25 Contoh Naskah Drama Singkat, Bisa Jadi Referensi Menulis
Naik Kelas
Ardi: “Aku tahu kamu adalah juara kelas. Tetapi dari tadi aku perhatikan wajahmu tampak bimbang, seperti angin ribut. Coba lihat mereka! Bersorak-sorak gembira! Mereka telah berhasil merebut kemenangan dalam kenaikan kelas ini meskipun tidak menjadi juara seperti kau!”
Citra: “Itulah bedanya!”
Ardi: “Tentunya ada yang sedang kamu pikirkan.”
Citra: “Tentu saja! Namanya juga orang hidup!”
Ardi: “Apakah kamu sedang memikirkan hasil juaramu itu?”
Citra: “Tidak!”
Ardi: “Nilaimu yang bagus?”
Citra: “Tidak!”
Ardi: (Bersungut) “Semua tidak!” (Setelah diam sejenak) “Yang kamu pikirkan itu, apakah ada hubungannya dengan makhluk hidup?”
Citra: “Ya dan tidak!”
Ardi: “Sejenis hewan?”
Citra: “Tidak!”
Ardi: “Manusia? Tumbuhan? Cacing?”
Citra: “Tidak!”
Ardi: “Manusia tidak, hewan tidak, tumbuhan juga tidak! Eng… apa ada hubungannya dengan orang lain?”
Citra: “Ya!”
Ardi: (Kecewa) “Ah, kalau saja aku tahu apa yang ada di dalam kepalamu, aku tentu tidak akan main ragam pesona seperti ini! Tak tahulah apa yang hendak aku lakukan dengan proyek termenungmu itu! Semula…sebagai seorang kawan, aku ingin membantu.Siapa tahu kepalaku yang dungu ini bisa memberikan pertolongan. Atau paling tidak, semacam perhatian yang khusus terhadap masalah yang khusus pula.”
Citra: “Nah! Mendekati hal itu, Ar!”
Ardi: “O, soal yang khusus-khususan itu, toh?”
Citra: “Ya. Bahkan sangat khusus dan sangat pribadi!”
Ardi: “Apa itu?”
Citra: “Aku kagum dan tidak mengerti terhadap dirimu, Ardi!”
Ardi: “Terhadap aku yang bodoh dan tidak naik kelas ini?”
Citra: “Ya. Kamu tidak naik kelas, tetapi begitu besar perhatianmu padaku. Kamu tidak naik kelas, tetapi tampak tidak merasa kecewa, bahkan tenang-tenang saja. Itulah yang membuat aku bingung!”
Drama Tengah Malam
(Malam sudah larut. Ibu duduk termenung. Ratih keluar dari pintu samping kanan).
Ratih: “Maaf, Bu. Mungkin pertanyaan Anwar tadi siang telah membuat hati Ibu resah. Hatiku pun turut resah seperti hati Ibu.Barangkali malam ini, semua penduduk desa ini menjadi resah seperti kita.”
Ibu: “Tidurlah, Ratih!”
Ratih: “Adilkah jika seseorang menyuruh orang lain tidur, sementara dia sendiri tetap terjaga? Ibu tidak boleh memaksakan diri untuk terus-terusan memikirkan kata-kata Anwar. Dia masih kekanak-kanakan.Kata-katanya seperti angin yang berembus, lalu hilang begitu saja.”
Ibu: “Apa yang diucapkan adikmu Anwar itu benar, Ratih. Pertanyaannya wajar. Dia bertanya tepat pada waktunya, yaitu pada saat para romusha pulang ke desa masing-masing dan ayah kalian seharusnya berada bersama mereka.”
Ratih: “Ayah tidak mungkin berada di antara para romusha itu, Bu! Beberapa jam yang lalu kapal terakhir sudah berlabuh. Pak Hasta tetangga kita sudah kembali. Telah kudengar sorak-sorai anak-anak dan istrinya. Tetapi ayah?” (Diam sejenak) “Mungkin kabar yang dibawa angin itu benar. Dengan demikian akan bertambahlah kekecewaan keluarga kita.”
