Get iNews App with new looks!
inews
Advertisement
Aa Text
Share:
Read Next : Nah, Pengacara Militer Israel Kumpulkan Bukti Kejahatan Perang di Gaza
Advertisement . Scroll to see content

Tragedi Lillehammer, saat Agen Mossad Israel Gagal Total Bunuh Pangeran Merah Palestina

Rabu, 21 Juli 2021 - 05:05:00 WIB
Tragedi Lillehammer, saat Agen Mossad Israel Gagal Total Bunuh Pangeran Merah Palestina
Pasukan Mossad, agen intelijen paling top Israel membawa tawanan, beberapa waktu lalu. Dalam sejarahnya, Mossad pernah keliru menembak mati sasaran. (Foto: Ilustrasi/Haaretz).
Advertisement . Scroll to see content

JAKARTA, iNews.id - Agen Mossad Israel menembak mati Ahmed Bouchikhi, seorang pelayan kafe berkewarganegaraan Maroko. Tragis, Bouchiki ternyata bukan target yang selama ini mereka cari. 

Serangan salah sasaran itu tak akan pernah dilupakan. Sejarah mencatatnya sebagai tragedi The Lillehammer Affair yang terjadi pada 21 Juli 1973. Tepat hari ini, 48 tahun silam.

“Penembakan Ahmed Bouchiki terjadi saat Operasi Wrath of God yang digerakkan oleh Perdana Menteri Golda Meir. Operasi ini diluncurkan setelah serangan teror terhadap Tim Israel di Olimpiade Munich pada musim panas sebelumnya,” kata David B Green, jurnalis Haaretz, dikutip Rabu (21/7/2021).

Mengejar Black September

Kisah bermula ketika atlet Israel datang ke Munich untuk mengikuti Olimpiade 1972. Pada 4 September malam, kelompok Black September yang belakangan diidentifikasi sebagai orang-orang Palestina menculik 11 atlet Israel.

Operasi penyelamatan sandera gagal total. Pada 5 September 1972, sebuah tindakan gegabah dari kepolisian Jerman Barat memicu baku tembak. Seluruh sandera alias 11 atlet Israel tewas. Begitu juga tiga anggota Black September dan seorang polisi Jerman menemui ajal. 

Ahmed Bouchikhi, pelayan kafe asal Maroko yang ditembak mati agen Mossad Israel. (Foto: Haaretz).
Ahmed Bouchikhi, pelayan kafe asal Maroko yang ditembak mati agen Mossad Israel. (Foto: Haaretz).

Kelak peristiwa ini memicu Jerman untuk melahirkan satuan elite antiteror GSG-9. Di satuan ini pula dua prajurit terbaik Kopassandha (kini Kopassus) yakni Luhut Binsar Pandjaitan dan Prabowo Subianto menimba ilmu.

Israel menggelar Operasi Wrath of God sebagai balas dendam atas tragedi kelam bagi negara Yahudi tersebut. Sasaran mereka jelas: Kelompok Black September.

Salah satu pentolan diidentifikasi sebagai Ali Hassan Salameh, komandan Pasukan 17 Palestina yang juga dikenal sebagai Pangeran Merah. Namun kesalahan informasi intelijen membuat Salameh lolos dari maut, ketika itu. Bagaimana bisa?

Informasi Palsu Intelijen

Perburuan terhadap Salameh digencarkan. Hingga suatu saat muncul informasi intelijen buron paling dicari itu berada di Lillehammer, kota kecil di Norwegia. Informasi ini datang dari penulis dan mantan katsa (penyidik) Mossad, Victor Ostrovsky. 
 
Satu pasukan Mossad Israel pun diterjunkan untuk menghabisi Salameh. Turut bergabung dalam misi itu Direktur Jenderal  Mossad Zvi Zamir dan komandan operasi Michael Harari.

Pria yang dianggap sebagai Salameh itu Ahmed Bouchikhi. Untuk memastikan targetnya, Bouchikhi terus dibuntuti.

Komandan Pasukan 17 yang juga dijuluki Pangeran Merah Ali Hassan Salameh. (Foto: Times of Israel).
Komandan Pasukan 17 yang juga dijuluki Pangeran Merah Ali Hassan Salameh. (Foto: Times of Israel).

Suatu ketika seorang Palestina berbincang dengan Bouchikhi di kolam renang umum. Seorang perempuan agen Mossad yang menyamar jadi pengunjung turun ke kolam renang untuk menguping pembicaraan itu.

Bouchikhi terdengar bercakap-cakap menggunakan Bahasa Perancis.

Fakta lapangan itu pun semakin meyakinkan Mossad tentang sosok Ali Hassan Salameh. Dalam informasi mereka, Salameh punya kemampuan berbicara multibahasa. Lebih dari itu, foto-fotonya juga mirip.

Hari Eksekusi

Bouchikhi baru saja menonton film bersama istrinya yang sedang hamil. Malam itu, 21 Juli 1973. Turun dari bus mereka berjalan santai menuju rumah. 

Mendadak datang mobil tak dikenal. Mobil itu ternyata ditumpangi empat agen Mossad. Dua orang keluar, dua lainnya tinggal di mobil.

Selanjutnya, sungguh mengerikan. Bouchikhi diberondong tembakan. Tubuhnya ambruk bersimbah darah.

Kota Lillehammer gempar. Pembunuhan ini merupakan yang pertama sejak terakhir kali terjadi 36 tahun lampau di kota sepi tersebut.

Saat polisi datang, Bouchikhi telah tewas dengan 13 lubang peluru di badannya. Penyidikan pun digelar cepat. Sejumlah agen Mossad yang belum sempat meninggalkan kota itu berhasil ditangkap.

Tragedi The Lillehammer Affair mengungkap fakta Mossad telah salah besar! Mereka keliru menembak sasaran.

Bouchikhi, pria Maroko itu jelas bukan Ali Hassan Salameh.

Pada 1996, Israel setuju untuk berunding mengenai kompensasi terhadap keluarga Bouchikhi. Keputusan itu datang setelah dua hari sebelumnya Perdana Menteri Shimon Peres menolak permintaan Norwegia agar Israel bertanggung jawab atas pembunuhan kejam itu.

“Setelah 23 tahun, inilah saatnya untuk menutup skor (menyelesaikan kasus tersebut)," kata Duta Besar Israel untuk Norwegia, Michael Shiloh, dikutip dari New York Times.

Pemimpin PLO (almarhum) Yasser Arafat. (Foto: Ist).

Tragedi Lillehammer akan dikenang sebagai operasi gagal Mossad. Kendati demikian, mereka akhirnya benar-benar menghabisi Ali Hassan Salameh.

Pangeran Merah tewas akibat bom mobil yang diledakkan dari jarak jauh oleh Mossad pada 22 Januari 1979. Upacara pemakamannya dihadiri ribuan rakyat Palestina dan pemimpin PLO Yasser Arafat.

Editor: Zen Teguh

Follow WhatsApp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow

Related News

iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut