Kisah Sekolah Darurat Kartini, 30 Tahun Melayani Pendidikan Gratis
JAKARTA, iNews.id - Nama Sekolah Darurat Kartini yang didirikan duo kembar Rossy dan Rian tidak asing lagi. Walau tak lagi muda, semangat dua guru itu pun tak pernah surut.
Keceriaan selalu terpancar di wajah keduanya, begitu pula suara mereka tetap lantang saat mendisiplinkan anak-anak didik. Seiring berjalannya waktu, tidak terasa 30 tahun sudah sekolah gratis itu berdiri.
Sekolah Darurat Kartini lahir karena adanya kesenjangan kaya dan miskin. Potret tersebut tampaknya masih nyata di tengah banyaknya program pemerintah yang disalurkan bagi warga miskin. Anak yang tidak memiliki akta kelahiran ditambah orang tuanya yang tidak punya kartu keluarga sangat sulit untuk bisa mendapatkan bantuan.
Tidak heran jika anak-anak yang bersekolah di sekolah ini tidak pernah merasakan bantuan pemerintah, semisal Kartu Indonesia Pintar atau Kartu Jakarta Pintar.
Sekalipun minim perhatian, Rossy dan Rian atas biaya sendiri memberikan semua kebutuhan bagi anak-anak, mulai dari makan, alat tulis, seragam dan keperluan lain. Siapa pun anaknya, mereka boleh datang bersekolah, tanpa harus membawa persyaratan apapun.
“Jika pemerintah peduli, anak-anak miskin ini kasih Akta Kelahiran, mereka sangat butuh,” ujar Rossy menyampaikan harapannya di usia sekolah mereka yang sudah 30 tahun, Selasa (4/2/2020).
Dia menuturkan, legalitas identitas menjadi penting karena selalu menjadi prasyarat anak-anak bisa ikut ujian dan melanjutkan pendidikan ke tingkat lebih tinggi.
Rossy menegaskan, meski usia dirinya dan Rian sudah tak lagi muda, yakni menginjak 70 tahun, sekolah ini akan tetap ada selama masih ada anak-anak yang membutuhkan.
Merayakan hari jadi ke-30, ratusan siswa yang semuanya anak-anak warga miskin menampilkan pementasan apik. Sekolah yang berdiri di antara rel kereta api di kawasan Lodan dan kolong Tol Ancol, Jakarta Utara ini pun riuh.
Anak-anak tampak antusias. Satu persatu mereka tampil mulai dari menyanyi, menari hingga pentas cabaret yang bercerita tentang perjalanan sekolah mereka.
Editor: Zen Teguh