Raperda Kawasan Tanpa Rokok Tuai Pro Kontra, Pedagang Terancam Turun Omzet
JAKARTA, iNews.id - Rancangan Peraturan Daerah atau Raperda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Jakarta memunculkan pro dan kontra di masyarakat. Dalam draf awal Raperda, penjualan produk tembakau dalam radius 200 meter sekolah dan area anak-anak dikenai denda hingga Rp1 juta, sebagai upaya melindungi pelajar dari paparan produk tembakau.
Namun, aturan ini menuai perdebatan karena dinilai memberatkan pedagang kecil. DPRD DKI Jakarta pun mengevaluasi kembali beberapa pasal terkait larangan penjualan produk tembakau di sekitar sekolah.
Ahli hukum tata negara Ali Rido menjelaskan, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyatakan bahwa produk tembakau dan entitasnya adalah ekosistem yang legal. Oleh karena itu, penjualan produk tembakau diatur, bukan dilarang.
Sementara itu, pengaturan juga harus melihat kondisi tiap-tiap daerah. Dia mencontohkan, aturan tersebut harus mempertimbangkan tingkat kepadatan penduduk yang luar biasa di Jakarta.
"Sehingga lebih tahu betul kondisi lapangannya itu harus seperti apa dalam pola pengaturannya itu," kata Ali dalam program iNews Prime, pada Kamis (11/12/2025) lalu.
Ali menambahkan, pentingnya partisipasi publik dalam penyusunan Raperda KTR. Dia pun memberikan dua catatan terkait rancangan Raperda KTR. Pertama, terkait dengan kajian akademik, di mana bisa terbaca dampak sosial apa yang akan ditimbulkan.
"Sayangnya adalah dari dokumen yang tersedia tidak begitu terelaborasi secara baik terkait dengan dampak sosial tersebut. Nah, karena itu saya pun kesulitan sebenarnya ketika Raperda ini nanti disahkan golnya apa yang hendak dicapai karena kajian akademiknya itu belum terselesaikan dari aspek itu," tuturnya.
Kedua, aspek substansi rumusan pasal demi pasal. Dia pun memberi catatan untuk sinkronisasi ulang dengan undang-undang yang menjadi payung hukum pembentukan Raperda KRT, yaitu Pasal 151 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023, yang kemudian diturunkan melalui PP 28/2024 pada Pasal 443.
"Nah, itu nanti perlu dicek ulang apakah betul sebenarnya yang diinginkan dari undang-undang dan PP itu adalah sebagaimana yang ternormakan di dalam raperda tersebut," katanya.
Sementara itu, pengamat ekonomi Indef, Tauhid Ahmad menjelaskan, Raperda tersebut jika diterapkan maka bisa menurunkan omzet para pedagang. Hal itu lantaran produk produk tembakau menjadi magnet para pedagang untuk memperoleh pendapatan.
Dia juga mengingatkan, dengan tingkat kepadatan saat ini, ribuan sekolah di Jakarta letaknya saling berdekatan. Hal ini yang menimbulkan permasalahan bagi para pedagang jika Raperda ini diterapkan.
"Jakarta itu kurang lebih lebih ada lebih dari 4.000 sekolah ya, yang saya kira kalau kita lihat titiknya tuh kan hampir berhimpitan tidak jauh begitu, karena kan faktor kepadatan. Nah, ini yang kemudian menjadi problem," kata Tauhid.
Tauhid menambahkan, penjualan produk tembakau di warung juga memicu orang untuk berbelanja produk yang lain. Hal ini juga membantu banyak UMKM untuk meningkatkan penjualan.
"Banyak kios-kios yang bergantung pada produk tembakau sebagai produk yang paling ramai dan menjadi magnet untuk mereka mendapatkan income begitu. Ini bukan hanya warung kelontong, kios, kaki lima, tapi beberapa titik memang sangat kental terhadap produk tembakau ini," katanya.
"Sehingga, kalau misalnya produk tembakau ini hilang, maka juga ada ikutan lain. Biasanya mereka juga menjual minuman dan sebagainya sehingga kalau misalnya produk tembakau hilang ya mereka enggak akan tertarik untuk beli yang lain. Begitu. Saya kira ini yang menjadi problemnya," tuturnya.
Oleh karena itu, penerapan Perda KTR bisa membuat produk tembakau tidak bisa diperjualbelikan dan para pedagang warung mengalami penurunan pendapatan.
Tidak hanya itu, larangan memajang produk tembakau dapat memicu semakin maraknya produk tembakau ilegal yang sedang diburu pemerintah.
Selain itu hal ini dinilai akan berdampak signifikan terhadap pelaku UMKM. Dalam PP Nomor 28 Tahun 2024, pemerintah melarang keras promosi, iklan, sponsor, dan display (memajang) produk tembakau di tempat penjualan (termasuk warung) serta melarang penjualan produk tembakau eceran per batang.
Editor: Aditya Pratama