PM Singapura Cerita Tantangan Terberat Selama Memimpin, Singgung Aturan Jilbab hingga LGBT
SINGAPURA, iNews.id - Pemerintah Singapura di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Lee Hsien Loong telah menangani beberapa isu sensitif, salah satunya izin penggunaan jilbab bagi Muslimah di pekerjaan tertentu.
Tugas berat pemerintah adalah memberi pemahaman kepada masyarakat Singapura yang multiras, mengelola perbedaan, hingga membuat aturan praktisnya.
Dalam pernyataannya kepada media memperingati 20 tahun kepemimpinan serta menjelang lengser dari jabatan pada 15 Mei mendatang, Lee menceritakan beberapa tantangan terbesar selama pemerintahannya. Ada beberapa kebijakan yang perlu diambil guna meredam ketegangan di bawah. Sebagai negara multiras serta banyak pekerja asing yang heterogen, keberagaman itu perlu dikelola.
Jika pemerintah tidak mengambil tindakan besar, kata Lee, termasuk mengenai izin perawat berjilbab serta LGBT, maka konflik bisa saja terjadi.
Lee mengumumkan kebijakan baru bahwa Muslimah perawat boleh mengenakan jilbab selama bertugas di rumah sakit pada 28 Agustus 2021 dan berlaku pada November di tahun yang sama. Aturan tersebut berdampak kepada 7.000 lebih staf medis.
Menurut Lee saat itu, mengenakan jilbab menjadi semakin penting bagi Muslimah. Apalagi ada kecenderungan atau tren di dunia, termasuk Singapura, banyak Muslimah ingin memperkuat keimanan dengan tampil sesuai tuntunan agama.
LGBT
Selain jilbab, lanjut Lee, tantangan terbesar dalam pemerintahannya adalah pencabutan Pasal 337A KUHP terkait hubungan sesama jenis. Parlemen Singapura pada 29 November 2022 menyetujui pencabutan Pasal 337A terkait larangan hubungan sesama laki-laki alias gay. Para legislator sepakat hubungan sesama laki-laki tak bisa digugat secara hukum.
Parlemen juga mengamandemen UU yang mencegah gugatan pengadilan terkait pernikahan. Meski demikian, pernikahan sesama laki-laki di Singapura masih ilegal.
"Kita mencoba dan menjaga keseimbangan, menciptakan masyarakat yang terjaga dengan nilai-nilai tradisional keluarga heteroseksual, tetapi dengan ruang bagi kaum homoseksual untuk menjalani hidup mereka dan berkontribusi pada masyarakat," kata Menteri Dalam Negeri Singapura, K Shanmugam, saat itu.
Tantangan terbesar lainnya, kata Lee, adalah ancaman terorisme yang dari kelompok Jamaah Islamiyah (JI) pasca-serangan 11 September 2001 (9/11) di Amerika Serikat (AS).
“New York itu jauh, tapi itu bisa terjadi di wilayah kita, Bali, kemudian Jakarta, dan bagaimana kita menyikapinya? Kita multiras. Kita punya Muslim, kita punya non-Muslim, apakah kita saling percaya atau tidak?” kata Lee, dikutip dari The Straits Times.
Ia melanjutkan, pemerintah bekerja sama dengan masyarakat Melayu/Muslim, guru agama, serta kelompok masyarakat untuk membahas masalah ini secara terbuka guna mencegah radikalisme.
Lee beruntung sepanjang kepemimpinannya tidak ada serangan teroris di Singapura.
“Tetapi untuk mengatakan setelah ini, kita bisa terbang sendiri -Pemerintah tidak perlu mengawasi, bisa melepas tangan dari kemudi atau kendali, dan Pemerintah akan mengurus dirinya sendiri- menurut saya tidak. Tidak akan pernah,” ujarnya.
Lee menegaskan semua isu ini selamanya akan menjadi masalah sensitif sehingga pembahasan soal itu perlu dibatasi. Pemerintah harus tegas dalam masalah-masalah itu.
Menurut Lee, permasalahan tersulit serta tantangan di masa mendatang adalah mengelola ketegangan antara menginginkan kohesi sosial di antara warga Singapura serta bersikap terbuka terhadap imigran dan pekerja asing.
“Jika kita ingin Singapura berkembang, kita tidak punya pilihan selain bekerja keras mencari cara agar kita bisa mendapatkan kue dan memakan sebanyak-banyaknya. Dan ini merupakan tantangan jangka panjang yang berkelanjutan," tuturnya.
Editor: Anton Suhartono