Ibu: “Lebih kecewa lagi hati adikmu, Anwar. Dia tidak tahu sama sekali ke mana ayahnya pergi. Dia tidak tahu apa itu kerja paksa. Dia hanya tahu kalau ayahnya pergi, kemudian kembali dengan membawa setumpuk mainan di tangannya.”
(Terdengar jam berdentang 12 kali)
Ratih: “Tengah malam, Bu. Kapal terakhir sudah meninggalkan pelabuhan setelah menurunkan para romusha. Artinya kapal itu sudah tiga jam beristirahat sebelum berlayar kembali. Mana ayah kita? Kalau dia terkubur di pelabuhan, apakah ada koran yang membuat berita tentang kematiannya? Atau mati di tengah laut dan jasadnya diumpankan kepada ikan hiu?”
Ibu: “Jepang adalah Jepang, Ratih. Saudara Tua dapat bertindak sewenang-wenang terhadap saudara mudanya yang terlantar. Kecil harapannya untuk menemukan ayahmu. Berita yang ibu terima enam bulan yang lalu memberi keyakinan bahwa ayahmu meninggal disengat ular berbisa. Banyak orang bercerita tentang perlakuan Jepang terhadap romusha. Dan ayahmu pasti diperlakukan sama seperti kepada mereka. Nasib orang bodoh selalu tidak menguntungkan.”
Ratih: “Jadi Ibu berkeyakinan kalau ayah telah meninggal dunia?”
Ibu: “Ibu tidak mengatakan demikian, tapi akh…?”
(Jam berdentang satu kali)
Ratih: “Malam telah mulai berlalu. Selamat pagi, dunia! Kalau ayah kami tidak kembali… terkutuklah penjajah itu!”
(Terdengar pintu diketuk. Seorang lelaki muncul membawa sebungkus pakaian)
Ibu: “Pak Hasta!”
Hasta: “Inilah. Harap kalian terima dengan lapang dada.”
Ratih: “Mana ayahku, Pak?”
Hasta: “Hanya Tuhan yang tahu.”
(Tangis meledak, ke babak berikutnya)
Sore itu, ada dua orang remaja putri yang ingin pergi ke sebuah minimarket untuk membeli camilan namanya Sarah dan Siti.
Siti: “Sar aku lapar! yuk kita otw minimarket terdekat.”
Sarah: “Pas Sekali aku juga lapar yuk beli camilan.”
Setelah perbincangan tadi mereka memakai motor dan helm tapi tidak pakai masker.
Siti: “Ayok sar kamu yang bawa motornya aku yang bonceng ya.”
Sarah: “Ok.”
(Saat tiba di depan indomaret mereka berdua kaget karena ada polisi sedang berpatroli masker karena sedang dalam kondisi PPKM Covid 19, lalu mereka kaget bukan kepalang karena mereka berdua gak pakai masker).
Sarah: “Sit gimana ini ada polisi aku lupa gak bawa masker.”
Siti: “Aduh aku juga lupa lagi gak bawa masker.”
(Selanjutnya polisi datang dan menanyai mereka lalu diberi hukuman untuk menghafalkan pancasila).
Polisi: “Selamat sore dik, kok gak pakai masker?”
Sarah: “Anu pak lupa tadi saya.”
Siti: “Saya juga lupa pak.”
Polisi: “Begini ya dik. masker itu untuk melindungi diri sendiri dan orang lain dari paparan virus Covid 19 dek. lain kali jangan lupa ya. sekarang karena kalian berdua gak bawa masker kalian harus melafalkan pancasila.”
Sarah: “Baik pak kami bersalah tidak akan lupa bawa masker lagi.”
Lalu, mereka berdua melafalkan pancasila.
Babak I
Pagi-pagi, suasana di kelas IX SMP Sambo Indah cukup ramai. Bermacam-macam tingkah kegiatan mereka. Ada yang mengobrol, ada yang membaca buku. Ada pula yang keluar masuk kelas.
Cahyo: “Ssst… Bu Indati datang!” (Para siswa segera beranjak duduk di tempatnya masing-masing)
Bu Indati: “Selamat pagi, Anak-anak!” (ramah)
Anak-anak: “Selamat pagi, Buuuuuu!” (kompak).
Bu Indati: “Anak-anak, kemarin Ibu memberikan tugas Bahasa Indonesia membuat pantun, semua sudah mengerjakan?”
Anak-anak: “Sudah Bu.”
Bu Indati: “Arga, kamu sudah membuat pantun?”
Agra: “Sudah dong Bu.”
Bu Indati: “Coba kamu bacakan untuk teman-temanmu.”
Agra: (tersenyum nakal)
“Jalan ke hutan melihat salak,
Ada pula pohon-pohon tua
Ayam jantan terbahak-bahak
Lihat Inka giginya dua”
Anak-anal: (Tertawa terbahak-bahak).
Inka: (Cemberut, melotot pada Agra)
Bu Indati: “Arga, kamu nggak boleh seperti itu sama temannya.” (Agak kesal) Kekurangan orang lain itu bukan untuk ditertawakan. Coba kamu buat pantun yang lain.”
Agra: “Iya Bu!” (masih tersenyum senyum).
Babak II
Siang hari. Anak-anak SMP Sambo Indah pulang sekolah, Inka mendatangi Arga.
Inka: “Arga, kenapa sih kamu selalu usil? Kenapa kamu selalu mengejek aku? Memangnya kamu suka kalau diejek?” (cemberut)
Agra: (Tertawa-tawa) “Aduh…maaf deh! Kamu marah ya, In?”
Inka: “Iya dong. habis…kamu nakal. Kamu memang sengaja mengejek aku kan, biar anak-anak sekelas menertawakan aku.”
Agra: “Wah…jangan marah dong, aku kan cuma bercanda. Eh, katanya marah itu bisa menghambat pertumbuhan gigi, nanti kamu giginya dua terus, hahaha…”
Danto: (Tertawa). “Iya, Kak. Nanti ayam jago menertawakan kamu terus!”
Inka: “Huh! kalian jahat! (Berteriak) Aku nggak ngomong lagi sama kalian!” (Pergi)
Gendis: (Menghampiri Inka) “Sudahlah In, nggak usah dipikirkan. Arga kan memang usil dan nakal. Nanti kalau kita marah, dia malah tambah senang. Kita diamkan saja anak itu.
Babak III
Hari berikutnya, sewaktu istirahat pertama.
Agra: (Duduk tidak jauh dari Gendis) “Dis, nama kamu kok bagus sih. mengeja nama Gendis itu gimana?”
Gendis: “Apa sih, kamu mau mengganggu lagi, ya? Beraninya cuma sama anak perempuan.”
Agra: “Aku kan cuma bertanya, mengeja nama Gendis itu gimana. Masak gitu aja marah.”
Gendis: “Memangnya kenapa sih? (Curiga) Gendis ya mengejanya G-E-N-D-I-S dong!”
Agra: “Haaa…kamu itu gimana sih Dis. Udah SMP kok belum bisa mengeja nama sendiri dengan benar. Gendis itu mengejanya G-E-M-B-U-L. Itu kayak pamannya Bobo, hahaha….”
Teman-teman Agra: (tertawa)
Gendis: “Arga, kamu selalu begitu! Bisa nggak sih, sehari tanpa berbuat nakal? Lagi pula kamu cuma berani mengganggu anak perempuan. Dasar!” (Marah dan meninggalkan Agra).
Babak IV
Di perjalanan, hari sudah siang. Inka dan Gendis berjalan kaki pulang sekolah. Tiba-tiba di belakang mereka terdengar bunyi bel sepeda berdering dering.
Agra: (Di atas sepeda) “Hoi…minggir…minggir…. Pangeran Arga yang ganteng ini mau lewat. Rakyat jelata diharap minggir.”
Inka & Gendis: (Menoleh sebal)
Agra: (Tertawa-tawa dan…. gubrak terjatuh) “Aduuuuh!”
Inka: “Rasakan kamu! (Berteriak) Makanya kalau naik sepeda itu lihat depan.”
Gendis: “Iya! Makanya kalau sama anak perempuan jangan suka nakal. Sekarang kamu kena batunya.”
Agra: (Meringis kesakitan) “Aduh… tolong, dong. Aku nggak bisa bangun nih?”
Inka: “Apa-apaan ditolong. Dia kan suka mengganggu kita kita. Biar tahu rasa sekarang. Lagi pula, paling dia cuma pura-pura. Nanti kita dikerjain lagi.”
Agra: “Aduh… aku nggak pura-pura. Kakiku sakit sekali. (Merintih) Aku janji nggak akan ngerjain kalian lagi.”
Inka: (Menjadi merasa kasihan pada Agra) ”Ditolong yuk, Dis.”
Gendis: “Tapi…”
Inka: “Sudahlah, kita kan nggak boleh dendam sama orang lain. Bagaimanapun, Arga kan teman kita juga.”
Gendis: (Mengangguk dan mendekati Arga).
Inka: “Apanya yang sakit, Ga?”
Agra: “Aduh… kakiku sakit sekali. Aku nggak kuat berdiri nih.”
Inka: “Gini aja Dis, kamu ke sekolah cari Pak Yan yang jaga sekolah. Pak Yan kan punya motor. Nanti Arga biar diantar pulang sama Pak Yan. Sekarang aku di sini menemai Arga.”
Gendis: (Bersemangat) “Ide yang bagus.” (Pergi menuju ke sekolah yang masih kelihatan dari tempat itu).
Agra: “In… (Lirih) Maafkan aku, ya. Aku sering gangguin kamu, Gendis, Anggun, dan teman-teman yang lain.”
Gendis: “Makanya kamu jangan suka ngerjain orang, apalagi mengolok-olok kekurangan mereka. Jangan suka meremehkan anak perempuan. Nyatanya, kamu membutuhkan mereka juga, kan?”
Agra: “Iya deh, aku janji nggak akan ngerjain kalian lagi.”
Arga betul-betul menepati janjinya. Sejak kejadian itu, ia tak pernah mengganggu teman-temannya lagi. Arga pun jadi punya banyak sahabat, termasuk Inka dan Gendis. Mereka sering mengerjakan PR dan belajar bersama.
Agra: (Bicara sendiri) “Ternyata kalau aku nggak nakal, sahabatku tambah banyak,” pikir Arga. ”Ternyata juga, punya banyak sahabat itu menyenangkan. Kalau mereka ulang tahun kan aku jadi sering ditraktir, hihihi….”
(Adaptasi dari cerpen “Kena Batunya”, Veronica Widyastuti)
Mengejar Cita-Cita
Ada dua anak yang bersahabat sejak kecil bernama Adi dan Anjas. Mereka selalu bersama, tetapi semenjak ayah Adi pindah bekerja mereka berdua pun terpisah. Pada suatu ketika tanpa disadari mereka bertemu kembali.
Ketika bertemu, mereka berbincang-bincang perihal rencana kuliah.
Anjas: “Adi, rencananya kamu mau kuliah di mana?”
Adi: “Aku mau kuliah di PIP.”
Anjas: “Memangnya kamu mau pilih jurusan apa?”
Adi: “Pelayaran. Mau jadi kapten kapal dong hehehe. Hmm tap i…”
Anjas: “Kamu kenapa?”
Adi: “Tapi aku lemah dengan pelajaran fisika.”
Anjas: “Duh jangan sedih dong, sudah enggak apa-apa. Kalau kamu belajar lebih giat lagi kamu pasti bisa. Teruslah berusaha, jangan menyerah. Kejar cita-cita kamu. Eits! Tapi jangan lupa kalau sudah usaha, kita juga harus tetap berdoa.”
Adi: “Iya, terima kasih ya atas masukannya. asti aku bakal belajar lebih giat lagi.”
Anjas: “Nah gitu dong!”
Adi: “Kalau kamu? Mau kuliah dimana?”
Anjas: “Aku belum tau nih. Kira-kira menurut kamu di mana ya? Terus, jurusan apa?”
Adi: “Kalau menurut aku sih lebih baik kamu ikuti kata hati kamu aja. Pastinya yang sesuai dengan bakat dan minat kamu juga.”
Anjas: “Iya sih, tapi masalahnya aku belum tau nih bakat aku di mana.”
Adi: “Ya, kalau menurut aku sih, soal bakat kamu sebaiknya minta pendapat ke orang lain. Misalnya, ke teman, guru, dan juga orang tua. Terus kalau kamu masih bingung juga, aku saranin kamu untuk minta petunjuk Tuhan Yang Maha Esa. Ya, dengan berdoa.
