Takut Diintimidasi, Warga Tionghoa di Malaysia Tak Kibarkan Bendera Jelang Hari Kemerdekaan
KUALA LUMPUR, iNews.id - Menjelang Hari Kemerdekaan Malaysia pada 31 Agustus, suasana persatuan nasional diwarnai ketegangan. Sejumlah warga keturunan Tionghoa memutuskan tidak mengibarkan bendera nasional, Jalur Gemilang, lantaran khawatir menjadi sasaran intimidasi.
Keputusan ini dipicu dua insiden pengibaran bendera terbalik yang memicu kemarahan sebagian masyarakat Melayu. Kasus pertama terjadi di sebuah sekolah dasar Tionghoa di Negeri Sembilan pada 1 Agustus, disusul insiden serupa di Penang pada 9 Agustus. Pemilik toko di Penang, Pang Chin Tian (59), sempat ditangkap dan masih diselidiki setelah polisi menerima sedikitnya 15 laporan.
Meski sudah meminta maaf dan menyebut pemasangan bendera terbalik itu tidak disengaja, Pang tetap menuai kecaman.
“Setiap tahun saya selalu mengibarkan bendera sejak toko dibuka 11 tahun lalu. Saya tidak sadar memasangnya terbalik,” katanya seperti dikutip The Straits Times.
Di media sosial, sejumlah warga Tionghoa menyatakan enggan mengibarkan bendera tahun ini untuk menghindari tuduhan atau persekusi. Mereka menilai kasus ini telah berkembang menjadi isu politik dan berpotensi memicu ketegangan rasial.
Sejumlah tokoh masyarakat menyerukan agar pihak berwenang bersikap bijak.
Sekjen Partai Aksi Demokratik (DAP) Anthony Loke mengecam tekanan publik terhadap Kejaksaan Agung untuk menuntut Pang. Sebagai bentuk dukungan, DAP bahkan membagikan 831 bendera gratis kepada warga Penang, angka yang mewakili tanggal Hari Kemerdekaan, 31 Agustus.
Namun, sejumlah kalangan menilai insiden tersebut harus ditindak tegas.
“Kita telah belajar dasar-dasar mengibarkan bendera sejak sekolah. Jika dikibarkan terbalik, pasti ada tujuan tertentu,” ujar warga Malaysia, Shahriful Saiful (26).
Profesor Kartini Aboo Talib dari Universitas Kebangsaan Malaysia menilai peristiwa ini menunjukkan kurangnya pengetahuan dan apresiasi terhadap bahasa Melayu, patriotisme, dan pembangunan bangsa di kalangan sebagian komunitas non-Melayu.
Editor: Anton Suhartono