Get iNews App with new looks!
inews
Advertisement
Aa Text
Share:
Read Next : Penampakan Uang Rp500 Juta Disita KPK saat OTT Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko
Advertisement . Scroll to see content

3 Fakta Seputar Kepala Daerah Terjerat Kasus Rasuah di Indonesia

Rabu, 06 Juni 2018 - 22:54:00 WIB
3 Fakta Seputar Kepala Daerah Terjerat Kasus Rasuah di Indonesia
Bupati Purbalingga Tasdi mengacungkan tangan sambil menunjukkan salam metal di hadapan awak media di Jakarta, Selasa (5/6/2018). (Foto: ANTARA/Reno Esnir)
Advertisement . Scroll to see content

JAKARTA, iNews.id – Penangkapan Bupati Purbalingga, Jawa Tengah, Tasdi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Senin (4/6/2018) lalu, menambah panjang daftar kepala daerah tersandung kasus suap atau korupsi di Tanah Air. Sejak dimulainya era reformasi di negeri ini sampai sekarang, tercatat sudah ratusan kepala daerah dicokok aparat penegak hukum karena rasuah.

Berikut beberapa fakta seputar kepala daerah yang terjerat kasus suap atau korupsi di Indonesia:

1) Pak Kaning, kepala daerah pertama hasil pilkada langsung yang ditangkap KPK karena kasus korupsi

Prof Dr Syaukani Hasan Rais terpilih sebagai bupati Kutai Kertanegara setelah memenangkan pemilihan kepala daerah (pilkada) pada 1 Juni 2005. Pilkada Kutai Kertanegara ketika itu merupakan pilkada pertama yang diselenggarakan secara langsung di Indonesia sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Dengan kata lain, kemenangan yang diraih Syaukani—atau lebih akrab dipanggil Pak Kaning—dalam Pilkada Kutai Kertanegara 2005 sekaligus menahbiskan dirinya sebagai kepala daerah pertama yang dipilih secara langsung di Indonesia.

Mantan bupati Kutai Kertanegara, Syaukani Hasan Rais alias Pak Kaning. (Foto: dprdkutaikartanegara.go.id)


Pada 18 Desember 2006, KPK menetapkan Pak Kaning sebagai tersangka dalam kasus korupsi pembebasan lahan Bandara Loa Kulu yang diduga merugikan negara hingga Rp15,36 miliar. Pascapenetapan status tersangka oleh lembaga antirasuah itu, Pak Kaning langsung menjalani perawatan di rumah sakit selama tiga bulan. Namun, sepulangnya dari rumah sakit, dia tidak menjalani masa penahanan kembali.

Pada 16 Maret 2007, Pak Kaning akhirnya dijemput paksa dari Wisma Bupati Kutai Kertanegara di Jakarta untuk menjalani pemeriksaan di KPK. Pada 14 Desember 2007, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menjatuhkan vonis pidana penjara dua tahun enam bulan kepada Pak Kaning karena terbukti melakukan korupsi antara 2001–2005 dengan total kerugian negara Rp113 miliar.

2) Sampai 4 Juni 2018, terdapat 92 kepala daerah yang dijerat KPK karena masalah suap atau korupsi

KPK sejatinya didirikan pada 2002. Adapun landasan hukum pendirian lembaga tersebut adalah Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kendati demikian, pembentukan KPK secara resmi baru dilakukan setahun lebih setelah undang-undang itu disahkan, tepatnya pada 29 Desember 2003.

Sejak dibentuk 14 tahun lima bulan silam, KPK sudah menjerat 92 kepala daerah yang tersandung kasus suap maupun korupsi. Gubernur Aceh periode 2000–2004, Abdullah Puteh, tercatat sebagai kepala daerah pertama yang menjadi ‘santapan’ KPK. Politikus yang pernah aktif di Partai Golkar itu dijebloskan ke bui terkait kasus korupsi pengadaan helikopter jenis Mi-2 merek PLC Rostov Rusia.

Mantan gubernur Aceh Abdullah Puteh. (Foto: kpu.go.id)


Sementara, kepala daerah terakhir yang dijerat lembaga anturasuah adalah Bupati Purbalingga Tasdi pada Senin (4/6/2018) lalu. Tasdi terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK atas dugaan suap proyek pembangunan Islamic Center di daerah yang dia pimpin.

Dalam kasus itu, Tasdi ditetapkan sebagai tersangka oleh lembaga antirasuah setelah menjalani pemeriksaan 1x24 jam pascapenangkapan. Kini, politikus—yang sebelumnya juga menjabat ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Purbalingga—itu resmi mengenakan rompi tahanan KPK.

3) Bupati Purbalingga menjadi kepala daerah ke-401 yang tersangkut kasus rasuah di Indonesia sejak era reformasi

Di luar pejabat yang dijerat KPK, terdapat pula ratusan kepala daerah yang berurusan dengan kepolisian dan kejaksaan karena kasus rasuah. Guru besar ilmu politik pada Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Profesor Djohermansyah Djohan, menilai fenomena tersebut antara lain disebabkan tingginya biaya yang dihabiskan untuk pelaksanaan pilkada langsung di Indonesia.

“Dengan ditangkapnya bupati Purbalingga oleh KPK, kini sudah 401 kepala daerah yang kena perkara (suap atau korupsi). Ini gara-gara pilkada langsung berbiaya tinggi yang kita adopsi sejak reformasi. Sementara,  aktor politik lokal tidak matang dan pemilih sendiri rawan politik uang,” kata Djohermansyah di Jakarta, Rabu (6/6/2018).

Bupati Purbalingga Tasdi (mengenakan rompi oranye) saat digelandang petugas KPK, Selasa (5/6/2018). (Foto: ANTARA)


Mantan direktur jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (dirjen Otda Kemendagri) itu berpendapat, pilkada langsung tidak serta-merta mampu melahirkan figur pemimpin yang berkualitas di daerah. Faktanya, kata dia, penyelenggaraan pemerintahan daerah di Tanah Air saat ini bisa dibilang masih jauh dari efektif.

“Akibatnya, triliunan rupiah uang rakyat yang dipakai Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawslu), dan Kepolisian RI (Polri) untuk hajatan pilkada selama ini jadi sia-sia belaka,” ujarnya.

Editor: Ahmad Islamy Jamil

Follow WhatsApp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut