Ukraina Selidiki Vaksinasi Covid-19 Ilegal, Setiap Orang Dipungut Rp50 Juta
KIEV, iNews.id - Kasus vaksinasi Covid-19 ilegal bukan hanya terjadi di Filipina, tapi juga Ukraina. Perdana Menteri Ukraina Denys Shmygal memerintahkan penyelidikan.
Polisi dan pejabat otoritas kesehatan Ukraina membuka penyelidikan terkait laporan beberapa warga mendapat suntikan vaksin Covid-19 yang belum disetujui.
Negara yang telah mengonfirmasi lebih dari 1 juta kasus infeksi Covid-19 dengan 19.357 korban meninggal tersebut sejauh ini belum menyetujui satu pun vaksin virus corona untuk penggunaan massal.
Pada Desember lalu, Ukraina meneken kontrak pembelian 1,9 juta dosis vaksin Sinovac dari China, namun vaksinasi baru akan dimulai beberapa waktu mendatang.
Beberapa media Ukraina melaporkan, sebuah klinik di Kiev memulai vaksinasi menggunakan produk yang dikembangkan Pfizer dan BioNTech. Setiap orang dikenakan biaya hingga 3.000 euro atau sekitar Rp50 juta per dosis.
Laporan mengungkap, vaksin itu mungkin saja dibawa masuk dari Israel. Beberapa pejabat tinggi pemerintah serta pengusaha dilaporkan juga sudah mendapat suntikan.
"Tidak ada vaksin yang saat ini disertifikasi di Ukraina. Saya yakin tidak ada orang rasional akan divaksinasi menggunakan obat yang tidak diketahui asalnya," kata Shmygal, dalam pernyataan melalui aplikasi pesan singkat Telegram, seperti dikutip Reuters, Rabu (6/1/2021).
Dia menambahkan, vaksinasi menggunakan produk Sinovac kemungkinan baru akan dimulai pada Februari.
Ukraina juga berharap akan mendapat kiriman gelombang pertama dari total 8 juta dosis vaksin di bawah program Covax yang dipimpin WHO.
Sebuah perusahaan farmasi Ukraina yang didukung tokoh oposisi pro-Rusia pekan ini telah mengajukan persetujuan dari pemerintah untuk mendatangkan vaksin Sputnik V.
Kasus infeksi virus corona di Ukraina meningkat kembali sejak September dan terus konsisten sejak saat itu, memicu penerapan lockdown nasional.
Senat Filipina juga menyelidiki vaksinasi ilegal terhadap anggota pasukan pengaman presiden atau Presidential Security Group (PSG). Vaksinasi yang menggunakan produk China, Sinopharm, itu belum mendapat persetujuan dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA).
Saat Presiden Rodrigo Duterte mengumumkannya pada 26 Desember, FDA belum menyetujui penggunaan satu vaksin pun di Filipina sehingga vaksinasi terhadap personel PSG dianggap ilegal.
Meski demikian Duterte membela para pengawalnya dengan alasan mereka berhak mendapatkan vaksin Covid-19 lebih dulu karena risiko pekerjaan.
Senat akan melanjutkan penyelidikan program vaksinasi itu. Selain anggota PSG, beberapa menteri diketahui juga sudah mendapatkan vaksin tersebut.
Terpisah, FDA, Biro Penyelidikan Nasional, serta Bea Cukai juga menggelar penyelidikan bagaimana bisa vaksin yang belum masuk dalam program nasional itu bisa masuk ke Filipina, termasuk penggunaannya.
Editor: Anton Suhartono