Prospek Perdamaian Palestina-Israel Setelah Pemindahan Kedubes AS
WASHINGTON, iNews.id - Pemindahan kantor Kedubes Amerika Serikat (AS) dari Telk Aviv ke Yerusalem ditambah penembakan terhadap demonstran yang menyebabkan setidaknya 58 warga Palestina tewas, Senin (14/5/2018), semakin menjauhkan peluang perdamaian Palestina-Israel yang ditengahi Negeri Paman Sam.
Pejabat Kementerian Kesehatan Palestina mengatakan, selain 58 korban tewas, 2.700 warga lainnya terluka terkena tembakan peluru tajam, peluru karet, dan gas air mata. Lebih dari 1.000 orang di antaranya mengalami luka parah. Karena itu jumlah korban tewas masih akan bertambah.
"(Perdamaian Palestina-Israel) itu antara nol dan tidak mungkin," kata Martin Indyk, mantan utusan khusus AS untuk perundingan damai Palestina-Israel di era pemerintahan Barack Obama, dikutip dari Reuters, Selasa (15/5/2018).
Pemindahan kedubes AS dari Tel Aviv ke Yerusalem menyulut kemarahan warga Palestina. Secara tidak langsung, kata Indyk, AS telah melemahkan sendiri perannya sebagai mediator damai.
Hal senada disampaikan analis dari Lembaga Washington Brookings, Khaled Elgindy. Dia yakin tak ada seorang pun pejabat Palestina saat ini yang setuju proses perdamaian Timur Tengah dimediasi AS.
"Sulit untuk melihat bagaimana setiap pemimpin Palestina bisa kembali dalam proses perdamaian yang ditengahi oleh Amerika Serikat," kata Elgindy.
Dia memandang, Palestina sudah antipati terlebih dulu karena keberpihakan AS terhadap Israel sudah sangat kentara.
"Jika pemerintah mengajukan rencana perdamaian, maka kemungkinan besar DOA (dead on arrival)," ujarnya.
Namun dia memandang masih ada cara lain untuk mengupayakan peran AS dalam perdamaian, yakni Trump mendesak Israel menurunkan tensi terhadap Palestina.
"Minimal, untuk mendesak Israel agar berhenti menggunakan kekuatan yang mematikan terhadap pengunjuk rasa tidak bersenjata," katanya.
Israel menganggap seluruh wilayah Yerusalem, termasuk bagian timur, menjadi miliknya setelah dicaplok dalam perang 1967. Langkah itu ditentang komunitas internasional dan dianggap ilegal.
Sebagian besar negara menyatakan status Yerusalem harus ditentukan dalam penyelesaian damai final melibatkan Palestina-Israel, serta tak diitervensi. Namun langkah AS yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dilanjutkan dengan pemindahan kantor kedubes membuat runyam suasana.
Meski demikian, AS membantah pemindahan kedubes ini berarti mendahului penentuan garis batas Palestina-Israel di Yerusalem, sebelum disepakati dua pihak.
Mantan duta besar AS untuk Israel dan Mesir yang kini mengajar di Universitas Princeton, Dan Kurtzer, menyarankan kepada para pejabat pemerintahan Trump untuk memulihkan kembali kredibilitas AS di mata orang-orang Palestina pascapemindahan kedubes. Tapi dia tetap pesimis akan masa depan perdamaian Palestina dan Israel di bawah peran AS.
"Apakah ada kemungkinan itu? Kecil sekali," ujarnya.