10 Tahun Pak Harto Tiada, Kenangan dan Kontroversi
JAKARTA, iNews.id – Linimasa bergerak cepat seolah tanpa terasa. Hari ini 10 tahun silam, Presiden ke-2 Indonesia Soeharto wafat. Pak Harto, Sang Bapak Pembangunan itu mengembuskan napas terakhir pada 27 Januari 2008 di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) Jakarta.
Indonesia seperti berhenti mendadak kala itu. Meski Pak Harto telah berulang kali menjalani perawatan di rumah sakit, namun kabar kepergian penguasa Orde Baru tersebut tetap saja mengejutkan seluruh penjuru negeri. Negara mengumumkan masa berkabung nasional selama tujuh hari. Bendera setengah tiang pun dikibarkan.
Di keheningan Istana Kepresidenan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengucapkan duka cita atas meninggalnya pria kelahiran Dusun Kemusuk, Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, 8 Juni 1921 itu.
”Hari ini kita semua berduka dengan wafatnya Bapak HM Soeharto, Presiden ke-2 RI karena sakit. Atas nama negara, rakyat, pemerintah, dan selaku pribadi saya mengucapkan belasungkawa yang sedalam-dalamnya,” kata SBY dalam headline Koran Sindo, 28 Januari 2008.
Detik-detik mangkatnya Pak Harto bermula ketika Jenderal Murah Senyum (The Smiling General) itu dilarikan ke rumah sakit pada Jumat, 4 Januari 2008 sekitar pukul 14.15 WIB. Pak Harto dirawat di ruang President Suite VVIP Nomor 536 lantai V RSPP.
Soeharto dirawat karena mengalami penimbunan cairan di tubuhnya yang berakibat pembengkakan dan penurunan kadar darah merah (hemoglobin). Catatan Okezone, keadaan Soeharto sempat membaik setelah tim dokter berhasil mengeluarkan cairan itu. Bahkan, dia dapat tersenyum dan berbicara meskipun hanya dalam kalimat-kalimat pendek. Tetapi itu tak berlangsung lama. Kondisi kesehatannya kembali memburuk.
Senin, 7 Januari 2008, terjadi penurunan produksi urine dan penumpukan cairan di paru-parunya. Terjadi pula pendarahan melalui urine dan feses sehingga hemoglobin yang sempat berhasil dinaikan menjadi anjlok lagi.
Merosotnya kondisi Pak Harto tak lepas dari ketergantungan terhadap alat bantu dan obat-obatan. Tim dokter telah berminggu-minggu berupaya mengurangi keberadaan alat bantu tersebut. Namun banyak faktor membuat tindakan medis ini tak mungkin dilakukan. Perjuangan panjang Pak Harto melawan tua dan penyakit akhirnya berakhir.
Minggu, 27 Januari 2008 pukul 13.10 WIB, mantan Pangkostrad itu meninggal dunia dalam usia 87 tahun. Jenazah diberangkatkan dari rumah duka, Jalan Cendana, Jakarta, Senin, 28 Januari 2008, pukul 07.30 WIB menuju Bandara Halim Perdanakusuma.
Di sepanjang jalan, rakyat berderet-deret seolah ingin menjadi saksi atas kepergian pemimpin yang memerintah Indonesia selama 32 tahun itu. Jenazah selanjutnya diterbangkan ke Solo dan dikebumikan di Astana Giri Bangun.
Sekilas Kenangan dan Kontroversi
Begitu banyak catatan sejarah bercerita tentang Soeharto. Namun umumnya bermuara pada dua hal: pujian dan kecaman, atau legasi baik dan kontroversi. Di antara bergunung-gunung cerita itu, sedikit sulit dilupakan publik adalah gelombang demonstrasi mahasiswa yang berujung pada peristiwa 21 Mei 1998. Itulah ketika presiden 'untouchable' ini harus meninggalkan singgasananya.
A Yogaswara dalam buku Biografi Daripada Soeharto (2012) menggambarkan detik-detik menegangkan tersebut. ”Tepat pukul 09.00 pagi, diiringi oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie serta beberapa pejabat negara lainnya, Presiden Soeharto mulai membacakan naskah pidatonya. Dari sorot kamera, mereka yang hadir di Credentials Room, Istana Merdeka, tampak tersirat adanya sebuah ketegangan yang tertahan,“ tulisnya.
”Ketegangan seketika berubah menjadi keterkejutan manakala Presiden Soeharto, dengan suara yang tak berubah, datar seperti biasa, sampai pada kalimat, ‘ ... dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945 dan dengan sungguh-sungguh memperhatikan pandangan pimpinan DPR dan pimpinan fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari ini, Kamis, 21 Mei 1998."
Pengamat politik Denny JA menyebut momen itu sungguh dramatis dan benar-benar tak terduga. ”Tiga bulan sebelumnya, tidak ada pengamat politik yang paling optimistis sekalipun membayangkan Soeharto akan turun dari kekuasaannya secepat ini,” kata dia dalam buku Jatuhnya Soeharto dan Transisi Demokrasi Indonesia (2006).
Pengunduran diri Soeharto segera menjadi berita dunia. Berbagai media besar di Amerika Serikat seperti New York Times, Wall Street Journal hingga Washington Post menjadikan sebagai berita utama, sementara CNN terus-menerus mengulasnya.
”Untuk pertama kalinya selama 32 tahun, Indonesia harus tumbuh tanpa dipimpin oleh Soeharto lagi. Sebuah era politik baru terbuka, namun masih tidak pasti apakah pergantian pimpinan ini akan membawa perubahan yang substansial, Tidak pasti pula apakah ia juga akan menghasilkan pemerintahan yang kuat secara politik,” kata Denny.

Robert Edward Elson, profesor sejarah Asia Tenggara di Universitas Queensland sekaligus penulis biografi Soeharto paling otoritatif, Suharto: A Political Biography, menceritakan dirinya mengunjungi Indonesia sebagai mahasiswa doktoral pada 1970-an dan menemukan 'tempat yang sangat mengerikan.'
"Jakarta berantakan, jalan-jalan banjir, tidak ada yang berhasil, hampir tidak ada bus, banyak pengemis. Pada 1990-an semua itu telah berubah secara dramatis," katanya, dikutip dari The New York Times, Minggu (27/1/2018).
"Dalam hal warisan ekonomi, terlepas dari korupsi dan pengalihan dana di luar anggaran ke berbagai proyek dengan kualitas yang cukup meragukan, faktanya adalah bahwa kemiskinan telah menurun dalam cara-cara yang menjadi sejarah dunia," kata dia.
Bersahaja
Linimasa bergerak sangat cepat seakan tanpa terasa. Satu dasawarsa sudah Pak Harto meninggalkan dunia yang fana. Lepas dari berbagai kontroversi, Presiden yang memerintah dari 1967 hingga 1998 ini meninggalkan kenangan indah bagi orang-orang dekatnya.
Salah satu putri almarhum, Siti Hediati Hariyadi atau Titiek Soeharto, mendeskripsikan ayahnya sebagai pemimpin yang tegas dan bersahaja. Dia memiliki banyak kenangan yang tidak bisa terlupakan jika menceritakan perjalanan hidup Pak Harto.
"Banyak sekali kenangan dengan Pak Harto, saya banyak belajar dari Bapak. Pak Harto itu ayah yang bertangung jawab pada keluarga, dan banyak lagi," kata Titiek usai bertemu Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X di Kepatihan Yogyakarta beberapa waktu lalu.
Editor: Zen Teguh