Anjas: “Wah makasih ya, Adi, atas pendapat dan saran kamu. Aku akan coba ikuti saran kamu. Oh iya, udah sore, nih. Aku pulang, ya. Makasih Adi.”
Adi: “Oh iya, oke, deh. Sama-sama. Makasih juga ya Anjas.”
Setelah perbincangan tadi, mereka berdua menjadi lebih giat belajar. Akhirnya, Anjas telah mengetahui bakat dan minatnya untuk melanjutkan kuliah. .
Waktu terus berlalu. Tidak terasa mereka berdua telah lulus ujian dan mereka pun ingin melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi yang mereka inginkan. Berkat kegigihan yang dilakukan Adi dan Anjas, akhirnya mereka diterima di perguruan tinggi yang mereka impikan.
Menanti
(Panggung menggambarkan ruang depan. Di kanan, jendela kaca tertutup. Sebelah belakang, ada pintu menuju ruang dalam. Ada beberapa gambar tua dan jam dinding, sebuah meja dan beberapa kursi.
Pukul setengah delapan malam. Di luar angin kencang bertiup dan sekali-kali terlihat cahaya kilat). (Amran gelisah dan mondar-mandir, sekali-kali melihat jam).
Amran: (Bicara sendiri) “Sudah jam setengah delapan lewat. Ke mana perginya, Anhar?” (melihat ke pintu dalam).
Gunadi: (Masih di dalam) “Ya, Kak…” (keluar menemui Amran).
Amran: (Duduk) “Ke mana katanya, Anhar tadi?”
Gunadi: “Mau mancing ke tempat kita mendapat ikan besar dulu, Kak.”
Amran: “Kenapa kau bolehkan saja? Kalau ayah dan ibu tahu, tentu akan marah.” (Berdiri dan berjalan pelan) “Kau tahu, kau tahu itu bahaya?”
Gunadi: “Bahaya apa, Kak?”
Amran: (Berdiri di jendela) “Tempat itu ada penunggunya.”
Gunadi: “Ada yang jaga, Kak? Itu kan kali biasa, masa ada yang memilikinya. Siapa saja boleh mancing di situ, kan?”
Amran: (Kesal) “Ah, kamu. Ada, ada setannya, tahu?”
Gunadi: (Ketakutan) “Aaah, Kak Amran. Jangan begitu ah…. Saya takut.” (Gunadi melihat ke kiri dan kanan).
(Di luar kilat memancar terang. Kemudian, petir menggelegar).
Gunadi: (Terkejut dan melompat) “Au, tolong, Kak!”
Amran: (Ke dekat adiknya) ”Ada apa, Gun?”
Gunadi: “Tidak apa-apa kak, saya hanya kaget saja. Tapi….(ragu-ragu) apakah Anhar tidak apa-apa, Kak?”
Amran: “Itulah. Kakak takut ia kehujanan. Akan kususul ia ke sana.”
Gunadi: “Jangan, kak. Saya takut tinggal sendiri di rumah.”
Amran: “Ayolah ikut, kita kunci saja rumah.”
Gunadi: “Tapi kak….tapi jalan ke sana gelap, saya tidak berani ikut.”
Amran: (Kesal dan bingung) “Habis bagaimana? Ditinggal tidak berani, diajak juga takut. Anhar kan harus dicari!” (Diam dan mendengar sesuatu). “Hah…suara apa itu?
Gunadi: (Mendekap Amran) “Kak, Kak…! Ada apa, Kak?”
(Pintu depan terbuka. Anhar berdiri memegang kail dan ikan kecil-kecil).
Anhar: (mengangkat ikannya) “Lihat, Kak. Lihat banyak, ya….”
Amran: (Tersenyum tapi agak kesal) “Kamu anak nakal. Ayo ke belakang sana. Membuat orang bingung.”
Siang itu lima sekawan yakni Danu, Dina, Dita, Didi, dan Dadang sepakat untuk mengerjakan tugas sepulang sekolah bersama.
Dita: “Nanti kita kerjakan tugas di tempat biasa ya teman-teman.”
