Hidup Keras Bocah Pengamen Ondel-Ondel: Putus Sekolah, Keluar Masuk Kampung, Setor Juragan
TANGERANG SELATAN, iNews.id - Rehan Malik (18) asyik duduk di bangku depan gerobak soto mi di Parigi, Pondok Aren, Kota Tangerang Selatan, Senin (14/6/2021) malam. Bersamanya menemani Ridwan Hidayat (25), DM Safeli Masta, Dias P dan Ari.
Wajah mereka tampak lelah. Baju lusuh bau keringat. Di warung itu sejenak mereka melepas penat. Maklum, belasan kilometer mereka tempuh untuk mengarak ondel-ondel, boneka tadisional Betawi.
Di meja makan mereka duduk berimpitan, menunggu soto yang dipesan. Di sampingnya, ondel-ondel diletakkan dengan wajah menghadap tembok dan pada sisinya tampak gerobak speaker.
"Kami dari Sanggar Ilham Betawi," kata Rehan.
Dia menuturkan, Sanggar Ilham Betawi bermarkas di Jalan Jurangmangu Timur, samping Kompleks Safari, Kecamatan Pondok Aren, Tangsel. Sanggar ini memiliki 18 ondel-ondel yang disewakan.
Setiap hari 18 ondel-ondel tersebut selalu keluar untuk digunakan mengamen. Juragan alias sang pemilik ondel-ondel itu disebut bernama Erwan, mantan sopir angkot trayek Taman Mangu-Kebayoran Lama.
Rehan menuturkan, ongkos sewa setiap satu ondel-ondel plus gerobak speaker Rp65.000 sehari. Beda lagi dengan satu ondel-ondel dengan perlengkapan musik Gambang Kromong, per hari Rp85.000.
"Sistem kerjanya, ya jalan (ngider). Kalau gak jalan, bilang ke bos. Ganti-gantian kita (arahnya). Hari ini ke sini, besok ke sana," katanya.
Larangan mengamen ondel-ondel di Jakarta membuat Rehan dan teman-temannya jadi sangat mengenal wilayah Tangerang Raya, mulai dari Tangsel, Kota Tangerang, dan Kebupaten Tangerang.
Dia tahu Jakarta telah melarang keras pengamen ondel-ondel. Karena itu dia melipir ke pinggiran.
"Kita udah semuanya. Pokoknya sudah dikelilingi semua, Tangerang, Bogor juga, Jasinga, Parung Panjang," ucapnya.
Rehan mengaku sudah enam tahun kerja ngarak (mengarak) ondel-ondel, masuk kampung keluar kampung. Mestinya dia kini telah tamat SMA. Dia mengaku putus sekolah alias cumak sampai kelas 2.
Di antara mereka, dia masih terbilang beruntung. Ari, hanya lulusan SD, sementara Dicko dan Dias masih sekolah.
Mencari Sesuap Nasi
Umur boleh masih muda. Tetapi situasi harus membuat mereka merasakan kerasnya kehidupan. Tempaan nasib itu menjadikan wajah-wajah mereka seolah lebih tua dari sebaya seusianya.
Bagaimana bisa menjadi pengamen ondel-ondel? Rehan mengaku tertarik ketika melihat rombongan pengamen ngider (berkeliling).

"Awal mulanya kita lagi markir (juru parkir) di SMA 90 Jakarta. Kita lihat banyak yang ngarak ondel-ondel, jadi kita pengen nyobain. Kita tanya sama yang ngarak, sanggarnya di mana, katanya di Ceger. Ya, besoknya kita datangin," kata dia.
Kepada pemilik ondel-ondel, Rehan pun mengutarakan niatnya. Tetapi ternyata tidak semudah itu. Dia harus mendapatkan kepercayaan dari pemilik terlebih dahulu. Apa itu? Uang jaminan.
Rehan dkk akhirnya menaruh motor sebagai garansi. Sejak itu mereka mulai mengamen saban sore hingga malam.
Dia mengaku mengamen untuk mendapatkan penghasilan. Dengan begitu, dia tak minta lagi uang jajan ke orangtua. Menurutnya, ibu bapaknya tahu dia menjadi pengamen ondel-ondel. “Mereka mengizinkan,” ucapnya, santai.
Lain lagi dengan Ari. Dia hanya tamatan SD. Ari tidak melanjutkan SMP karena ingin membantu neneknya. Kedua orangtuanya telah meninggal dunia.
Di Sanggar Ilham Betawi, Rehan dan Ari berkenalan dan menjadi sahabat. Mereka lantas menjadi kelompok pengamen sama.
Ari dan Rehan sama-sama berkeinginan dapat melanjutkan sekolah lagi. Minimal bisa lulus SMA. Impiannya tidak muluk-muluk. Setelah lulus sekolah, mereka ingin meninggalkan pekerjaan di jalanan, sebagai pengamen ondel-ondel.
"Saya mau meneruskan sekolah lagi, kalau Rehan mau sekolah juga. Tetapi saya tidak punya biaya. Kalau gratis saya mau sekolah lagi, sampai lulus SMA. Saya mau kerja yang layak," kata dia.
Meski tidak selalu ngamen ondel-ondel barengan, tetapi mereka kerap bersama. Biasanya, mereka ngamen berempat. Kadang memakai alat musik, dan kadang memakai USB colok ke speaker musik.
"Satu ondel-ondel ada yang berdua, ada yang bertiga, berempat, ada juga berlima. Sistemnya kayak setoran, kayak kerja. Sehari Rp65.000," ucapnya.
Dalam sehari ngamen biasanya mereka bisa mendapatkan penghasilan minimal Rp250.000. Paling besar pernah didapat hingga Rp3 juta. Namun itu dilakukan dengan ngalong (hampir sehari penuh) keliling Bogor.
"Kalau habis ngarak, dikasih rokok filter sebatang, nasi, sama minuman teh gelas," ucapnya.
Editor: Zen Teguh