Pengurus Tolak Masjid Jami Al-Atiq Dijadikan Cagar Budaya, Ini Alasannya
JAKARTA, iNews.id- Masjid Jami Al-Atiq adalah salah satu masjid tertua yang terletak di perbatasan antara Jakarta Timur dan Jakarta Selatan. Pengurus menolak jika masjid yang terletak di Jalan Kampung Melayu Besar nomor 1 RT 03/01 Bidara Cina, Tebet, Jakarta Selatan dijadikan cagar budaya.
Menurut Ketua Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Jami Al-Atiq, Fahri Mufti (62) menegaskan meski sudah menjadi tempat bersejarah penting bagi umat Islam di Jakarta, pengelola masjid menolak dialihfungsikan menjadi cagar budaya oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Pihaknya khawatir ketika sudah menjadi cagar budaya, pengurusan renovasi dan pemugaran akan menjadi sulit.
"Sebenarnya memang Pemprov DKI Jakarta sudah mengajukan untuk menjadikan Masjid Jami Al-Atiq sebagai cagar budaya. Di antaranya memang ada beberapa benda pusaka dari masjid ini dibawa ke Dinas Purbakala Pemprov DKI. Namun kami menolak Masjid ini menjadi Cagar Budaya karena pengurusnya khawatir akan sulit melakukan renovasi dan pemugaran," katanya.
Fahri menyebut, Masjid Al-Atiq tersebut merupakan masjid pertama yang didirikan di Kampung Melayu. Saking udzurnya usia masjid tersebut lantaran tidak ada yang tahu persis kapan awal mulanya masjid tersebut didirikan.
"Masjid Al-Atiq ini salah satu tertua karena dulunya menurut orang-orang tua kami, ini menjadi masjid pertama yang berdiri di wilayah kami," kata Fahri kepada MNC Portal, Kamis (14/4/2022).
Fahri pun menambahkan awalnya masjid tersebut dinamakan Masjid Kampung Melayu. Pemberian nama Kampung Melayu sebab tempat ibadah tersebut digunakan sebagai lokasi berlarinya para pejuang kemerdekaan pada masa lampau.
"Masjid ini bersejarah karena dulu kampung disini juga menjadi pelarian para pejuang. Salah satunya si Pitung, jawara Betawi yang pernah singgah disini. Selain Pitung, dulu ada Bung Karno, Bung Tomo bahkan Buya Hamka pernah singgah beribadah di masjid ini," katanya.
Terkait adanya empat tiang pancang di dalam masjid, Fahri menjelaskan dahulu keempat tiang itu difungsikan sebagai pondasi awal masjid yang sebelumnya Musala. Empat tiang tersebut yang menunjang berdirinya masjid hingga sekarang sehingga masih dipertahankan.
"Masjid ini kokoh berdiri sampai sekarang karena empat tiang pancang ini (sambil menunjuk tiang yang terletak di tengah masjid). Asal masjid ini dari Empat tiang tersebut yang awalnya untuk surau (musala)," tutur Fahri mengulas.
Terkait pemugaran surau hingga menjadi masjid karena banyaknya warga yang beribadah salat selepas berpergian menggunakan perahu getek (bambu) di Kali Ciliwung. Fahri menceritakan Kali Ciliwung dahulu digunakan sebagai lalu lintas transportasi umum bagi warga Ibu Kota, sehingga selepas bepergian, banyak warga singgah untuk beribadah di Masjid Al-Atiq.
"Karena dulu ada lalu lintas perahu getek, banyak warga singgah untuk Salat di Surau. Karena banyaknya warga yang beribadah, akhirnya warga bersepakat untuk dipugar menjadi masjid seperti sekarang," ujarnya.
Selain menjelaskan sejarah masjid, Fahri pun menunjukkan sejumlah peninggalan bersejarah yang masih bersemayam di Masjid Jami Al-Atiq. Salah satunya adanya kusen di atas mimbar masjid yang terbuat dari kolase kaca.
Konon, menurut Fahri, kusen berornamen kaligrafi tersebut terlalu tua sampai tidak ada seorang pun yang mengetahui kapan dibangunnya. Namun karena terancam rusak, Fahri menjelaskan pihaknya merenovasi kusen tersebut dengan memasang kaca tambahan guna melindungi dari kerusakan.
Kemudian Fahri pun menunjukkan tongkat peninggalan masjid yang digunakan khatib saat memberikan khutbah salat Jumat. Menurut Fahri, tongkat tersebut pernah dicari oleh sebagian orang lantaran serbuk kayunya dapat dijadikan obat.
Editor: Ainun Najib