Didi: “Di balai desa atau di rumah Danu?”
Dita: “Di balai desa saja.”
Dina: “Baiklah teman-teman, kalau begitu saya pulang ganti baju dan makan dulu baru saya ke balai desa.”
Setelah mereka semua pulang ke rumah masing-masing dan jam menunjukkan pukul empat sore, Dina, Dita, dan Didi segera berangkat menuju balai desa. Hanya Danu yang tidak berangkat karena sepulang sekolah ia tertidur pulas dan lupa jika sudah sepakat mengerjakan tugas.
*Sampai di balai desa*
Didi: “Danu mana ya? Sudah hampir jam lima dia tak kunjung datang.”
Dina: “Jangan-jangan dia lupa jika sekarang kita akan mengerjakan tugas?”
Dita: “Atau mungkin dia mengira kalau kita akan mengerjakan tugas di rumahnya. Sebaiknya kita ke rumahnya mungkin dia sudah menunggu kita.”
Dadang: “Mungkin dia ada urusan tetapi lupa memberitahu kita. Kita tunggu saja disini sembari menyelesaikan separuh tugas.”
Mereka berempat mengerjakan tugas bersama terlebih dahulu sembari menunggu kedatangan Danu. Setelah jam tangan Dadang menunjukkan angka pukul 5:30 sore, terlihat dari jauh anak laki-laki terengah-engah berlari membawa tas.
Didi: “Tuh kan, Danu baru kemari.”
Dina: “Eh.. iya. Tetapi kenapa dia berlari seperti dikejar hantu dan memakai seragam sekolah?”
Danu: “Teman-teman? Sedang apa kalian sepagi ini di balai desa? Apa kalian tidak takut terlambat ke sekolah?”
Seketika Dita, Dina, Didi dan Dadang tertawa terbahak-bahak.
Dita: “Ini masih sore, Danu. Pasti kamu baru bangun tidur kan?”
Dina: “Makanya Dan, kita dilarang tidur sampai hampir petang.”
Wajah Danu memerah disertai rasa malu dan menyesal.
Ketika Pangeran Mencari Istri
Suatu ketika, terdapat sebuah kerajaan yang diperintah seorang raja yang bijaksana. Namanya Raja Henry. Raja Henry memiliki seorang anak bernama Pangeran Arthur. Pada suatu hari, datanglah seorang pemuda pengembara. Ia datang ke kerajaan dan menemui Pangeran yang sedang melamun di taman istana.
Pengembara: “Selamat pagi, Pangeran Arthur!”
Pangeran Arthur: “Selamat pagi. Siapakah kau?”
Pengembara: “Aku pengembara biasa. Namaku Theo. Kudengar, Pangeran sedang bingung memilih calon istri?”
Pangeran Arthur: “Ya, aku bingung sekali. Semua wanita yang dikenalkan padaku, tidak ada yang menarik hati. Ada yang cantik, tapi berkulit hitam. Ada yang putih, tetapi bertubuh pendek. Ada yang bertubuh semampai, berwajah cantik, tetapi tidak bisa membaca. Aduuh!”
Pengembara: “Hmm, bagaimana kalau kuajak Pangeran berjalan-jalan sebentar. Siapa tahu di perjalanan nanti Pangeran bisa menemukan jalan keluar.”
Pangeran Arthur: ”Ooh, baiklah.”
Mereka berdua lalu berjalan-jalan ke luar istana. Theo mengajak Pangeran ke daerah pantai. Di sana mereka berbincang-bincang dengan seorang nelayan. Tak lama kemudian nelayan itu mengajak pangeran dan Theo ke rumahnya.
Nelayan: “Istriku sedang memasak ikan bakar yang lezat. Pasti Pangeran menyukainya.”
Istri nelayan: (Datang dari dapur untuk menghidangkan ikan bakar). “Silakan Tuan-tuan nikmati makanan ini.”(Kembali lagi ke dapur)
Pengembara: “Wahai, Nelayan! Mengapa engkau memilih istri yang bertubuh pendek?”
Nelayan: (Tersenyum). “Aku mencintainya. Lagi pula, walau tubuhnya pendek, hatinya sangat baik. Ia pun pandai memasak.”
