Profil 2 Pemenang Hadiah Nobel Perdamaian, Aktivis Antipelecehan Seks
OSLO, iNews.id - Komite Nobel di Oslo, Norwegia, Jumat (5/10/2018), menjatuhkan pilihan kepada dokter ahli kandungan asal Kongo, Denis Mukwege serta perempuan Yazidi korban pemerkosaan oleh ISIS, Nadia Murad, sebagai pemenang Hadiah Nobel Perdamaian 2018.
Mereka dianggap berjasa dalam mengampanyekan perang terhadap pelecehan seksual.
"Atas upaya mereka untuk mengakhiri penggunaan kekerasan seksual sebagai senjata perang," kata Ketua Komite Nobel, Berit Reiss Andersen, di Oslo, sebagaimana dikutip dari AFP.
Murad berhasil melarikan diri setelah tiga bulan dalam cengkraman ISIS di Irak. Perempuan berusia 25 tahun itu menjadi warga Irak pertama yang memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian.
Dia tinggal di Desa Kocho yang tenang dengan alam pegunungan di Sinjar, Irak utara, dekat perbatasan Suriah. Namun semua berubah saat ISIS menyerang pada 2014. Mimpi buruknya pun dimulai.
Pada Agustus 2014, kendaraan pikap yang membawa militan ISIS menyerbu Kocho. Para militan membunuh laki-laki dewasa serta membawa anak laki-laki dan perempuan.
Anak laki-laki mereka latih untuk dijadikan pejuang, namun para perempuan dipaksa menjadi budak seks. Selama penahanan, Murad sempat dibawa ke Mosul, ibu kota de facto negara ISIS.
Tiga bulan kemudian Murad berhasil melarikan diri. Kini, dia dan teman senasibnya, Lamia Haji Bashar, melanjutkan perjuangan untuk mencari 3.000 perempuan Yazidi yang masih hilang, diduga masih dalam tahanan.
Murad dan Lamia merupakan peraih hadiah hak asasi manusia Sakharov Uni Eropa pada 2016.
"Pejuang (ISIS) mengambil kehormatan kami, tetapi mereka kehilangan kehormatan mereka," kata perempuan yang kini menjadi duta besar PBB untuk korban perdagangan manusia itu.
Sementara itu dokter Denis Mukwege berjasa atas perannya merawat para perempuan korban kekerasan seksual di Kongo.
Pria 63 tahun itu mendirikan rumah sakit di Kivu Selatan pada 1999 untuk merawat puluhan ribu perempuan, anak-anak, serta bayi korban pemerkosaan.
Selama 20 tahun dia bekerja membantu para perempuan korban kekerasan seksual untuk bangkit dari trauma di Republik Demokratik Kongo yang dilanda perang.
Dia juga dikenal sebagai 'Dokter Keajaiban', seorang pengkritik yang terang-terangan menentang pelecehan terhadap perempuan. Dia menggambarkan pemerkosaan sebagai "senjata pemusnah massal".
Editor: Anton Suhartono