikerahkan ke perbatasan merupakan yang terbesar sejak 2014 atau saat Negeri Beruang Merah mencaplok Krimea dari Ukraina yang disusul dengan memberikan dukungan kepada separatis di Donbass.
Namun Rusia menyangkal kehadiran pasukannya sebagai ancaman. Pasukan tetap disiagakan sampai dianggap sudah kondusif untuk ditarik.
Turki, yang juga anggota NATO, menjalin kerja sama erat dengan Rusia dalam konflik Suriah, Libya, dan Nagorno-Karabakh, selain di sektor pertahanan dan energi. Namun Turki mengecam pencaplokan Krimea oleh Rusia pada 2014 dan menegaskan dukungan untuk integritas teritorial Ukraina. Turki juga menjual drone tempur ke Ukraina pada 2019.
Pertempuran besar di Donbass berakhir dengan kesepakatan gencatan senjata di Minsk, Belarusia, pada 2015. Kesepakatan itu ditengahi Prancis dan Jerman yang sekaligus mengawasi implementasinya.
Namun pertempuran sporadis masih berlanjut meskipun upaya mengajak dua pihak kembali ke gencatan senjata terus disuarkan.
Editor: Anton Suhartono