Pangeran Arthur: (Mengangguk-angguk)
Selesai makan, Pangeran Arthur dan pengembara itu berterima kasih dan melanjutkan perjalanan. Kini Theo dan Pangeran Arthur sampai di rumah seorang petani. Disana mereka menumpang istirahat. Mereka beberapa saat bercakap dengan Pak Tani. Lalu, keluarlah istri Pak Tani menyuguhkan minuman dan kuekue kecil. Bu Tani bertubuh sangat gemuk. Pipinya tembam dan dagunya berlipatlipat. Kemudian, Bu Tani pergi ke sawah,
Pengembara: “Pak Tani yang baik hati. Mengapa kau memilih istri yang gemuk?”
Pak Tani: (Tersenyum). “Ia adalah wanita yang rajin. Lihatlah, rumahku bersih sekali, bukan? Setiap hari ia membersihkannya dengan teliti. Lagipula, aku sangat mencintainya.”
Pangeran Arthur: (Mengangguk-angguk).
Pangeran dan Theo lalu pamit, dan berjalan pulang ke Istana. Setibanya di Istana, mereka bertemu seorang pelayan dan istrinya. Pelayan itu amat pendiam, sedangkan istrinya cerewet sekali.
Pengembara: “Pelayan, mengapa kau mau beristrikan wanita sebawel dia?”
Pelayan: “Walaupun bawel, dia sangat memperhatikanku. Dan aku sangat mencintainya.”
Pangeran Arthur: (Mengangguk-angguk). “Kini aku mengerti. Tak ada manusia yang sempurna. Begitu pula dengan calon istriku. Yang penting, aku mencintainya dan hatinya baik.”
Pengembara: (Bernapas lega, lalu lalu membuka rambutnya yang ternyata palsu. Rambut aslinya ternyata panjang dan keemasan. Ia juga membuka kumis dan jenggot palsunya. Kini di hadapan Pangeran ada seorang puteri yang cantik jelita.) “Pangeran, sebenarnya aku Puteri Rosa dari negeri tetangga. Ibunda Pangeran mengundangku ke sini. Dan menyuruhku melakukan semua hal tadi. Mungkin ibundamu ingin menyadarkanmu.”
Pangeran Arthur: (Sangat terkejut). “Akhirnya aku dapat menemukan wanita yang cocok untuk menjadi istriku.”
Pangeran Arthur dan Putri Rosa akhirnya menikah dan hidup bahagia selamanya.
Perpustakaan sekolah pada sore hari ditemani dengan sinar matahari sore yang menyinari rak-rak buku yang penuh debu. Siswi pintar yang selalu mendapatkan peringkat pertama, Fita sedang asyik membaca buku di perpustakaan. Tiba-tiba, Ian datang dan duduk di sebelahnya.
Ian: "Hai, Fita. Lagi baca apa sih, kok serius banget?"
Fita: (terkejut) "Eh, Ian. Kamu kok ada di sini? Bukannya kamu lagi bolos?"
Ian: (tertawa kecil) "Bosan di rumah. Mending di sini, lebih tenang."
Fita: "Kamu nggak malu sama guru kalau ketahuan bolos?"
Ian: "Ah, sudah biasa. Lagian, belajar itu membosankan."
Fita mencoba meyakinkan Beni tentang pentingnya pendidikan.
Fita: "Belajar itu nggak selalu membosankan, kok. Banyak hal menarik yang bisa kita pelajari."
Ian: "Beneran? Aku nggak pernah ngerasain itu."
Fita menawarkan diri untuk membantu Ian belajar. Awalnya, Ian menolak. Namun, lama-kelamaan, ia mulai tertarik dengan pelajaran yang diajarkan Fita.
Beberapa bulan kemudian, Ian mengalami perubahan yang signifikan. Ia menjadi lebih rajin belajar dan nilai-nilainya mulai membaik. Ia bahkan terpilih sebagai ketua kelas.
Ian: "Terima kasih ya, Fita. Berkat kamu, aku jadi sadar pentingnya pendidikan."
Fita: "Sama-sama. Aku senang bisa membantumu."
