Ribuan Guru Muslim di India Terancam Nganggur karena Pemerintah Setop Danai Madrasah
NEW DELHI, iNews.id – Negara Bagian terpadat di India, Uttar Pradesh, berhenti membayar sekitar 21.000 guru mata pelajaran, termasuk matematika dan sains, di sekolah-sekolah agama Islam atau madrasah. Hal itu diungkapkan oleh seorang pejabat pada Kamis (11/1/2024).
Uttar Pradesh adalah negara bagian India yang saat ini dikuasai oleh partai nasionalis Hindu berhaluan radikal pimpinan Perdana Menteri Narendra Modi. Kebijakan menghentikan pembayaran guru madrasah itu muncul menjelang pemilu yang rencananya akan diadakan pada Mei nanti. Modi kembali mencalonkan diri untuk masa jabatan ketiganya berturut-turut.
“Lebih dari 21.000 guru akan kehilangan pekerjaan mereka,” ujar Kepala Dewan Pendidikan Madrasah di Uttar Pradesh, Iftikhar Ahmed Javed, kepada Reuters.
“Siswa dan guru Muslim akan kembali ke masa 30 tahun silam,” ujarnya.
Muslim adalah kelompok minoritas di India, negara yang mayoritas penduduknya menganut agama Hindu. Populasi umat Islam India berjumlah sekitar 14 dari total 1,42 miliar penduduk negara itu. Kaum Muslim juga mencakup hampir seperlima penduduk Uttar Pradesh.
Kelompok hak asasi manusia seperti Human Rights Watch (HRW) mengatakan, kelompok nasionalis Hindu telah mengancam dan melecehkan kelompok Muslim dan agama minoritas lainnya di India. Yang menyedihkan, para Hindu radikal itu bisa berbuat sewenang-wenang tanpa mendapat hukuman, karena dilindungi oleh Partai Bharatiya Janata (BJP) pimpinan Modi. Namun, tuduhan HRW itu dibantah oleh partai tersebut.
Menurut dokumen yang dilihat oleh Reuters, Pemerintah Federal Uttar Pradesh telah menghentikan pendanaan program yang disebut Skema Penyediaan Pendidikan Berkualitas di Madrasah pada Maret 2022.
Dokumen yang berasal dari Kementerian Urusan Minoritas itu menunjukkan, pemerintahan Modi tidak menyetujui proposal pendanaan baru dari negara-negara bagian yang berada di bawah program ini antara tahun fiskal 2017/18 dan 2020/21. Kini, dia sudah benar-benar menutup program tersebut.
Kementerian Urusan Minoritas India, yang menjalankan program tersebut hingga ditutup, tidak menanggapi permintaan komentar dari Reuters.