22. Contoh Naskah Drama tentang Sosial
Di pagi hari, pasar tradisional terlihat ramai dengan suara tawar-menawar dan hiruk pikuk orang yang bercampur menjadi satu. Bu Tuti sedang menata sayuran di lapaknya. Lalu, Bu Ani datang dan memilih-milih sayuran.
Bu Ani: "Bu, berapa harga cabai ini?"
Bu Tuti: "Ini cabainya segar, Bu. Harganya 20 ribu per kilogram."
Bu Ani: "Wah, mahal sekali. 15 ribu saja ya, Bu?"
Bu Tuti: "Kalau 15 ribu, rugi saya, Bu. Bagaimana kalau 18 ribu saja?"
Setelah tawar-menawar, akhirnya mereka sepakat dengan harga 18 ribu. Tiba-tiba, Andi datang menghampiri mereka.
Andi: "Bu, saya lapar. Kasih saya uang sedikit ya, Bu."
Bu Tuti: "Nak, kenapa kamu tidak mencari pekerjaan saja? Banyak lowongan pekerjaan di sekitar sini."
Andi: "Saya sudah coba, Bu, tapi tidak ada yang mau menerima saya."
Bu Ani merasa kasihan pada Andi. Ia memberikan sedikit uang kepada Andi.
Bu Ani: "Ini, Nak. Gunakan untuk membeli makanan."
Andi: "Terima kasih, Bu."
Andi pergi meninggalkan pasar. Bu Tuti dan Bu Ani kembali melanjutkan aktivitas mereka. Mereka menyadari bahwa masalah kemiskinan dan pengangguran masih menjadi masalah yang kompleks di masyarakat.
Taman kota yang tenang di sore hari ditemani dengan cahaya matahari sore menyinari daun-daun pohon beringin yang rindang. Alya duduk di bawah pohon beringin, membaca buku. Rendy datang menghampirinya sambil membawa segelas jus jeruk.
Rendy: "Permisi, boleh bergabung?"
Alya: (tersenyum) "Tentu saja."
Rendy: "Saya sering lihat kamu di sini. Kamu suka banget baca buku ya?"
Alya: "Iya, membaca adalah hobiku. Kamu suka baca juga?"
Rendy: "Dulu suka, tapi sekarang jarang. Lebih suka main gitar."
Mereka mulai mengobrol tentang berbagai hal. Ternyata, mereka memiliki banyak kesamaan minat. Hari demi hari, mereka semakin sering bertemu di taman itu. Perasaan mereka pun semakin dekat.
Beberapa bulan kemudian, Beni mengajak Alya kencan.
Rendy: "Alya, aku suka kamu. Mau jadi pacarku?"
Alya: (tersipu) "Aku juga suka kamu, Ren."
Mereka pun resmi berpacaran. Namun, hubungan mereka tidak selalu berjalan mulus. Mereka seringkali bertengkar karena masalah kecil.
Alya: "Aku merasa kamu akhir-akhir ini jarang meluangkan waktu untukku."
Rendy: "Maaf, Alya. Aku sedang sibuk dengan pekerjaan."
Meskipun sering bertengkar, mereka selalu berusaha untuk menyelesaikan masalah mereka. Cinta mereka semakin kuat seiring berjalannya waktu.
Pada malam hari, ruang tamu dipenuhi dengan cahaya lampu remang-remang yang menciptakan suasana yang hangat. Andi sedang duduk di sofa sambil membaca buku. Lalu, ayahnya yang baru pulang kerja menyapanya.
Ayah: "Andi, sudah makan?"
Andi: "Sudah, Yah."
Ayah: (duduk di samping Andi) "Bagaimana sekolahmu hari ini?"
Andi: "Biasa saja, Yah."
Ayah mengelus rambut Andi. Ia merasa ada yang berbeda dengan anaknya akhir-akhir ini.
Ayah: "Nak, ada sesuatu yang ingin Ayah tanyakan."
Andi: "Apa, Yah?"
Ayah: "Ayah sering melihat kamu murung. Ada masalah apa?"
Andi terdiam sejenak, lalu menceritakan masalah yang sedang dihadapinya di sekolah. Ayah mendengarkan dengan penuh perhatian.
Ayah: "Jangan khawatir, Nak. Ayah akan selalu ada untukmu."